2 Events, 2 Anxiety

Aku sama sekali nggak inget sejak kapan aku buka biro jasa konsultasi masalah pribadi. Seingetku, aku ini ndak pernah kuliah psikologi. Kuliahku, seingetku juga, adalah jurusan komputer-komputeran. Itu pun pada akhirnya lolos dari maut dengan ipeka pas-pasan. Maka dari itu aku suka heran, kenapa banyak makhluk Tuhan – terutama kaum hawa – yang hobi banget curhat sama aku? Apa dari casing-ku? Berkacamata, yang diidentikkan dengan kebiasaan suka mbaca, sih, iya (iya berkacamatanya, maksudku). Tapi selebihnya aku lebih suka berpenampilan yang nggak seharusnya: rambut jarang sisiran (biasanya sehari cuma 2 kali tiap habis mandi), kaos oblong gambar tokoh pilem kartun yang ndak diseterika, jaket gambar monyet yang jarang sowan sama mesin cuci, sepatu kets seadanya, dan celana jeans yang butut yang suwek-suwek di bagian lutut. Pokoknya jauhlah dari kesan mahasiswa psikologi dengan ipeka menjulang tinggi.

Cuma saja, kok, ya banyak yang percaya kalo aku bisa memberikan solusinya atas masalahnya tho ya? Beberapa malah curhat sambil nangis di depanku. Mau ta’puk-puk, eh, akunya yang takut kalo entar malah jadi nafsu (catatan: nafsu di sini cuma berlaku kalo klienku yang nangis adalah cewek. Kalo cowok, ya biasanya malah kumaki, “Lanang, kok, nangisan. Minggat!”).

Padahal juga solusiku biasanya suka ngasal. Misalnya aja ada yang curhat, “Mas Ganteng, aku suka sama cowok. Tapi aku nggak tau dia suka juga sama aku atau enggak. Aku harus gimana, coba?”

Yang begitu itu kujawab enteng, “Ya tanya, dong, ke orangnya.”

“Tapi aku malu. Nggak bisa.”

“Makanya…rajin belajar supaya bisa.”

Ngasal, kan?

Saking ngasalnya, kadang mereka malah jadi sewot sendiri, “Kamu tuh ya… Kok bisa, sih, nggak sensitif banget sama perasaan orang?”

Kusauti, “Ha, kok, nggak bisa?”

Tambah ngasal, kan?

Tapi herman, aeh, herannya, kok, ya makin banyak aja pasienku dari hari ke hari. Yang kuliahnya jurusan psikologi beneran juga malah curhat ke aku. Opo tumon? :mrgreen:

Dan seiring dengan berjalannya waktu, topik curhat dari pasienku semakin bertambah berat sahaja. Makin serius. Padahal harusnya mereka tau, makin berat kasusnya, akunya makin ngasal njawabnya. Tapi ya itu tadi…mereka itu ndak ada kapok-kapoknya. Mungkin bener juga katanya shohibul hikayat itu: “Mas Bro, jangan pernah menanggapi curhatan wanita dengan serius. Jangan sok-sokan mencarikan solusi buat dia. Biarkan masalahnya tetap jadi masalahnya. Cukup dengarkan saja beliaunya. Habis perkara.”

Misalnya aja contoh kasus yang di atas itu. Jumlah gadis yang curhat dengan permasalahan cinta sebelah bertepuk tangan itu lumayan banyak, lho. Saran “ya tanya, dong, ke orangnya” nggak pernah mempan. Alasannya selalu sama. Padahal, kata Mas Einstein, definisi kegilaan itu adalah melakukan hal yang sama terus-menerus dan mengharapkan hasil yang berbeda. Mbuh kuwi sing ngomong Einstein tenanan opo Einstein KW super, kupikir hal itu memang ada benarnya. Kalo sampeyan cuma pasif melulu, lha kapan sampeyan bakal tau, Mbak. Sopo ngerti lanangan yang sampeyan taksir itu juga termasuk jenis yang pemalu. Cinta kalian saling berbalas, tapi kalian berdua sama-sama dungu. Kalo sudah macam gitu, gimana mau ketemu?

Aku inget kisah di film tentang 3 orang idiot. Isi film itu mencoba menasehati kita supaya mati-matian memperjuangkan passion kita apa pun resikonya. Ada sebiji quote bagus yang kuingat di situ, cuma saja aku lupa redaksionalnya. Pokoknya intinya adalah sebagai berikut:

Bayangkan suatu saat kita mengalami sakaratul maut. Lalu dengan isengnya semua kenangan hidup kita seperti terlintas di depan mata kita. Semuanya bersliweran, sampai dengan suatu babak… Babak di mana kita mengingat ada suatu hal yang betul-betul kita senangi tapi – karena pertimbangan berbagai hal yang remeh-temeh – kita memilih untuk menghindarinya, pasrah untuk tidak memperjuangkannya.

Saat itu kita tiba-tiba merasa betul-betul menyesal. Ada sesuatu yang seharusnya bisa kita perjuangkan, tapi kita memilih untuk tidak melakukan. Seandainya saja dulu kita tidak memilih seperti apa yang waktu itu kita pilih, tentu kita bakal menghadapi kematian kita dengan kondisi yang berbeda.

Dan betul. Bahkan saat aku belum merasakan sakaratul mautku, ketika itu juga aku langsung menyesal. Nonton filmnya jadi nggak nikmat lagi. Pelajaran di pertengahan film itu terlalu menohok buatku. Pikiranku langsung kacau. Masa lalu terlintas dengan seenaknya. Alhamdulillah, aku nontonnya via file bajakan. Jadi Media Player-ku kumatikan, aku berbaring di kamar, lalu kemudian aku berpikir, cukup! Sudah cukup penyesalan yang seperti ini. Aku nggak mau ada penyesalan yang berikutnya, daripada sakaratul mautku besok jadi terasa sangat menyiksa.

Besoknya barulah kulanjutin nonton filmnya :mrgreen:

Hidup itu isinya cuma 2, Mbak Sis. Hidup itu isinya cuma pilihan dan konsekuensi atas pilihan yang kita pilih. Begitu terus menerus, berulang-ulang. Kecuali kalo sampeyan adalah jenis manusia yang beranggapan bahwa apa yang sampeyan terima saat ini adalah memang kehendak mutlak yang digariskan oleh Illahi, yang tidak bisa kalian lawan (termasuk anggapan jika kalian membusuk selamanya di neraka besok itu adalah bagian dari takdirNya untuk kalian), bolehlah kalian menyalahkan Tuhan. Tapi jika sampeyan ingin menganggap bahwa Tuhan sampeyan tidaklah sekampret itu, maka salahkanlah diri sampeyan sendiri.

Jadi, Mbak, jangan sembarangan mengartikan solusi asal-asalanku di atas itu tadi sebagai sebuah hal yang memang asal-asalan. Sesungguhnya itu adalah jawaban yang amat sangat sungguh filosofis sekali 😈 Rumusnya jelas, kok: Kalau kepengen tau, ya cari tau. Kalau kepengen bisa, ya belajar. Kalau kepengen yakin, cari yang meyakinkan. Sesimpel itu, seenteng itu. Termasuk juga urusan cinta itu tadi.

“Kamu kenapa, sih, selalu menganggap enteng setiap persoalan?” tanya si Mbak di kantor yang kubikelnya tepat berada di sebelah kubikelku.

Lho, Mbak, kalo perkaranya memang enteng, kenapa harus dirumit-rumitkan? Sungguh, kalo ini cuma sekedar mencari-tau apa lawan jenis kita itu suka sama kita atau tidak, kalo kita cuma kepengen mengungkapkan perasaan supaya kita besok ndak menyesal, dalam hal ini cinta adalah sebuah perkara yang etekewer. Gampang. Enteng.

Yang rumit itu malah justru si ceweknya sendiri. Pengennya nurutin malunya, nurutin kendak-bisaannya, tapi sekaligus mau semuanya secara ajaib berjalan sesuai keinginannya. Ha ya non sense! Mbok pikir iki drama Korea po piye?

Begitu juga dengan para Mbak Klien itu tadi. Sewaktu kutakut-takuti dengan cerita kayak quote di atas itu tadi, mereka menggelengkan kepalanya. Tapi ya cuma sebatas itu. Mereka nggak mau menanggung konsekuensi atas pilihannya sendiri tapi begitu kutantang kapan mereka mau confess ke target operasinya, mereka lagi-lagi menjawab, “Tapi aku malu. Nggak bisa.” Oalah… 1.000 prek buat kalian!

Dan dengan mengucapkan kalimat hamdalah, tesisku kali ini kuakhiri dengan tipe kedua dari klienku. Tipe ini adalah evolusi dari tipe wanita di atas ini tadi. Tipe ini adalah tipe wanita yang akhirnya memilih untuk pasrah kalah sebelum berperang sama keadaan, batal bersanding di pelaminan dengan lelaki idamannya, memilih lelaki yang menyatakan cinta kepadanya, menikah, lalu punya anak, tapi kemudian masih saja curhat ke aku kalo sebenarnya jauh di dalam lubuk hatinya, dia masih terbayang-bayang dengan pria impiannya dahulu. Memang kesannya lancang untuk menebak, meskipun aku nggak heran kalo wanita-wanita macam demikian ini ketika bercinta dengan suaminya justru membayangkan lelaki lainlah yang sedang menyetubuhinya.

Nah, kalian mau hidup seperti itu, duhai Mbak Klien? Kalo memang pada akhirnya seperti itu, aku titip salam sama suamimu besok. Bilang, betapa aku turut berduka-cita terhadap kisah senggama dalam hidupnya.


Facebook comments:

16 Comments

  • Takodok! |

    Ah kamu ga ngerti rumitnya sih mas. Aku cinta Adam Levine, tapi ya masa mau nanya perasaannya padaku via twitter? Rumit mas, rumit!
    *dikeplak*
    :))

  • bidadari bandel |

    Lha… Mas ganteng sendiri kepiye?
    Sudahkah memperjuangkan passionnya sehingga nantinya tidak mati dengan penyesalan. πŸ˜€

  • Yang Punya Diary |

    saya tipikal manusia coming from behind, mbak. bahkan ketika sedang serius pun saya lebih suka memilihnya sambil mengendap-endap πŸ˜†

  • jam tangan original |

    harusny bisa di tarik bayaran, layaknya konsultan profesional … πŸ˜€
    tapi memang setiap org butuh di dengarkan, apapun solusinya yg muncul itu no.2

  • Lyliana Thia |

    salam kenal, joe…

    Paragraf terakhir itu nonjok bgt.. Hahaha… Sy sendiri akui kaum hawa kalau lg galau suka meracau ndak jelas… Tp biasanya ndak lama, mereka bs waras lagi kok, hihihi… Wallahu’alam..

    Oot, sy ini bs smpe dsini gara2 awalnya cari info seputar UGM dan terdampar di blogmu yg lama, di posting ttg njelimetnya birokrasi, etc…

    Dan sy akhirnya baca posting2 kamu yg lain, sy suka cara berpikir kamu. Oke. πŸ™‚

  • Yang Punya Diary |

    jam tangan original:::
    saya sih kalo yang curhat cakep, tidak dibayar pun tidak mengapa sambil berharap habis curhat bakal terjadi yang iya-iya. sayanya ditraktir makan, maksudnya

    TrojanGanteng:::
    coba, tro, nyadar salahe nengdi ra? aku wae lagi nyadar ki. kebiasaan native di java sih πŸ˜›

    Lyliana Thia:::
    temen sebelah kubikel saya itu memang cepet waras kembali, mbak. tapi kumat laginya malah jauh lebih cepet 😈

    Raffaell:::
    lho, betul itu. kalo kitanya ndak yakin maka carilah yang bisa meyakinkan kita πŸ˜€

  • anakayamlugunanpolos |

    menohok sekali lho kata2mu lho mas..
    masalahnya mungkin yang sedang galau H2C itu bukan malu mengungkapkan rasa, tapi takut ditolak, takut bertepuk sebelah kaki. mestinya sampeyan ngajari jg bagaimana mengantisipasi keadaan jika ditolak nanti, ya to?

  • Yang Punya Diary |

    begitulah…
    hidup ini memang selalu ada konsekuensinya. begitu juga dengan yang ini: diterima atau ditolak.

    tapi saya memandangnya begini: kalo kita maju, kita punya 2 kemungkinan, 50:50, berhasil atau gagal. tapi kalo kita tetap di tempat ya artinya kita sudah pasti ga bakal dapat apa-apa, 0 point.

    perkara mengantisipasi, ini sebenernya mau ndak mau memang harus dihadapi. saya sendiri tidak pernah bisa merumuskan bagaimana cara mengatasinya. time will heal, kata mereka. tapi seberapa lama itu, lagi-lagi tiap orang pastilah berbeda-beda.

    sementara ini saya cuma bisa bilang cara kasarnya aja: lupakan dan mulailah cari target baru, hahaha

So, what do you think?