Alibaba dan 10 Penonton

Ini cerita malam final Piala Dunia kemarin!

Cerita ini sesungguhnya tidaklah fiktif belaka. Nama pelakon dan setting tempat benar-benar nyata terdapat di Jokja. Jikalo ternyata terdapat kesamaan nama, sukurin, itu artinya nama panjenengan lumayan pasaran sehingga bisa mirip sama nama tokoh yang ada dalam ceritaku sebentar lagi ini. Dan jikalo terdapat kesamaan tempat dan lokasi, ya apa boleh buat… Namanya sahaja bukan cerita fiktif, tentulah bakal jadi fiktif kalo nama tempatnya ternyata cuma bohong-bohongan. Iya, kan? Iya tho? Iya aja, deh!

Tapi setidaknya bersyukurlah. Ucapkan kalimat hamdalah. Nama sampeyan nunut ngetop di tulisanku. Itu setidaknya lumayan ketimbang sampeyan kejeduk kusen pintu.

Jadi tanpa perlu basa-basi pembukaan lebih jauh lagi, berikut langsung kuceritakan kalo seharian menjelang final World Cup 2010 kemarin aku tidur seharian. Demi apa, sodara-sodara? Tentu saja demi menghimpun tenaga buat nonton pas malemnya. Soalnya sudah jadi rahasia umum kalo aku ini tidak terlalu betah melek sampe subuh kecuali pas lagi dugem.

Seharian itu aku baru bangun sekitar jam 3 sore. Hapeku tentu saja kudapati masih dalam keadaan mampus demi meminimalisir gangguan-gangguan SMS dari penggemar-penggemarku. Maka sehubungan dengan hal itu, berhubung aku sudah melek, hapeku ta’nyalain, dan berentetan pesan langsung masuk ke dalam inboxku. Sialnya dari sekian pesan yang masuk itu, kok ya yang ada malah berasal dari makhluk-makhluk butut, misalnya Septo. Ke mana ini gadis-gadisnya? Ikutan bobo seharian demi nonton final jugakah?

Septo nanya, kemarin pas perebutan tempat ketiga Jerman lawan Uruguay aku nonton di mana, yang tentu saja kujawab kalo aku nonton di Empire Cafe cuma berdua sama Dik Dewi. Selanjutnya, dengan lagak ala Don Corleone, Septo malah memandatkan supaya aku segera meng-arrange kegiatan nonton bareng di Empire sambil wanti-wanti kalo kepengen tau berapa meja yang harus dipesan dan berapa manusia yang bakal ikut nonton bareng, aku dipersilakan untuk menghubungi staf beliau yang berjudul Ernes.

Oke, kusanggupi. Segera aja aku nanya ke Ernes tentang berapa orang yang mau ikutan nonton bareng, yang celakanya malah dijawab sama Ernes kalo dia tiada tahu-menahu tentang jumlah peserta nonton bareng tersebut. Wah, gembel! Don Corleone dari Glagahsari ini ternyata kampret juga. Entah beliaunya yang ndak beres atau memang staf-stafnya yang pada butut, daku tidaklah tahu. Yang jelas Ernes segera kuperintahkan buat mencari tahu siapa aja makhluk yang mau ikutan nonton bareng.

Nama didapat. Tercatat makhluk-makhluk seperti Septri, Kibol, Imel, dan Budi mau ikutan nonton bareng. Cuma saja untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak… Dik Dewi yang kuminta buat mbooking tempat di Empire mengabarkan kalo di situ sudah penuh. Kusuruh ke resto yang di sebelah Empire, eh, mereka di situ malah jadi antek kapitalis. Kalo mau nonton bareng final Piala Dunia pake layar besar, aku harus merelakan duit sebesar 20 ribu rupiah untuk 1 kursi.

Rapat kilat segera digelar. Aku langsung cabut ke Warkop Manut buat nemuin anak-anak singkong itu yang lagi pada nongkrong di situ, memberitakan kalo acara nonton bareng terancam bubar. Setelah sempat ada wacana buat nonton aja di tempat Abhonk yang punya tivi layar datar segede 40 inci lebih, akhirnya karena nggak enak sama mamanya Abhonk yang nantinya terpaksa harus menyediakan berloyang-loyang pizza dan bergelas-gelas Milo kalo kami nekad nonton di sana, aku malah jadi teringat kalo di deket rumahku di Soropadan ada kafe yang baru buka. Judul kafenya adalah “Alibaba”.

alibaba cafe

Tempatnya di dekat pertigaan beringin di seberang Bank Mandiri Gejayan. Nah, kafe itu pasti nggak mau dicap ketinggalan tren. Doi pasti ikutan latah ngadain nonton bareng. Maka kuputuskan untuk segera SMS Dewi, memandatkan supaya mbooking tempat buat 10 orang.

Alhamdulillah… Maha benar Allah dengan segala firmanNya! SMS balasan dari Dewi datang. Di situ kami dapat tempat. Kabar lebih baiknya lagi, kami dapat tempat buat 10 orang di shaf paling depan. Ini tentu menggembirakan. Soalnya, konon, kalo kita bisa dapat shaf paling depan, kita bakal dapat pahala yang paling besar! Sebesar unta plus anaknya, kata guru ngajiku dulu tanpa merinci anak untanya itu baru lahir, masih kecil, remaja, atau malah udah segede orangtuanya juga. Hore…

Dan karena waktu buat nonton masih panjang, akhirnya disepakati kalo acara nongkrong di Manut malam itu dilanjutkan saja di rumahku sambil main Pro Evolution Soccer plus minum-minum. Dari sekian nama manusia yang kusebut di atas cuma Budi yang akhirnya mengundurkan diri. Katanya mau nonton di kos aja. Aphip sama Trojan yang sempat ikutan nongkrong di Manut juga idem memilih pulang. Aphip mau nonton di rumah, sedangkan Trojan tidak diketahui alasan logisnya. Dicurigai dia mau nonton berdua sama mahasiswi statistika yang ngambil kuliahnya yang kebetulan ketiban nasib buruk diincar sama dosennya sendiri (pengumuman! Trojan sekarang sudah jadi dosen dan disinyalir memanfaatkan status barunya itu buat mendekati gadis-gadis manis yang ngambil mata kuliahnya).

Waktu kick-off hampir setengah jam lagi ketika akhirnya begundal-begundal di rumahku itu mengakhiri ritual minum-minum dan main PES-nya untuk kemudian berangkat ke Alibaba.

Sampai di lokasi, wedew, tempat itu sudah rame. Aku sama Dewi segera masuk untuk menagih tempat pesanan kami gara-gara curiga, dari luar kok tempat yang kami pesan sudah diduduki segerombolan orang? Dewi yang tadinya dapat tugas mbooking kontan segera menuju ke arah kasir sekaligus dapur tempat staf cafenya pada nongkrong. Sejurus kulihat Dewi terlibat adu mulut dengan mbak-mbak yang kucurigai adalah penanggung-jawab Alibaba ini.

Ini pasti ada yang nggak beres, batinku. Kuhampiri mereka. Dan benar saja, si mbak geblek itu malah nyalahin kami yang datang belakangan, jadinya tempat kami sudah diambil orang.

Dewi ngotot. “Kan saya sudah booking, Mbak,” katanya.

“Tiketnya mana?” tanya si Mbak. “Di sini kalo mau booking harus beli tiket dulu,” sambungnya.

“Lho, tadi saya booking nggak dimintain apa-apa. Bilangnya, oke-oke aja. Gimana, sih? Kalo memang harus pake tiket kenapa tadi nggak dibilangin?”

Aku yang melihat dialog zonder tanggung-jawab itu jadi kesal juga. Si mbak sontoloyo ini kayaknya belum pernah ditatar tentang bagaimana cara melayani konsumen yang lagi komplain. Bahkan kalo melihat caranya menanggapi keluhannya Dewi, kayaknya si mbak ini belum pernah nyentuh buku-bukunya Hermawan Kertajaya. Bayangkan, dia ngelayanin gerundelannya Dewi sambil asyik wira-wiri bikin minuman dan corat-coret di kertas. Memandang Dewi pun tidak. Hei, aku tau sampeyan sibuk, Mbak! Ning neng ngarep rupamu iki lagi ono konsumen sing komplain, Suw! Dong ora e?

Di dapur itu ada sekitar 5 orang pelayan. Aku yang makin gusar jadi menyela pembicaraan. Suaraku kukeraskan nyaris setengah berteriak, “Tadi kamu mbookingnya ke siapa, Wi?!”

“Sama saya,” jawab seorang laki-laki di belakang si mbak itu yang kelakuannya 11-12 sama si mbak. Doi aseek ngeracik minuman tanpa memandang siapa yang diajaknya bicara.

“Nha… Kenapa tadi saya nggak dibilangin kalo harus pake tiket?” tanya Dewi.

“Lain kali kalo mau mbooking harus beli tiketnya dulu, Mbak,” kata si mbak yang justru terkesan goblok. Mau membelokkan topik pembicaraan, ya? Sedangkan si mas yang barusan nggak membalas. Dia kembali sibuk dengan kegiatannya yang membuatnya terkesan mencoba lepas dari tanggung-jawab

Aku mangkel. “Oke! Tapi ini jelas bukan salah saya. Adik saya nggak dibilangin kalo harus make tiket. Sekarang tempatnya sudah rame. Jadi, apa solusinya?” tanyaku memandang mukanya yang terus menunduk sambil corat-coret, entah nggak berani membalas tatapanku atau attitude-nya memang macam gitu.

Pandanganku kualihkan ke mbak-mbak 1 lagi yang berdiri di belakangnya si mbak geblek. Dia nyaut, “Iya, Mas. Sebentar saya carikan tempat. Buat berapa orang?” tanyanya.

“Sepuluh,” jawabku ngasal sesuai kesepakatan awal. Biar aja. Biar keliatan sangar, meskipun anak-anak yang menanti di luar cuma ada 6 orang termasuk Bendot yang menyusul belakangan.

Aku pandangi dia yang lagi sibuk nyari tempat. Gerombolan orang yang lagi lesehan di depan layar dimintanya untuk bergeser demi memberi kami tempat. Aku tau kalo itu hampir mustahil. Siapa yang mau melepaskan kenyamanan yang sudah didapatkannya? Dan benar saja, aku dengar gerundelan dari mereka, “Geser ke mana lagi, Mbak? Ini sudah penuh…”

Mbak itu kembali. Dia ngomong, “Penuh, Mas. Nggak bisa.” Ya jelas nggak bisa, dong. Orang paling goblok di kampusku juga tau dari awal tadi. Tapi dapat tempat atau tidak bukan itu yang sekarang kuharapkan. Aku mengharapkan hal lainnya dari sampeyan sekalian, Alibaba!

“Kita cabut, Wi,” kataku ke Dewi tanpa merasa perlu menanggapi omongan mbaknya. “Orang-orang ini nggak tahu kalo aku bisa bikin 1 Jokja tahu kalo kafe ini nggak becus,” sambungku setengah berbisik. Sengaja. Biar mereka nggak penasaran tentang apa yang bakal kuperbuat. Dibikin penasaran itu nggak enak, soale. Nah, aku baik hati, kan? :mrgreen:

Dewi nyengir. Selanjutnya dia bilang ke mbak yang pertama, “Ya sudah, Mbak. Terima kasih.” Dan gembelnya, habis Dewi bilang terima kasih pun mereka masih tetap diam. Sebiji kata sihir pun tidak terlontar dari bibir mereka. Kata sihir itulah yang tadinya kuharapkan dari mereka kalo saja mereka sedikit lebih pintar. Kata sihir itu judulnya adalah em-a-a-ef, “MAAF”! πŸ‘Ώ

Di luar, anak-anak pada bertanya, “Piye, Joe?”

“Kita cabut. Cari tempat lain. Liat aja, habis ini 1 Jokja bakal tau kalo kafe ini semrawut!” sungutku kesal.

Dan alhasil Alibaba kami tinggalkan. Untunglah kami nemu kafe berjudul “Poek” yang masih bisa kami singgahi buat nonton bareng. Kafe itu bisa dibilang semi-privat saking seringnya dijadikan tempat nongkrong dan nonton bareng buat anggota Laziale Jokja. Dan beruntung pula Septo sampai sekarang masih tercatat sebagai anggota Laziale. Dan akhirul kalam Belanda pun kalah di kaki Spanyol setelah sebelumnya Alibaba membuat aku kecewa.

Maka, sehubungan dengan hal itu, terucap doa tulus dari dalam hati: “Semoga kalian cepat bangkrut, Alibaba…” 😈


Facebook comments:

14 Comments

So, what do you think?