Pertama-tama walaupun Lebaran sudah lewat semingguan, izinkanlah beta mengucapkan mohon maaf lahir dan batin karena beta sendiri barulah mulai cuti hari ini buat mudik ke kampung. Maka karena apa, sih, esensi dari Lebaran di Endonesa selain mudik ke kampung, ya beta pikir tiada mengapa jikalau beta baru minta maafnya hari ini. Iya tho? Iya kan? Mbok wis iya aja, deh.
Dan sebagaimana biasanya ritual tahunan di kampung, pertanyaan yang paling sering jadi pembahasan di media-media sosial seputar Lebaran adalah pertanyaan “kapan kawin?”. Maka daripada itu, mumpung masih di jalan, mumpung belum nyampe ke kampung, aku mau cerita seputar problem kawin-kawinan.
Sukro Sujarwo, mas sepupuku di kampung – yang boleh nyombong karena sudah kawin, aeh, nikah – pernah nanya ke aku, “Kowe kapan?” perihal kawin-kawinan. Tapi sejurus kemudian pertanyaan itu malah dijawab sendiri (persis orang edan…takon dewe, nyauri dewe), “Eh, umur nanggung yo? Ya sudah, nanti aja sekalian kalau umur nanggungnya sudah lewat.” Begitu sabdanya.
Memang…memang umurku sekarang ini masuk kategori umur nanggung buat cowok untuk nikah. Konon umur nanggung itu ada di kisaran 28-34 tahun.
Kenapa disebut umur nanggung? Karena begini…
Waktu cowok masuk umur 28, normalnya kehidupan karir kerjaannya mulai stabil (pengecualian buat yang belum lulus kuliah meskipun usia sudah merambat tua). Duitnya lagi mulai banyak. Jadi bolehlah ditoleransi, dimaklumi, serta direstui untuk menambah jam nakalnya beberapa tahun lagi. Lha setelah statusnya yang ke mana-mana asalkan suka tiada orang yang melarang, si bujangan juga baru ngerasain enaknya hati senang walaupun tak punya sambil bergelimang uang, je… Masak baru seneng sa’critan sudah langsung disuruh mikir dan nanggung hidupnya anak ceweknya orang lain? Kapan, dong, kami-kami ini boleh jumawa menikmati hasil keringat kami sendiri secara optimal, padat, dan terpadu? Nikah? Ya nanti dululah. Atau istilahnya Dania, lakon rabi keri!
Jadi kesimpulannya, yang namanya nikah sebaiknya memang setelah lewat 34 aja buat yang sudah terlanjur masuk umur nanggung. Silakan nikmati dulu itu duit kalian sampai muntah-muntah, sampai puas, sampai kapok, karena ya seharusnya kalau kalian memang pengen nikah, nikahlah sebelum kalian umur 28. Supaya apa? Supaya saat kalian memulai berumah-tangga dengan pasangan, kalian bisa mengalami suka-dukanya bersama-sama. Melarat dilakoni bareng, seneng dilakoni bareng, biar makin kompak. Jangan saat sedang euforia punya duit banyak tau-tau masuklah sikon di mana kalian disuruh nahan nafsu kepengen ini-itu. Khawatirnya nanti yang ada kalian malah rada kuciwa…
Itu menurut Sukro Sujarwo, sih. Sementara kalau menurut aku ya terserah situ. Yang kawin di umur nanggung ya situ, yang misalnya nanti seneng ya yang ngerasain situ, kalaupun nanti kecewa ya juga tanggungannya situ, maka apa urusan daku? π
Dan bicara tentang masalah kawin-kawinan, kapan hari sebelum puasa Mbak Nining sempet cerita, betapa temannya sedang dirundung kegalauan seputar kawin-kawinan gara-gara ulah seorang pejantan. Dalam hal ini marilah kita sebut teman Mbak Nining sebagai Natasha, sementara lakinya bernama Wagimin.
Konon, kata Mbak Nining, Wagimin dan Natasha ini sudah dekat sekian lama. Karena merasa dikejar usia, suatu ketika Wagimin mengajak Natasha bicara. Wagimin bertanya kepada Natasha, mau nggak jadi istrinya?
Gembusnya si Nat ini – lagi-lagi kata Mbak Nining – kebanyakan dalih. Ngeles sana, mlipir sini, yang sayangnya cuma buat jaga gengsi. Ditambah bekal statusnya yang masih mahasiswa, aeh, mahasiswi alias belum cukup umur, Nat menolak Wagimin. “Nggak, ah,” demikian katanya waktu diajak Wagimin buat indekos, eh, indehoy secara halal.
Konon, masih kata Mbak Nining, setelah peristiwa tersebut Wagimin ngilang. Natasha yang di depan Wagimin berlagak menolak tapi di depan bapak-ibunya mengumbar cerita bahagia kalau habis diajak nikah, tentu saja kelabakan bukan buatan. Tapi Wagimin benar-benar nggak pernah menghubunginya lagi. Entah, ada apakah gerangan cuma Wagimin dan Tuhan yang paham.
Setelah selang beberapa lama, lagi-lagi ini kata Mbak Nining, tau-tau datanglah sebuah amplop ke haribaan Natasha. Sayangnya ini bukan amplop sembarang amplop. Ini amplop undangan, atau lebih komplitnya lagi amplop undangan pernikahan (ya tentu saja sama isinya sekalianlah. Masak iya cuma amplopnya thok?). Wagimin nikah! Iya, Wagimin nikah! Nikah sama gadis lain. Nikah sama gadis yang mau mengiyakan ajakannya untuk menikah.
Lalu bagaimana Natasha?
O, sudah tentu remuk-redam sanubarinya. Mbak Nining dicurhatinya. Kampretnya, respon Mbak Nining sungguh bukan respon sewajarnya perempuan ketika sejawatnya sedang dirundung duka. Respon Mbak Nining adalah responku ketika ada temanku yang sedang ditimpa nestapa: “Salah sendiri. Siapa suruh jual mahal?” π
Cerita kedua, aku punya teman, teman sepermainan. Di mana ada dia belum tentu ada aku. Bukan apa-apa, sih… Hal ini lebih disebabkan kami berdua bekerja di pabrik yang berbeda. Jadwalnya lain. Maka ya lumayan susah juga kalau ke mana-mana kami mesti bersama. Paling ya kami cuma keluar berdua kalau ada tontonan atau maeman yang kami sepakati untuk dinikmati bersama dalam 1 waktu di mana kami sama-sama senggang. Ah ya, temanku ini cewek. Namanya Wati, tapi bukan kakaknya Budi.
Seumur-umur kami berdua boncengan di akhir pekan membelah jalanan ibukota Endonesa, Wati nggak pernah cerita kalau ada laki-laki yang dekat dengannya, apalagi tunangan. Setauku ya kami berdua ini sama-sama single (pada waktu itu, tentu saja).
Sampai di suatu senja di musim yang lalu, Wati ngajak jajan berdua pas jam pulang kantor. Sekalian ngasih undangan, katanya. Tadinya, sih, ta’pikir itu undangan ulang tahun, yang di dalamnya ada tulisan “Tiada kesan tanpa kehadiran kado Anda!” Eee…jebul itu undangan nikahannya. Kontan aku mak jegagik kuwaget! “Heh! Coba ceritain, kenapa tiba-tiba kamu mau nikah tanpa pernah cerita sebelumnya?!” semburku.
Konon, kali ini kata Wati, bukan kata Mbak Nining, segalanya berlangsung cepat. Sebelumnya Wati malah tidak mengenal sang calon suami. Pas kebetulan lagi pulang kampung beberapa minggu sebelumnya, Wati dikenalin sama keluarganya ke seorang cowok. Setelah kenal dan ditanya mau nggak nikah sama si cowok, Wati mengiyakan. Ya sudah, setelah itu diadakan acara lamaran, persiapan, sampai akhirnya sebuah undangan ada di tanganku.
“Dan kupikir keputusanku ini keputusan yang rasional. Itu aja,” demikian jawaban Wati menutup pertanyaanku.
Cerita ketiga, lagi-lagi tentang temanku. Temanku ini single, punya karir bagus, duit banyak, rumah sudah punya di bilangan pinggiran Jakarta tapi ya nggak minggir banget, sih. Singkat cerita dia sudah punya semuanya, kecuali istri.
Suatu saat…oh ya, temanku ini namanya Gendon.
Kita balik lagi.
Suatu saat Gendon bilang ke aku, dia kepengen punya pacar yang siap diajak serius dalam waktu dekat. Tentu saja aku heran. “Lha itu urusan yang Cinta Lama Belum Kelar njuk gimana, Ndon?” tanyaku.
“Ashhh…sudahlah. Itu sudah nggak penting lagi. Sekarang yang penting punya calon istri orang Jokja, bisa dekat sama orangtuaku, sama siap diajak serius dalam waktu dekat,” jawab Gendon. Pertimbangan Gendon kenapa harus orang Jokja, ya karena Gendon juga orang Jokja dan orangtuanya ada di Jokja. “Biar nggak ribet. Toh mungkin saya juga bakal pulang ke Jokja. Sutris (baca: stress, goblok!) lama-lama hidup di Jakarta ini.”
Kusodorkan beberapa nama sesuai kriterianya dari lingkaran pertemananku. Maklumlah, aku, kan, bekas macan kampus, jadi ya perkara biodata cewek jelas urusan enteng buatku. Setelah diseleksi, diseleksi, dan diseleksi, sampailah pada akhirnya Gendon menetapkan pilihan. “Nah, betul! Itu aja. Kayaknya memang itu yang paling rasional buat dijadikan istri,” kata Gendon sumringah pada akhirnya. Cerita selesai.
Jadi, hadirin sekalian, setelah 3 jenis ceritaku di atas, maka apa kesimpulan yang bisa didapatkan dari tulisanku kali ini? Nggak ada. Aslinya memang nggak ada. Iya, nggak ada, kecuali aku malah jadi khawatir sama diriku sendiri. Aku sudah terlalu banyak melihat sekelilingku melangsungkan hubungan pernikahan sebagai sebuah keputusan yang lebih didasari oleh rasio ketimbang perasaan. Yeah, meskipun orang-orang di kampungku masih pada suka bilang kalau witing tresno jalaran soko kulino, atau tumbuhnya cinta itu karena terbiasa, tapi aku, kok, ya tetap ngerasa agak gimana gitu ya…
Aku khawatir kalau besok ternyata aku memutuskan menikah juga karena alasan yang rasional (dalam hal ini semacam dikejar umur, barangkali), bukan karena perasaan. Buatku, menikahi seseorang tanpa didahului oleh roman naksir-naksiran, kok, ya rasanya agak kurang greget ya?
Jare jodoh kuwi dolanane Gusti Allah mas Joe..
betul. demikianlah adanya π
lha iya, ide bahwa menikah itu harus saling mencintai kan relatif kontemporer. dari jaman Majapahit sampai Game of Thrones juga orang menikah buat urusan ekonomi politik sosial budaya pertahanan keamanan, mana ada itu cinta? >:) /s
eh serius dikit. saya pernah ketemu beberapa kasus mbak-mbak (dan mas-mas) yang menikah ekstracepat model rasional macam tu. apakah ceritanya jadi lebih bahagia atau tidak wallahu a’lam, tapi yang konflik batin pun umum. yang sampai terpikir proses cerai pun bukan cuma satu-dua, jadi ya disimpulkanlah sendiri.
makanya saya sering bilang ke mbakmbak yang sudah keburu pengen menikah lantas makan hati: “kamu kalau menikah cuma buat dapet suami, dapetnya ya suami doang…” eh kadang kasihan juga tapi ya gimana.
walaupun kalau dibilang logika rasional, saya ya bingung juga. lha buat saya yang rasional itu ya menikah dengan cinta. ole!
nah, kan…bingung, kan…
sama. wong saya juga bingung. ole!