Al Islam dan Jurnalisme Sampah

Waktu esema dulu aku sempat ikut macam-macam ekstra kurikuler yang untuk lebih singkatnya ta’sebut sebagai ekskul aja. Yah, namanya saja anak muda yang saat itu sedang menderita approval junkie, akunya ikut macam-macam ekskul itu – apa boleh buat – hanya gara-gara 1 macam alasan dominan saja: biar ngetop di sekolah, karena ngetop di sekolah kupikir bakal banyak untungnya.

Salah satu keuntungan yang kuincar adalah kekebalan diplomatik. Dengan aktif di berbagai ekskul dan kesempatan mewakili sekolah di ajang lomba-lombaan, baik tingkat kodya ataupun propinsi, aku bebas dari omelan guru-guruku di sekolah. Mau datang ke sekolah tidak saat bel masuk berbunyi pun akunya dalam posisi aman-aman saja. Misalnya saja, aku tidak jarang baru datang ke sekolah jam 07.30 (aslinya, sih, jam 07.00 akunya sudah harus ada di kelas) yang tentu saja dihadang guru piket di dekat gerbang sekolah. “Anindito, kenapa kamu baru datang jam segini?” tanya Pak Loper yang wakil kepsek urusan kesiswaan yang kebetulan dapat jatah piket hari itu.

“Ooo…anu, Pak. Sebenarnya saya sudah datang dari tadi. Cuma mendadak disuruh Leo balik ke rumah buat ngambil kamera. Nanti, kan, rencananya saya harus motret anak-anak yang ikut lomba nabuh. Nha ini makanya saya cuma bawa kamera. Tas saya, sih, udah di kelas dari tadi,” jawabku ngibul sambil mengkambing-hitamkan Mbak Leo yang Ketua OSIS itu. Aku memang ngibul, lha wong akunya benar-benar baru datang saat itu. Tidak bawa tas berisi buku pelajaran pulak! Yang lebih rutin kubawa ke sekolah pada jaman itu adalah kamera SLR analog cap Pentax punya babahku sehubungan dengan posisiku yang ketua seksi dokumentasi di OSIS. Dan kenapa aku bisa jadi ketua seksi dokumentasi, itu semua gara-gara pada masa itu sak sekolahan cuma aku yang bisa (catat: bisa, bukan berarti jago) mainan kamera model SLR.

Lanjut lagi, Pak Loper manggut-manggut kemudian mempersilakan aku masuk.

Cerita lainnya lagi, aku pernah diminta sekolah buat jadi wakil mereka di Porseni cabang lawak. Aslinya, sih, aku bukan anak ekskul teater. Hanya pas sekolah nyari wakil di Teater Angin-nya sekolahku, ealah…anak-anak di situ malah merekomendasikan namaku. “Anindito aja, Pak. Anak kelas I.5.”

Jadilah aku akhirnya dapat jaket sekolah yang khusus buat kontingen Porseni. Rasanya bangga banget pas makenya. Lha baru juga beberapa bulan jadi murid Smansa, mereka sudah mempercayakan aku memakai jaket simbol kebanggaan sekolahku itu. Bareng 2 orang temenku, Gus “Celeng” Wid dan Tutde “Black” Suastika, yang kebetulan temen sekelasku di I.5, kami latihan seadanya. Minta dispensasi ke guru-guru buat nggak ikut jam pelajaran dengan alasan, “Mau latihan, Pak. Biar nggak malu-maluin nama sekolah…”

Alhamdulillah kami menang di tingkat kodya. Konsekuensinya kami harus jadi wakil kodya buat tanding lagi di tingkat propinsi. Jumawa juga rasanya. Bagaimana tidak? Sejujurnya grup dagelan kami, kan, bukan kumpulan tukang dagel terbaik di sekolah. Kami cuma anak-anak dari 1 kelas yang sama, di tahun pertama kami jadi penghuni Smansa pulak! Kesannya, buat jadi juara, tidak perlulah Smansa menurunkan tim terbaiknya. Cukup anak-anak kelas 1 saja yang maju. Anak kelas 1 pun tidak perlu diseleksi lebih dulu, cukup anak-anak I.5 sahaja.

Ajaibnya, kami menang lagi di tingkat propinsi. Saat itu juga level kami di sekolah jadi naik ke kasta tertinggi buat anak-anak kelas 1. Cerita segera beredar ke seantero Denpasar, dari tempat nongkrong satu ke tempat nongkrong lainnya, dari sekolah satu ke sekolah lainnya. Dan kami pun mulai berlagak :mrgreen:

Besok-besoknya kami diminta Kodya buat tampil di pembukaan acara Pekan Seni Remaja. Hanya saja mereka mintanya rada mendadak. Harus tampil sore hari, paginya kami baru diberi tahu. Maka dengan sok-sokannya kami menolak! ๐Ÿ˜ˆ “Bukan apa-apa, Pak. Ini terlalu mendadak. Kalo dipaksakan tanpa persiapan kami takut malah tampil jelek. Daripada bikin malu nama besar Smansa lebih baik kami memilih tiada naik pentas sahaja,” jawab kami.

Cuma saja Pak Sadha, wakil kepsek urusan duit itu tiada menyerah. “Gini saja, Nak. Ini karena permintaan khusus dari pemkot dan sekolah sudah terlanjur bilang iya, kalian tampil seadanya pun tiadalah mengapa. Hanya, ya jangan benar-benar seadanya. Berusahalah semaksimal mungkin. Sebisa kalian,” kata Pak Sadha.

“Tapi kami nggak punya waktu buat latihan, Pak. Belum juga nyusun cerita,” sergah Celeng.

“Saat ini juga kalian dapat dispen. Nggak usah ikut pelajaran. Silakan latihan sebisa kalian.”

“Tapi setengah hari tiadalah cukup buat bikin properti, Pak,” kata Black.

“Beli saja. Kalian butuh berapa, sekolah yang nanggung dananya.”

“Kami juga butuh kru, Pak. Nggak mungkin segalanya kami selesaikan sendiri, apalagi waktunya cuma setengah hari. 3-4 teman cukuplah. Tapi masak mereka nggak dibagi?” tanyaku penuh arti.

“Itu juga termasuk. Atur saja,” jawab Pak Sadha pada akhirnya.

Ostosmastis kami jadi semangat. Alih-alih latihan, kami malah sibuk bikin proposal dana. Diitung, diitung, dan diitung, kami butuh ongkos nyaris sejuta. Jumlah yang gila-gilaan pada masa itu. Lebih gilanya lagi, proposal kami langsung tembus 4 angka! Dengan hati riang kami pun pulang. Pulang ke rumah Black, maksudnya. Bukan buat latihan tapi buat tidur-tiduran. Masalah dana yang kami terima, kami akali habis-habisan. Ongkos make-up, misalnya… Ketimbang make-up di salon profesional yang butuh biaya besar, kami pilih make-up di salon mamanya Yudhi Gogon. Wig dan segala macam peralatan tempur kami embat dari situ. Gratis! Kostum juga nggak jadi kami beli. Kami mati-matian cari pinjaman. Celeng misalnya, untuk kostum hansip yang nantinya dipake sama Black, dia ngembat punya bapaknya. Sementara aku yang kebagian peran sebagai pelajar, dengan mudahnya mengkaryakan seragam esempeku.

Properti panggungnya? Oh, rumahnya Black sedang direnovasi. Di situ bertebaran papan triplek, kayu reng, dan berkaleng-kaleng cat bekas pakai. “Ketimbang duitnya ilang di toko bangunan, kita pakai ini saja. Sisa duit jatah kita buat nraktir anak-anak sekelas di Men Redio,” kata Black sumringah sambil menyebut warung nasi babi guling tempat nongkrong favoritnya anak-anak.

Begitulah, kami ini bukan koruptor. Kami ini macam Robin Hood. Setelah sorenya kami manggung dan sukses besar (kecuali aku yang kuakui sendiri kalo sore itu aktingku kaku, tidak selos biasanya), besoknya sisa duit hasil bayaran kami manggung kami pakai buat nraktir anak-anak sekelas di Men Redio, seperti sumpah yang diucapkan oleh Black hari sebelumnya.

Yeah, ekskul yang resmi aku ndaftar atas inisiatifku sendiri sebenarnya cuma 2, sepakbola sama kempo. Sisanya, ya hasil jadi pemain cabutan. Giliran ngumpul rutin nggak pernah datang, tapi setiap giliran latihan persiapan lomba aku selalu dipanggil, seperti yang terjadi di ekskul jurnalistik. Di ekskul ini aku juga aslinya cuma diajakin Ratna sama Ade. Hasilnya? Pas upacara bendera saban hari Senin Ratna sering ngomong, “Kamu aja yang maju buat nerima piala, Joe. Kamu, kan, pede.”

Alhasil aku pun maju. Kalo biasanya anak-anak yang dipanggil maju pas sesi “Smansa dalam Prestasi” memilih maju dengan cara memutar lewat belakang barisan, aku memilih maju dengan melintasi tengah lapangan di depan barisan tiap kelas buat menerima piala dan penghargaan. Lumayan, bisa nampang sedikit lebih lama dari yang lain, batinku :mrgreen:

Gara-gara ngikut ekskul jurnalistik – dan keseringan menang lomba atas nama jurnalistik – itu akhirnya aku kebawa-bawa terus, sampai akhirnya aku dapat cap sebagai anak jurnalistik alih-alih anak bal-balan, anak teater, ataupun anak kempo. Gara-gara ekskul ini juga akunya sempat nyicipin ngendon di kantornya Bali Post selama beberapa tempo bareng Agung plus Marthana. Ceritanya aku jadi wartawan bohong-bohongan. Lumayan, sempat dapat semacam kartu pers sebagai tanda pengenal. Lumayan juga, beberapa kali pula aku kebagian nonton konser band gratisan dengan status, “Eh, eh, saya ini wartawan, lho…” ๐Ÿ˜ˆ

Bahkan selepas esema, waktu aku nganggur setahun gara-gara malas kalo langsung lanjut kuliah, beberapa sejawat masih sempat bertanya, “Lho, nggak kuliah? Kamu sekarang resmi di Bali Post ya, Joe? Jajanin kita-kita, donk. Kan udah punya duit sendiri.” Ealah…padahal di situ itu aku nggak kerja, kok. Tercatat sebagai wartawan resmi aja tidak, apalagi terima gaji. Aku cuma numpang nyeruput es teh sama nyari jatah mamam siang aja kalo lagi main di kantornya Bali Post yang di Jalan Kepundung itu ๐Ÿ˜†

Tapi, sumpah, yang namanya wartawan bohong-bohongan jelas aja aku jauh dari ilmu kewartawanan yang sesungguhnya. Aku nggak ngerti terlalu mendalam apa itu kode etik jurnalistik dan lain semacamnya. Aku taunya cuma nulis sama nggambar buat ilustrasi tulisan. Lainnya? Nehi!

Hanya saja meskipun statusnya cuma bohong-bohongan, aku sempat pula dapat ilmu seputar penulisan artikel yang baik dan benar. Saking ilmunya itu memang cara-cara menulis yang baik dan benar, aku malah kayak nggak cocok. Lha kalo disuruh nulis secara obyektif, subyektifitasku malah keseringan kebawa. Efeknya, lihat saja tulisan-tulisanku di blogku ini, semuanya subyektif. Maka gara-gara nggak bisa nulis secara obyektif dengan baik dan benar, gagallah aku meniti karir sebagai wartawan. Aku putus asa dan akhirnya memilih kuliah sajalah di Gadjah Mada, ahahaha…

Karenanya, karena aku tau batas kemampuanku, aku suka kesal setiap ngeliat media yang nggak bisa menulis dengan obyektif. Aku suka mangkel kalo mbaca tulisan-tulisan semodel di Voice of Al Islam. Sumpah, itu situs benar-benar gembus!

voice of al islam

Bagaimana nggak, tema tulisannya lebih banyak tentang provokasi. Gembelnya, mereka mengklaim diri mengatas-namakan umat Islam secara keseluruhan. Tapi isi beritanya? Bah, brengkes (baca: brengsek, Masdab)!

Ceritanya aku tau situs ini dari tulisan seorang teteh tentang kegelisahannya atas umat Islam yang terkotak-kotak. Lebih jauhnya lagi, aku jadi tau kalo ada (semacam) fitnah buat Islam Syiah dari Islam Sunni tentang digantungnya mayat balita di Suriah. Sumprit, gambarnya ngeri beudlah. Tapi, kenapa kubilang (semacam) fitnah? Ya itu karena, pertama, gambarnya tidak begitu jelas, kedua, sumber gambarnya sendiri juga sejelas gambarnya. Maksudku, ya sama-sama tidak jelas.

Komentar umat Islam (Sunni) di Endonesa tentang gambar itu? Mudah ditebak! Kata-kata semodel “bantai Syiah” bertebaran, (mungkin) tanpa mereka tahu itu gambar benar-benar kekejian yang dilakukan Syiah atau sekedar kibul-kibulan belaka demi memprovokasi umat. Kasusnya adalah kalo yang terakhir adalah yang benar, artikel tersebut sukses dalam misinya: memprovokasi umat.

Seperti yang kita tahu, umat Islam di Endonesa itu masih banyak yang sangat reaktif tapi ngaco terhadap berita-berita model gini. Hell yeah, rata-rata umat Islam di Endonesa masih berpaham Sunni, dan mereka kayaknya memang membenci Syiah gara-gara masalah sepele: salah nyantrik! Mereka membenci Syiah, biasanya, tanpa benar tahu Syiah itu seperti apa. Mereka nggak mau kroscek. Mereka belajar tentang Syiah dari sekte kompetitornya alih-alih belajar dari orang Syiah sendiri. Lha, kalo yang dijadikan tempat rujukannya dalam belajar itu lebih dulu membenci Syiah, hasilnya tiada lain dan tiada bukan hanyalah kebencian warisan. Lagian pada aneh juga, sih… Pengen tau tentang Syiah, kok, ya nggak nanya sama pemeluknya langsung? Pengen tahu tentang sejarah Liverpool, kok, nanyanya sama pendukungnya Manchester United? Yang model demikian manalah bakal nyambung?

Di tulisan itu pula aku sempat urun komentar. Jenis komentarnya adalah komentar prihatin kayak di bawah ini:

Beberapa oknum dari kampus saya juga hobi nih yg model ginian. Nggak jarang bikin status yg isinya black campaign buat syiah. Dikiranya masuk surga itu sejenis pilkada apa; kalo mahzab yg 1 menang suara, mahzab yang lain ga boleh ikutikutan nyicipin surga.

Kalo boleh suudzon, saya malah kepengen nebak, mereka yang model kayak gitu itu sangat boleh jadi tidak memakai metode kroscek buat nyari tau tentang syiah. Saya dulu waktu esempe juga gitu sih. Taunya syiah itu ulah bejatnya Abdullah bin Saba. Untungnya pas jaman kuliah saya keburu insap

Membaca tulisan tersebut membuatku tergiring ke situsnya Voice of Al Islam itu tadi. Situs ini semacam portal berita buat umat Islam. Sayangnya, berita-berita yang dimuat di situ adalah tipikal berita CARI MUSUH!

Lha, gimana nggak cari musuh? Coba saja antum liat sendiri, berita-beritanya penuh tendensi provokasi. Buatku sendiri sangat kentara sekali aroma ngajakin ributnya. Kesannya, pembacanya diajak untuk ikut memusuhi apa-apa yang tidak disenangi oleh redaksi mereka.

Mereka nggak suka Syiah, Syiah dijelek-jelekkan. Dijelek-jelekkannya pun kental nuansa sepihak; tidak berusaha mengkover informasi dari kedua sisi. Asal cocok sama selera mereka – kayaknya – peduli setan dengan informasi yang berseberangan. Nggak perlulah informasi tandingan itu dimuat daripada nanti redaksi mereka dituduh tidak konsisten dalam menghujat. Pokoknya – ya kayak yang kubilang barusan – asal cocok, dimuat. Kalo nggak cocok? Errr…rasanya bakal dicocok-cocokkan supaya sesuai dengan selera mereka, deh.

Itu baru black campaign buat yang seiman sama mereka tapi beda sekte. Yang beda iman tentulah lebih parah lagi. Mereka yang bernasib sial di situs mereka bakal diposisikan macam penjahat perang. Perlu dibasmi dari muka bumi. Voice of Al Islam ini bahkan kelihatan kurang puas menuding oknum yang bersalah dari identitas nama lengkap sang oknum saja. Buat mereka, sangat perlu untuk identitas religi sang oknum diblejeti. Korbannya siapa lagi kalo bukan agama tetangga, Kristen dan Yahudi.

Bah, jurnalisme sampah!

Jadi, kalo ada oknum pemeluk agama sebelah yang membuat jajaran redaksi mereka kebakaran jenggot, kesalahan si oknum ini bakal dinilai makin salah karena agamanya bukanlah agama yang dipeluk oleh si pemimpin redaksi. Aseek, kan? Aseek matamu! ๐Ÿ‘ฟ

Sudah jelas, kan, kalo Voice of Al Islam ini cari musuh? Buatku sangat jelas. Menjelek-jelekkan mahzab kompetitor, menyalah-nyalahkan agama sebelah, buatku itu sudah cukup sebagai sebuah indikasi tukang nyari ribut. Lha, homo sapiens mana, sih, yang suka keyakinannya dijelek-jelekkan? Nggak ada, tho?

Kalo nggak ada, apalagi itu judulnya kalo bukan nyari-nyari perkara? Dan berhubung mereka itu hobinya nyari musuh, beruntung buat mereka, mereka bakal menemukan apa yang mereka cari, cepat atau lambat.

Tapi mereka berbahaya buat umat Islam lainnya. Pertama, citra Islam di mata pemeluk agama lain bisa saja jadi buruk gara-gara kelakuan mereka. Kedua, Islam semakin jauh dari imej rahmatan lil alamin alias rahmat bagi semesta alam, agama perdamaian. Ketiga, bajingseng! Seenaknya saja mereka mengklaim bahwa suara mereka adalah suara umat Islam secara general. Brengsek betul mereka memajang tagline bahwa suara mereka adalah suara kebenaran (dalam konteks Islam). Islam yang mana, Bung? Aku juga Islam (dengan parameter bahwa kolom agama di katepeku pun tertulis “Islam”), tapi aku nggak merasa sampeyan wakili. Keempat, pada akhirnya para pemeluk agama Islam jadi sangat besar kansnya untuk benar-benar dimusuhi. Kampretlah!

Mereka amat sangat subyektif sekali dalam pemberitaan!

Lho, tapi Akh Joe, bukannya antum sendiri juga suka subyektif? Kok, sekarang malah protes begitu ada yang sama atau malah lebih subyektif ketimbang antum? Sudah sewajarnya dan malah seharusnya antum ikutan bangga, dong, Akh Joe…

Lha, iya. Aku memang subyektif. Aku subyektif tapi sebisa mungkin tidak mengklaim kalo subyektifitasku itu adalah sebuah obyektifitas. Aku nggak ngaku-ngaku kalo suaraku adalah suara orang banyak. Aku nggak bakal bilang kalo aku adalah pengambung, eh, penyambung lidah rakyat, terutama jenis rakyat yang bentukannya manis kinyis-kinyis. Aku nggak bakal sok-sokan mewakili siapapun di dalam kesubyektifanku. Suaraku ya suaraku sendiri. Situ nggak perlu repot-repot untuk ikut, nurut, manut.

Tidak habis pikir akunya sama agenda dari pembuat situsnya. Mau mencelakai sodara seiman sendiri atau gimana tho maksudnya? Kalo maksud mereka memang baik, pengen membela nama Islam, tiada bakal mereka meresikokan sodara seimannya sendiri untuk ikut-ikutan dimusuhi sama orang lain gara-gara ulah mereka. Makanya, aku heran juga, entah kenapa mereka, kok, memilih bermain dengan style seperti itu…

Memang tidak bisa dipungkiri, sih, di luar sana banyak pula media, baik online maupun offline, yang menghujat Islam dengan brutal. Tapi apa api harus dibalas api? Apa perlu ikut-ikutan menampilkan wajah buruk kepada mereka yang lebih dulu menampilkan wajah buruknya?

Ealah… Ya Allah, setulus hati aku berdoa… Seandainya pun di dunia ini semua pihak sudah lebih senang untuk menampilkan wajah buruknya masing-masing, dengan bangga pula, jangan Engkau jadikan aku ikut-ikutan gaya dan penampilan buruk mereka. Tetap jadikan aku seperti aku yang sekarang ini, ya Allah. Tidak mengapa bagi hamba untuk jadi manusia berwajah ganteng terakhir di muka bumi ini. Sungguh, sendiri pun tiada jadi soal. Kesepian tapi ganteng, bagi hamba, jauh lebih mulia daripada rame-rame tapi amburadul. Amen.

Aku malah jadi inget sama Jonah Jameson kalo sudah seperti ini. Tau Jonah Jameson? Kalo nggak tau, ya sini aku kasih tau. Dan bagi yang sudah tau, sampeyan boleh, kok, ngeloncati mbaca paragraf yang ini. Jonah Jameson itu bosnya Peter Parker (jangan bilang nggak tau siapa itu Peter Parker lho ya. Apalagi kalo sampe nekad mau bilang kalo sampeyan ini nggak tau siapa itu Spider-Man), pemred di koran harian Daily Bugle – tempatnya si Peter kerja jadi tukang foto keliling.

Daily Bugle ini kerjaannya nulis berita yang bernuansa negatif tentang Spider-Man. Sekalipun Spidey sudah rajin nulungin orang, buat Jonah, Spidey tetaplah pengacau New York, badut dengan kostum laba-laba. Dan gara-gara berita yang menurut Peter sangat tidak berimbang dan tidak obyektif inilah akhirnya si Peter protes, “Mas Bos, apa kita ndak bisa sekali-sekali nulis berita tentang Spider-Man dengan lebih obyektif? Masyarakat di luar sana, kan, perlu tahu fakta yang sebenarnya. Kalo macam begini terus lak yo mesakke Spider-Man-e.”

Apa jawab Jonah? Jawabnya, “Fakta? Kamu bilang masyarakat butuh fakta? Tanyakan pada mereka, apakah mereka mau fakta? Mereka pasti jawab, ‘Mau.’ Tanyakan ke mereka, apa mereka mau berita yang obyektif, yang berimbang? Mereka bakal jawab, ‘Mau.’ Tapi sebenarnya mereka tidak butuh itu. Mereka cuma butuh dongeng. Dan, seperti kambing, dongeng apapun bakal mereka telan.”

Yep! Jonah memang benar. Memang begitulah bisnis media: tulislah berita yang laku dijual.

Maka, oke, kalau ini tentang bisnis media, aku bisa mengerti keputusan Voice of Al Islam menurunkan berita-berita kontroversial macam sekarang ini. Masyarakat Islam di Indonesia memang masih banyak yang bodoh, yang suka banget kalo nemu dongeng-dongeng baru. Mereka adalah pasar yang sangat potensial untuk digarap. Bisnis adalah bisnis. Bisnis bisa menunggangi apapun, kok. Mulai dari menunggangi wanita sampai menunggangi agama. Jadi, sekali lagi, kalau ini memang tentang bisnis, ditambah kecenderungan situs Voice of Al Islam yang memang ke arah itu (lihat saja, separuh halaman situsnya berisi iklan semua, lho), aku nggak berhak protes apa-apa lagi. Silakan saja menulis semaunya.

Tapi kalo mereka memang benar-benar berniat untuk menjadi wakil Islam, menyuarakan isi hati umat Islam, dan – lebih jauh dari itu – meningkatkan dan mengembangkan mutu serta sumber daya umat Islam ke arah yang positif dan konstruktif, aku cuma bakal meniru kata-katanya Mas Yanto, satpam di kampusku, ketika dia mencak-mencak saat mendapati Septri merokok, genjrang-genjreng mainan gitar sambil teriak-teriak, plus mainan basket di lobi kampus (pengumuman! Di kampusku sekarang sudah ada plang dilarang merokoknya, lho, Dab). Saat itu Mas Yanto bilang ke Septri, “Belajar agama lagi sana!”


Facebook comments:

7 Comments

  • Prima |

    dan parahnya orang Endonesa itu gampang banget percaya sama berita dari suatu web/sumber berita lain tanpa kroscek itu berita kuat gak sumbernya mas

  • Yang Punya Diary |

    kadang-kadang saya kepikiran juga buat bikin artikel dengan tema seperti yang sampeyan bilang. selama ini – perkara parahnya minat baca, dan kroscek, tentunya – di kalangan orang-orang indonesia cuma ta’singgung sedikit-sedikit, je…

  • Yang Punya Diary |

    eramuslim kadang-kala juga begitu, kok, masdab. saya suka heran…dibanding berkonsentrasi ke arah yang konstruktif untuk perkembangan internal, oknum-oknum macam mereka itu lebih suka mengutuki dan mengkambing-hitamkan faktor eksternal yang dinilai membuat keberadaan mereka makin tenggelam

  • weduzzzzzzzzz |

    siapa pun yg mengatas namakan agama didunia ini mk mreka adalah termasuk kaum yg akan dimasukkan ke neraka. bener ora kuwi nyet…lali aq je…hehe

So, what do you think?