Sedikit Takut…

Perhatian! Tulisan di bawah ini – yang ta’kopas dari notes Fesbuk-nya Hanan, temen sekampusku – bakal menjelaskan kenapa postinganku kali ini judulnya macam di atas itu:

F For Freedom, or F for Failure?

Belakangan ini internet bukan lagi sarana yang nyaman untuk mengungkapkan uneg-uneg atau isi perasaan kita..

Beberapa waktu yang lalu, blog menjadi sarana yang sangat di minati, karena kita bisa mencurahkan isi hati kita disana..
Facebook diminati karena kita bisa update status sesuai dengan suasana hati kita…

Tapi sekarang ini, internet sudah tidak lagi mempunyai kenyamanan tersebut…
Kasus Prita, Kasus brimob, dan yang terbaru adalah kasus Luna Maya…

Mereka semua intinya adalah mencurahkan isi perasaan mereka terhadap apa yang mereka alami, mereka dengar dan mereka rasakan…

Kalau dulu, kita bisa “agak” lebih bebas… tapi sekarang, sedikit2 jadi masalah, semakin di gembar gemborkan lah kekuatan dunia maya..

Sebagai salah satu manusia yang sudah beberapa lama kenal dengan dunia maya, saya menyadari, dunia maya memang sangat kuat. sesuatu yang tidak mungkin bisa jadi mungkin… jejaring internet menyebar seperti julukannya, web… kekuatannya kadang seperti people power, tidak terbayangkan

Mungkin untuk menjaga kenyamanan ini, ke anonymous an pengguna internet harus terjaga… blog kadang bisa di buat anonymous, kita bisa ‘agak” bebas mencurahkan perasaan kita, karena orang tidak tau siapa kita, tentunya kita harus bisa menjaga ke-anonymous-an kita itu.. bukan sesuatu yang mudah…

tentunya prita, evan brimob, dan luna maya tidak akan menyangka bahwa dengan kata kata yang mereka ungkapkan melalui dunia maya, akan membuat masalah bagi diri mereka…

jangan2 nanti kita memasang status yang agak “seram”, akan di tafsirkan lain oleh orang lain, dan bisa berakibat buruk bagi diri kita…

apakah account FB juga harus di buat anonymous ya? terus gimana kawan mau ketemu kita? ahhh serba salah πŸ˜€

ah entahlah, apakah internet masih menganut F for Freedom, atau sudah berganti menjadi F for Failure

NB: kalau ada yang tersinggung dengan curahan pikiran ini, dan menuntut awak.. mampuslah awak ni…padahal tulisan ini muncul gara2 kebangun dini hari terus kepala agak kebentur cangkir teh tadi…

Jujur, aku juga sedikit takut dengan tren yang ada sekarang ini. Mulai dari kasusnya Prita Mulyasari sampai dengan kasusnya Luna Maya, semuanya bikin aku mikir, sebuah akun personal di Internet tidaklah lagi bisa dihormati dengan hak-hak personal yang (seharusnya) melekat di dalamnya.

Meskipun aku nggak suka sama Luna Maya, tapi kok ya aku jadi agak kasian juga sama dia. Di era web 2.0 macam sekarang ini sepertinya kita dituntut untuk balik nulis curhatan kita pake bolpoin (atau pulpen, atau pensil, atau spidol, atau pensil warna juga boleh) di diary berwujud hard-copy kayak jaman aku esde sampai esempe dulu. Kita nggak bisa memperlakukan akun personal kita di Internet secara personal lagi kayak diary atawa buku harian kita jaman dulu itu.

Di world wide web, gara-gara apa yang kutulis sangat mungkin untuk diakses sama siapa aja, aku jadi ngerasa bakal nggak bisa lagi menggoblok-goblokkan orang yang kuanggap goblok, menjelek-jelekkan homo sapiens yang kuanggap jelek. Padahal yang namanya penilaian personal itu pastilah subyektif. Dan namanya saja hal yang subyektif, ya pastilah nggak bisa untuk dipukul rata positif atau negatifnya.

Maka kalo tiap manusia dilarang untuk berpendapat subyektif, apa serunya hidup ini? Apa mau semuanya jadi seragam lagi kayak jaman dulu? Kampretlah kalo kayak gitu… Aku jadi nggak bisa ngotot bilang kalo Luna Maya itu jelek dan yang cantik itu cuma Dian Sastrowardoyo.

Aku juga nggak bisa bilang kalo Didit Komeng itu matane kuwalik gara-gara dia bilang Nirina lebih cantik dari Dian Sastrowardoyo-ku. Aku nggak bisa ngomong kalo Nanamia Pizzeria itu pelayanannya sangat menyebalkan. Aku cuma bisa mencaci mereka-mereka itu lewat buku harianku saja – yang kemudian kusimpan rapi dan kukunci di brankas supaya ndak bisa dibaca sama orang lain – berhubung di Internet tidak ada lagi yang namanya kebebasan berpendapat.

Kalo sudah begini, apa artinya perkembangan teknologi, kalo ternyata aku masih dituntut untuk balik ke jaman batu?

Memang… Pendapat subyektif seseorang atas apa yang dirasakannya belum tentu bisa diterima oleh manusia lainnya. Orang lain bisa saja sakit hati dengan penilaian dari yang bersangkutan yang – boleh jadi – tidak enak tentang dirinya. Tapi apakah sanksi hukum atas penilaian personal bisa dijadikan jalan keluarnya? Menurutku tidak tepat, wong berpendapat dan memberikan penilaian atas suatu hal adalah hak (juga kebutuhan) tiap-tiap manusia, kok.

Menurutku biarlah sanksi moral yang jadi jawabannya. Misalnya saja kalo ada seorang sejawat yang menjelek-jelekkan aku, biarlah dia merasakan kalo pas dia butuh duit besok aku nggak bakal ngasih utangan ke dia. Biarlah Luna Maya diboikot oleh media yang tidak mau lagi memberitakan apapun tentang dirinya. Biarlah karirnya hancur gara-gara hal itu, asal penjara jangan lagi dijadikan ancaman untuk melarang tiap-tiap individu mengekspresikan perasaannya.

Pohon-pohon sudah ditebangi, hutan-hutan sudah semakin gundul. Kalo kita masih tetap mau mengeksploitasi kayu-kayunya untuk dijadikan kertas buat buku harian gara-gara di Internet kita nggak bisa nulis pendapat subyektif kita lagi, mau jadi apa bumi kita ini? Apa para tukang bikin kebijakan seputar pendapat perorangan di world wide web itu tidak menyadari ancaman pemanasan global?

Dan terakhir, perkara kenapa aku nggak suka dengan Luna Maya, biarlah sekarang kujelaskan kepada sidang pembaca sekalian di sini:

Jaman dulu, Luna Maya pernah diwawancarai seputar persoalan sekolahnya di Denpasar. Tanpa bermaksud untuk menyinggung SARIP (Suku, Agama, Ras, dan Indeks Prestasi), seingatku Luna Maya ditanya, kenapa dia yang notabene beragama Islam memilih bersekolah di esema Katolik yang berjudul Santo Yoseph.

Luna Maya waktu itu – lagi-lagi seingatku – berujar, “Soalnya itu sekolah terbaik di Bali!”

Faaaaaaakkk… Kalo itu yang terbaik, ente kemanakan sekolah unggulan yang bener-bener resmi disebut sebagai sekolah unggulan di situ? Ente kemanakan almamaterku, SMA Negeri 1 Denpasar, Mbak? Jangan bilang sekolahan situ adalah yang paling baik kalo nyata-nyata ada sekolahan yang lebih baik lagi yang sampeyan tidak mampu lulus seleksi tes masuknya, dong! Sekolahan ente, Mbak, waktu jamannya aku sama adikku masih esema, malah jadi lokasi pembuangan untuk anak-anak dari sekolahku yang terjerat perkara indisipliner dan kenakalan remaja.

Nah, bisa liat sendiri, kan? Luna Maya berhasil menyinggung perasaanku sehubungan dengan penilaian subyektifnya seputar masalah sekolah-sekolahan. Tapi toh aku sama sekali nggak berminat buat menjeratkan sanksi hukum ke dia. Biarlah dia menerima sanksi moral dariku, seumur hidup aku akan menganggap seluruh karya yang pernah dihasilkannya sebagai karya yang sama sekali tidak berbobot!


Facebook comments:

11 Comments

  • Athrun |

    sip.. pertamax dah diamankan… skarang komen aslinya… :p

    Setuju sama sampeyan mas… ntar gag bisa ngoceh macem-macem diblog lagi… trus gunanya blog apa??

    tapi kok km gag diperkarakan mas… kan banyak tulisanmu yang subyektif.. hehehe…

  • Sheva.. |

    oo gitu toh joe.. asal mula kmu gk doyan sama luna maya pas jaman kul.. pantesan.. taunya zaskia mecca dan dian sastro..

    teteplah ngeblog dan menulis dengan berani joe.. aku dukung.. tpi dari belakang bae ye hehehe

  • Yang Punya Diary |

    Sheva..:::
    saya juga tau yang lain kok, ndri. tapi tetep pengecualian buat luna maya 😈

    faisal dwiyana:::
    memang jadinya tetep. tetep harus hati2 sama sanksi moral yang ada. cuma ya itu… walopun – buatku sendiri – harusnya sanksi moral lebih bikin tekanan batin ketimbang sanksi hukum, sanksi hukum kesannya lebih menakutkan.

    saya pribadi bisa stress kalo ga bisa misuhin orang yang bikin saya mangkel. apa ini berarti saya harus mulai untuk jadi anonymous?

    di endonesa belum ada yang kayak ginian, sih… πŸ™

  • Yang Punya Catatan Fesbuk |

    Sebenernya, orang boleh saja tersinggung, dan bereaksi terhadap sikap orang lain. Dan sebaliknya, sebagai suatu sikap aksi-reaksi. sebab-akibat…
    Yang jadi masalah adalah, orang2 sekarang cenderung suka rese’ dan dendaman. senang melihat orang lain(*musuhnya*) terbunuh karakternya. Sepertinya ini sedang trend di Indonesia… Character Assasination…
    Karena memang perangkat hukum yang ada sangat memudahkan hal ini… UU ITE, terus pasal pidana pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan… sangat sering di pakai di beberapa tahun terakhir di dunia hukum kita
    Walhasil, kalau sekarang aku gak suka ama tetangga yang nanggep wayang karena suaranya kemana2 bisa aja aku laporin ke polisi, masukin pasal perbuatan tidak menyenangkan.. heheheheh…
    Orang Indonesia jaman sekarang suka mengadu, suka mempersalahkan, no tolerance… kalau bisa membuat *musuh* terbunuh, terbacok, di hukum mati, kenapa nggak?
    minimal bikin dia nyesel pernah bikin masalah sama kita.. he he he
    yang penting secara hukum kita di dukung(legal)

    makanya Joe, orang yang waras, masih punya toleransi, rasa sabar, tepo seliro, openmind dan mengerti arti manusiawi-seperti kita ini- pasti akan terasa ngeri melihat kenyataan yang ada sekarang ini πŸ™‚

  • bangaip |

    Saya nggak nyangka ternyata topik tulisan kali ini adalah Santo Yosep vs SMAN 1.

    Hihihi.

    Kalo soal pengungkapan isi hati di depan publik. Well, buat saya kalo berani bicara yaa berani tanggung jawab. Siapa yang menabur angin dia yang akan menuai badai. Yang jadi pertanyaan, siapa yang memulai? Itu yang penting.

    Internet itu bukan topeng. Dan kebebasan 100% itu setahu saya (mengacu pada Umberto Eco) hanya ada di negeri bernama Utopia.

    Balik lagi ke Santo Yosef vs SMAN 1 – Well mahasiswa-mahasiswi saya dulu banyak dari dua sekolah tersebut. Dua-duanya sama saja kok. Sama sama suka ngambek kalo dikasih tugas segunung. Hahaha…

  • Yang Punya Diary |

    Yang Punya Catatan Fesbuk:::
    kita memang orang2 baek. kita ini super sekali :mrgreen:

    bangaip:::

    Saya nggak nyangka ternyata topik tulisan kali ini adalah Santo Yosep vs SMAN 1.

    Hihihi.

    apa boleh buat, bang. ini dendam lama yang berawal di gor ngurah rai πŸ˜€

    Kalo soal pengungkapan isi hati di depan publik. Well, buat saya kalo berani bicara yaa berani tanggung jawab. Siapa yang menabur angin dia yang akan menuai badai. Yang jadi pertanyaan, siapa yang memulai? Itu yang penting.

    ini bakal susah, kalo menurut saya. setiap pihak pasti punya pembelaan. maka kalo buat saya, biar pihak netral sendiri yang menilai dan memberikan konsekuensi lewat sanksi moral yang ada

    Internet itu bukan topeng. Dan kebebasan 100% itu setahu saya (mengacu pada Umberto Eco) hanya ada di negeri bernama Utopia.

    andainyapun benar utopia, lewat UU yang ada, negeri ini semakin jauh dari utopia 8)

    Balik lagi ke Santo Yosef vs SMAN 1 – Well mahasiswa-mahasiswi saya dulu banyak dari dua sekolah tersebut. Dua-duanya sama saja kok. Sama sama suka ngambek kalo dikasih tugas segunung. Hahaha…

    lulusan-lulusan terbaik mereka – termasuk dari cara berpikir dalam menghadapi hidup dan tantangan – soalnya pasti pada keluar bali, bang. jadilah yang tersisa di situ cuma para tukang ngambek 😈

So, what do you think?