Sodara-sodara, sebenernya aku ini orangnya nggak tegaan. Misalnya kalo ngeliat orang-orang minta di lampur merah – apalagi kalo yang minta masih anak-anak – biasanya aku selalu kepengen ngasih recehanku buat mereka, dan – tentu saja – aku berharap aku selalu punya recehan di kantongku, at least di dompetku. Tapi bagaimana mungkin, membaca saja aku sulit di dompetku jarang ada recehannya. Biasanya yang ada cuma lembaran 100 ribuan atau 50 ribuan. Yaaah, paling sial adalah lembaran 10 ribuan juga di situ ๐ Nha… Kalo misalnya aku maksain lembaran itu yang kusedekahkan, lak yo itu sama saja membuatku modar mangap sendiri, tho? Iya, kan? Iya, kan? Iya aja, deh
Tapi walopun aku ini orangnya nggak tegaan, sebagai manusia biasa aku juga bisa sebel. Sebel sesebel-sebelnya. Aku bisa sebel sampe kepengen njedotin muka orang yang kusebelin itu ke tembok kalo ngeliat orang-orang semacam:
1. Orang yang nggak punya semangat hidup dan pasif.
Sungguh mati aku sebel banget ngeliat orang kayak ginian. Hidup kayaknya cuma berisi kemalangan aja buat dia, nggak ada bagus-bagusnya. Betul-betul tipe manusia yang membosankan sekaligus mengesalkan. Apalagi kalo orang itu ternyata ketambahan sama sifatnya yang cuma omong thok: bilang kepengen mati tapi nggak nenggak-nenggak racun serangga juga! Yang aktif gitu kek! Kalo panjenengan memang kepengen mampus, mbok ya kemampusan itu ndang disongsong. Jangan pasif. Jangan nunggu orang lain buat menghabisi nyawa panjenengan. Berinisiatiflah untuk melakukan tindakan bunuh diri.
2. Orang sok paten.
Sebenernya, sih, bukan sok paten. Cuma akunya nggak tau harus mendefinisikan orang macam gini dengan sebutan apa.
Jadi ceritanya, di kampusku dulu pernah ada 1 anak – laki-laki, dan tentu saja tampangnya masih sangat jauh untuk bisa dibilang hampir seganteng aku – yang sok-sokan banget. Dia itu kepengen melakukan suatu hal yang besar tapi nggak mau memulai dari hal-hal yang kecil, yang lebih memungkinkan dan rasional untuk dilakukannya terlebih dulu sesuai kapasitasnya. Pendeknya, doi kepengen jadi instant-hero!
Dari awal dia masuk jadi mahasiswa baru dia keliatan kritis. Kinerja panitia makrab – yang notabene adalah adik kelas 2 tahun di bawahku – yang dirasanya mengecewakan dia sebagai calon peserta makrab mahasiswa baru dikritiknya habis-habisan. Waktu awal aku sempat salut, sih, sama dia. Anak ini berani juga, batinku. Nggak sungkan ngajak aku ngobrol dan mengkritik kinerja panitia dan memberikan solusi-solusi ideal tentang apa yang seharusnya dilakukan sama para panitia. Dia keliatan tiada gentar ngeliat aku yang waktu itu berpotongan mohawk asli (bukan mohawk-mohawk-an yang nggak berani menghabisi rambut bagian samping dan cuma menyisakan bagian tengah rambut) dan beranting perak 2 biji di telinga kiri ๐
“Himakom itu seharusnya gini, gini, gini, Mas, dan blablabla…” katanya.
“Bagus kalo kamu punya pikiran kayak gitu. Sementara ini dinikmati dulu aja. Besok aku tunggu kamu jadi pengurusnya Himakom,” jawabku sambil nggak lupa menambahkan kalo cita-citanya bakal lebih mudah terwujud seandainya dia masuk langsung ke dalam sistem.
Tapi toh dia nggak ndaftar jadi pengurus ataupun gabung-gabung ke Himakom. Dalam artian, srawung sama pengurus hariannya Himakom yang lain juga jarang, padahal teman-teman seangkatannya banyak juga yang hobi kongkow di situ. Yang kutahu, dia tetap rajin mengkritik kinerjanya Himakom yang menurutnya nggak optimal. Itu yang kudengar dari belakang.
Kudiamkan. Kuanggap aja cuma sekedar orang yang nggak mau memaklumi keadaan, nggak mau melihat keterbatasan dan kendala yang ada. Kinerja sosial mahasiswa yang masih dalam tahap belajar mengasah soft-skill-nya toh nggak bisa untuk dibandingkan dengan kinerjanya para profesional yang digaji, tho? Lagian, bukan kapasitasku menjawab kritikannya. Itu urusannya pengurus harian pada saat itu, saat aku sudah pensiun jadi pengurus hariannya Himakom.
Lewat setahun tibalah waktunya pemilihan Ketua Himakom yang baru. Eee… Bocah itu ndilalah ndaftar jadi calon ketua. Pas acara talk-show para calon ketua, dengan pongahnya dia ngomong bakal mengubah tradisi di Himakom. Kata-katanya kelewat pedas untuk ukuran seseorang yang bahkan tidak pernah terlibat dalam sistem. Segala hal yang menurutnya nggak becus bakal dihapus, sampai ke hal-hal yang kecil sekalipun, misalnya kebiasaan anak-anak main kartu di sekretariat Himakom.
Mungkin menurutnya itu bagus (meskipun menurutku ya terlalu berlebihan). Tapi yang bikin kakak-kakak kelasnya yang lain naik pitam adalah pernyataannya, “Ya kalo mereka nggak bisa dikasih tau baik-baik, saya bakar aja semua kartu yang ada di Himakom!”
Alhasil bahkan Abhi yang terkenal kalem pun sampe berujar, “Sok-sok’an tenan. Diantemi wae yo!”
Alhamdulillah dia nggak berhasil kepilih jadi ketua. Mungkin anak-anak sekampus pada nggak suka dengan arogansinya waktu talk-show. Dia nggak nyerah. Seolah-olah kepengen mencatatkan dirinya sebagai salah 1 makhluk penting di MIPA Selatan, 1 organisasi besar lainnya di kampus coba dimasukinya: Omah TI. Dan mungkin karena kesan awal yang ditampakkannya, pembina dari pihak dosen langsung salut seperti kesalutanku waktu pertama kali ngobrol sama dia. Dan dia pun langsung digadang-gadang untuk jadi Ketua Omah TI.
Tapi sayang, nggak semua hal di dunia ini bisa berlangsung sesuai kepengenannya. Waktu rapat anggota buat pemilihan ketua, ada yang nanya, “Gimana kalo kamu nggak kepilih jadi ketua?”
Aku lupa gimana jawabannya. Aku nggak ikutan rapat karena – lagi-lagi – aku sudah pensiun. Tapi seperti yang diceritakan salah 1 anak Omah TI, secara garis besar dia bilang, kalo nggak kepilih jadi ketua dia nggak mau berada di situ. Mind-set-nya adalah jadi ketua atau tidak sama sekali. Mungkin gara-gara ngerasa dapet beking dari pihak dosen pembina dan dipikirnya jalannya bakal mulus-mulus saja.
“Kamu ambisius sekali ya?” serbu salah seorang anak Omah TI lagi.
Entah apa jawabannya, yang jelas sehabis itu dia cuma kebagian peran jadi wakil ketua. Yang jadi ketuanya malah si Lutfi Dan sayangnya, sesudah jadi wakil ketua dia bener-bener menepati ucapannya. Aku jarang ngeliat dia nongkrong di lab atau ikutan urun rembug membahas problematika yang ada di situ. Aku nggak pernah tau kontribusi apa yang diberikannya buat Omah TI, organisasi yang dirintis sama teman-teman seangakatanku itu, yang mana aku pernah jadi salah 1 kepala divisinya.
Sok paten!
(Gila! Kok aku jadi nulis panjang banget gini? Ahahaha, maaf, sodara-sodara… Kalo inget makhluk itu entah kenapa aku langsung jadi mangkel. Mangkelnya pake “banget”, lagi)
3. Orang yang nggak bisa memanusiakan manusia lainnya dan bossy.
Aku juga nggak suka sama manusia tipe begitu (dan tentu saja aku juga kepengen menjedotkan kepalanya ke tembok). Misalnya aja suatu ketika si oknum tersebut dengan lagak dan kapasitasnya yang ala bos besar minta tolong ke orang lain, “Eh, tolong fotokopiin anu, dong.”
Okelah dia sudah menggunakan kata-kata sihir yang berwujud “tolong” itu. Tapi buatku dia masih tetap menyebalkan kalo setelah permintaannya dipenuhi dia bakal bilang, “Ya udah, taruh di situ aja,” ketika orang yang mengikuti perintahnya sudah menyerahkan apa yang dimintanya sambil ngomong, “Ini, Oom, sudah saya fotokopiin.”
Seharusnya, menurutku, si oom itu menerima dulu dengan tangan sambil nggak lupa bilang terima kasih. Paling nggak kasihlah perhatian ke hasil kerjaan orang yang dimintai tolong itu, dan bukannya sudah terbantu tapi malah mengacuhkan. Saking sebel dan khawatirnya kalo harus ketemu makhluk model gitu, aku jadi nggak mau kerja kantoran secara resmi. Mending aku kerja bareng temen aja – kayak sekarang. Aku khawatir kalo aku kerja kantoran resmi dan punya atasan model gitu, aku malah nggak bisa nata emosiku. Aku pasti bakal nggak enak nanti-nantinya kalo ternyata Tatsumaki Senpuu Kyaku-ku harus mendarat di kepalanya.
4. Orang nggak tau terima kasih.
Cukup jelas. Orang yang sudah ditolongin sesuai apa yang dia pengen tapi bahkan mengucapkan terima kasih pun tidak. Kalo orang itu adalah cewek manis dan korbannya kebetulan adalah aku, seandainya aku nggak takut masuk neraka, dia pasti sudah kugagahi paksa di tempat kejadian perkara.
5. Orang yang ninggalin komen di blogku tapi cuma nulis sebangsa “salam kenal”, “ditunggu kunjungan baliknya”, atau “tukeran link yuk” tanpa membahas sedikit pun entry yang kutulis.
Aku memang nggak bikin blog dan nulis karena butuh dikunjungi atau malah dikomen. Aku nulis buat egoku sendiri aja. Tapi aku juga iseng-isengan nyari duit tambahan dari iklan-iklan yang terpasang di blogku. Rasanya sayang kalo tidak mengoptimalkan potensi yang ada dari blogku. Jadi kalo aja aku nggak butuh trefik dan aku adalah orang seperti tipe nomer 4, aku pasti bakal bilang, “Siapa juga yang sudi kenalan sama sampeyan, ngapain aku main-main ke blog situ, siapa juga yang mau ngasih backlink buat kamu?” ๐
Jadi terima kasih sudah membaca tulisanku, sodara-sodara. Sekali lagi, terima kasih atas perhatiannya ๐
Kacian…..
Minta dihormati….
Suka guee dgn gaya bahasa loe kampreeettt…
elo salah satu kampretnya
Kenapa si kampret temenan ama si bangsat??? Karena bangsat temennya kampret…
Siiip lah..
Kampret e e e emang kampret
Kampret soy……….