Azab Pengacau Kahyangan

sebelum operasi bedah mulut

10 tahun yang lalu, waktu jaman esema, aku – manusia sakti tampan dari Gunung Huaguo Kapur nomor 16, Denpasar, Bali 80119 – pernah naik ke langit mengacau kahyangan. Tapi dasar sial, aku gagal! Apa pasal? Pasalnya adalah waktu pertapaanku ternyata belum cukup. Aku baru sempat bertapa selama 500 tahun (yeah, namanya aja eksekutif muda… Ya akunya lumayan sibuk juga, dan alhasil baru sempat bertapa selama jangka waktu segitu itu). Jadinya level kesaktianku baru bisa menyamai Siau Ching. Seandainya aja waktu pertapaanku ta’tambah 500 tahun lagi – alias totalnya jadi 1000 tahun – pastilah aku sudah setaraf dengan Pai Su Chen.

Maka sehubungan dengan kegagalanku, aku terpaksa menerima hukuman dari langit. Aku dihukum lumayan ringan sehubungan level kerusakan di kahyangan yang kutimbulkan belumlah separah Sun Go Kong. Aku cuma dihukum menderita sakit leher; nyeri dan kaku ditambah mumet-mumet dikit di kepala selama jangka waktu 10 tahun. Dengan kata lain, baru kemarin ini aku terbebas dari hukumanku setelah akhirnya menjalani operasi bedah mulut di Rumah Sakit Condong Catur.

Jadi cerita komplitnya begini: Selesai mengacau kahyangan, aku dikirim buat balik ke dunia. Waktu itu usiaku kira-kira masih di pertengahan kelas 2 esema. Ndak ada masalah berarti yang kualami pas aku turun ke bumi. Akunya jadi bersuka-ria, merasa langit alpa menurunkan hukumannya ke aku. Tapi untung ndak bisa diraih, kehendak langit tak dapat ditolak… Suatu hari aku merasa leherku nyeri, kaku, dan pegel-pegel. Tadinya itu kupikir cuma gara-gara hobiku naik motor sambil pake helm cakil murahan yang bobotnya lumayan berat itu. Otomatis aku segera berkonsultasi dengan mamakku sendiri yang memang seorang fisioterapis.

Beberapa hari diterapi mamakku sendiri, nyeriku ndak ilang-ilang. Lama-lama saking nggak tahannya, aku memutuskan buat periksa aja langsung ke RSUP Sanglah, Denpasar – tempat mamakku nyambut gawe jaman dulu sebelum pensiun. Sampai di sana – singkat cerita – aku dirujuk ke dokter syaraf yang kemudian menyuruhku untuk di-rontgen sahaja di bagian kepala demi diagnosa lebih lanjut.

Hasilnya, demi melihat hasil rontgen-ku, sang dokter syaraf cerita kalo ada masalah dengan gigiku. Ada gigi geraham yang akarnya tumbuh dengan menabrak syaraf yang terhubung ke leherku. Mati aku, batinku waktu itu… Ternyata inilah upah buat anak nakal yang sok-sokan dan nekad mengacau kahyangan. Selanjutnya aku bertanya kalo aku harus dibagaimanakan? Dokternya bilang, gigiku harus dicabut. Tapi kalo dicabut saat itu juga percuma. Percuma soalnya kalo besok ada geraham yang tumbuh lagi dan ternyata bernasib sama, ya sia-sia sahaja kalo gigiku dioperasi pada saat itu juga. Jadi aku disarankan buat bersabar menunggu sampai seluruh gigiku tumbuh sampai dengan termasuk geraham bungsunya.

Aku iyain. Apa boleh buat, kan? Toh ini memang hasil ulahku sendiri. Aku terpaksa menahan nyeri selama bertahun-tahun tanpa ada yang tau penderitaanku (mamakku adalah pengecualian untuk hal ini. Bahkan babah dan adikku sendiri tidak pernah tau tentang detail penyakitku) sambil bertingkah seolah-olah aku nggak pernah punya masalah. Paling-paling hanya mereka-mereka yang kuanggap kenal dekat denganku yang kuceritain perihal penyakit yang kuderita. Itupun aku baru ceritanya setahun belakangan ini. Dan, itu juga cuma kuceritakan sebahagian sahaja. Aku tentu tidak bodoh untuk bercerita kalo penyakitku ini adalah hukuman yang kutanggung akibat dosaku mengacau kahyangan. Lagipula siapa yang bakal percaya, coba?

Kelanjutannya, saking terbiasa dengan rasa sakitku lama-lama aku jadi nggak peduli lagi. Pegel, nyeri, kaku, dan mumet di kepala kalo pas lagi kumat kuanggap sebagai rutinitas harian biasa. Sampai pada suatu ketika gigi bagian depanku yang di sebelah taring kayaknya bolong. Untuk kasus yang ini aku memutuskan buat konsul ke dokter gigi di Rumah Sakit Condong Catur alias RSCC yang letaknya lumayan deket dengan kontrakanku di Soropadan. Setelah gigiku ditambal dan beres, kupikir sekalian aja aku nanya-nanya tentang penderitaanku selama 9 tahun belakangan ini.

Kutunjukkan hasil rontgen-ku pas jaman esema dulu itu, yang kemudian berdampak pada aku disuruh rontgen ulang aja sama dokternya. Oke, aku rontgen ulang sambil ditemani Agung (pulangnya dia kutraktir maem makanan Jepang di Kikko Bento yang sayangnya tidak punya rumah real-estate, mobil banyak, dan harta berlimpah itu). Dan minggu depannya aku kembali berkonsultasi sambil menyerahkan hasil rontgen-nya.

Mak jegagik! Dokternya sendiri ternyata kuwaget ngeliat hasil rontgen-ku! Susunan gigiku aneh bin ajaib binti sulap. Geraham bungsuku belum tumbuh-tumbuh dan geraham yang nabrak syaraf itu sekarang jadi ada 3 biji dan sialnya 2 biji yang di kiri-kanan bawah tumbuhnya tidaklah vertikal, melainkan horizontal. Benar-benar horizontal…tal…tal..tal!

Waktu kutanya ke mana geraham bungsuku, dokternya bilang, mungkin bibit akarnya jadi nggak ada gara-gara kedesak sama pertumbuhan gigiku yang aneh itu. Terusannya, aku disarankan buat operasi. Pas kutanya biayanya, doi bilang mungkin bakal menghabiskan duit sekitar 2-3 juta. Ini cuma minor surgery, katanya pada waktu itu.

Dasarnya aku ini suka laku prihatin, walaupun sudah disarankan buat operasi, akunya masih bandel dengan menahan-nahan sakit sekaligus waktu operasiku. Liburan semesteran di kampus tahun 2009 kemarin lewat, Lebaran lewat, tahun baruan 2010 juga lewat dan aku masih setia bertahan untuk tidak operasi. Bandel dan sekaligus tahan banting, kan, akunya ini? πŸ˜†

Sampai pada akhirnya suatu malam di pertengahan bulan Februari kemarin ini aku terbangun dari tidurku. Entah kenapa waktu itu rasanya leherku benar-benar sakit. Sakit yang beda dari biasanya. Saking nggak tahannya aku sampai ngirim SMS ke mamakku dan berlanjut dengan tidak bisanya aku tidur sampai lewat subuh saking sakit di leherku itu belum pernah sampe sebegitu menyengatnya.

Mamakku akhirnya nelepon aku pagi-pagi. Doi nanya, apa perlu dioperasi sesegera mungkin? Jikalau iya, pagi itu juga mamakku bakal berangkat ke Jokja dari rumah dinas babahku di Jakarta (Jakarta-nya Jakarta coret, kok. Alias di Ciputat, Tangerang) buat nemenin aku operasi (sekaligus membayar ongkosnya, nyahaha). Kubilang iya, kubilang juga buat yang kali ini aku sudah bener-bener nggak tahan. Dan dengan mengendarai kereta yang bukan kereta kuda dan tidak pula duduk di samping pak kusir yang sedang aseek bekerja, sore harinya mamakku sudah sampai di Stasiun Tugu. Besoknya kami berdua sama-sama ke RSCC buat konsultasi dulu masalah operasiku.

Di situ ternyata gigiku harus dibersihin dulu sebelum operasi. Banyak plak dan karang gigi – akibat hobi merokokku – yang kalo ndak dibersihin bakal menimbulkan masalah pada saat operasiku. Aku juga disuruh rontgen toraks dan tes darah lengkap terlebih dahulu. Kemudian setelah dokter giginya berkonsultasi dengan dokter spesialis bedah mulut dan spesialis anastesi, aku dijadwalkan bakal operasi tertanggal 20 Februari 2010 pada pukul 16.00 waktu RSCC dan sekitarnya.

Pada saat tanggal yang ditentukan, tentu saja aku sama mamakku – dan ditambah budheku yang diimpor dari Solo (beliau, sih, ngakunya kepengen nonton aku dioperasi) – setengah jam sebelumnya sudah sampe di tekape. Ealah… Jebulnya tho, sodara-sodara, dokter spesialis anastesinya katanya lagi ada operasi mendadak di RSUD Klaten. Akunya disuruh nunggu sekalian ngamar sekaligus buat opname kalo habis operasi nanti. Akhirnya jam 8 malam aku baru bisa masuk kamar operasi.

Di dalam kamar operasi aku disuntik buat bius total. Aku cuma inget waktu dokternya nanya ke aku, “Rumahnya di mana, Mas?”

“Di Soropadan, Dok,” jawabku.

“Soropadan itu sebelah mana tho?”

“Jalan Gejayan, Dok. Di belakangnya Toga Mas…” jawabku lagi yang kemudian kuingat sebagai jawaban terakhirku buat sang dokter anastesi. Selanjutnya yang kuingat cuma pandanganku mulai kabur, kemudian teler, dan bangun-bangun aku sudah di kamar tempatku berbaring sebelumnya waktu aku nungguin pak dokter tukang anastesi itu.

tetap ngganteng sehabis operasi

Bujubuset… Begitu sadar aku diceritain kalo operasiku makan waktu 2 jam dan kakiku sempat nendang-nendang ndak karuan sewaktu dibawa dari ruang operasi ke kamar opnameku. Aku juga ndak tau itu betul atau ndak, lha wong akunya pingsan. Tapi kalopun betul, ya tolong dimaklumi saja. Anggaplah itu memang naluri seorang gelandang kanan yang bisa juga diplot sebagai seorang striker.

Habis operasi aku juga sempat nggak bisa ngomong. Tenggorokanku pun sakit kalo mencoba nelen ludah kayak kalo lagi sakit radang tenggorokan. Jadilah kalo pengen apa-apa aku harus nulis di kertas. Dan hal pertama yang kutulis adalah “mie ayam bakso”. Karena apa, sodara-sodara? Karena, eh, karena sebelum operasi aku memang sempat disuruh puasa selama 12 jam ditambah 4 jam injury time gara-gara nunggu dokternya datang dari Klaten tadi itu. Makanya pas habis operasi aku jadi lapar sekali…

awwww kok ya tetap imut sahaja meskipun habis operasi

Tapi gara-gara operasi aku memang jadi nggak bisa makan apapun, wong buat nelen ludah sama ngomong aja susahnya bukan main, kok. Kalo ngeludah pun yang keluar dari mulutku juga air liur merah-merah yang tidak lain dan tidak bukan adalah campuran dari darah dan ptialin. Seandainya aja waktu itu ada drakula perempuan yang cantik, aku pasti diajakin cipokan habis-habisan terus sama dia… Cuma saja drakulanya ternyata nggak ada. Doi nggak dateng. Entah… Mungkin dia malu gara-gara aku lagi ditungguin mamakku di situ.

Oh ya, sodara-sodara… Operasiku itu ternyata bukan operasi minor, melainkan operasi mayor. Betapa tidak… Lha wong gigiku itu tumbuhnya horizontal total. Tentu saja dokternya jadi kerepotan buat nyabutnya. Akhirnya gigiku dipotong kecil-kecil dulu sebelum dicabut. Dipotongnya pake apa ya aku nggak tau. Kan tadi udah kubilang kalo aku lagi pingsan. Gimana, sih, ente ini? Makanya kalo mbaca ceritaku jangan cuma asal mbaca. Perhatiin juga detail-detailnya, donk 😈 Sementara anggap aja gigiku itu dipotongnya pake gergaji mesin, dah!

dijual: koleksi gigi langka milik primata tampan

Gara-gara operasi mayor itu juga biayanya jadi membengkak. Yang tadinya dibilang cuma bakal habis maksimal 3 juta, ternyata jadi habis 5 jutaan (sudah termasuk ongkos taksi buat pulang ke rumah). Maka supaya tidak menghabiskan duitnya mamak terlalu banyak, aku memutuskan cukup semalam aja menginap di RSCC. Lagipula selain karena takut menghabiskan biaya opname, opname di situ juga tidak begitu enak. Perawat-perawatnya nggak ada yang semanis – dan nggak berjilbab seperti – perawat-perawat di Jogja International Hospital (silakan diverifikasi sendiri jikalau sampeyan tiada percaya).

Sepulangnya dari RSCC selama seminggu aku cuma bisa makan bubur sama oatmeal campur telor setengah mateng. Lumayan membosankan. Tapi mau bagemana lagi, wong lagi nggak bisa ngunyah kok ya…

Setelah seminggu barulah aku memberanikan diri makan nasi meskipun ngunyahnya butuh waktu lama banget. Aku juga baru berani naik motor selewat seminggu itu, setelah sebelumnya buat jalan agak lama aja aku masih sempoyongan. Plus, berhubung belum sembuh betul, aku sekarang ke mana-mana selalu pake penutup mulut buat meminimalisir bakteri yang masuk. Jadi macam Kakashi Hatake aja aku ini. Untung aja mataku ndak ada sharingan-nya.

Tapi juga gara-gara makan nasi itu kemarin Senin ini pas aku terakhir kontrol, gusiku didiagnosa terjadi peradangan gara-gara sisa makanan pada nyelip di bekas operasiku. Apa boleh buat, gusiku dibersihin lagi pake obat yang bikin ngilu minta ampun. Jahitan terakhir yang masih nyisa di situ juga dicabut. Aku juga ketambahan dikasih resep obat kumur. Harapannya, sih, setelah 5 hari gusiku bakal membaik. Jikalau tidak, aku harus rontgen lagi dan aku nggak tau apa nantinya yang bakal terjadi. Maka doakan saja semoga aku tidak kenapa-kenapa… Soale kayaknya aku memang nggak kenapa-kenapa selain gerahamku masih senut-senut dikit, gusiku masih bengkak, dan leherku masih agak nyeri walopun nggak senyeri 10 tahun belakangan ini. Sisanya aku toh sudah bisa main futsal dan sudah mulai produktif mencetak gol lagi.

Ah, sepertinya Reebok Vector Indoor LP-ku memang sudah mulai nyetel dengan karakter permainanku. Jadi? Jadinya ya… Hidup Satrianto! Selamat terbebas dari hukuman langit :mrgreen:


22 Comments

  • lemmot1me |

    sabar ya mas.
    makanya jangan nakal. untung belum dikutuk jadi monyet, baru mirip aja.

    poto yang terakhir bikin jijay.
    remoooooveee…

  • Yang Punya Diary |

    lemmot1me:::
    kalo ndak ada skrinsyutnya nanti dianggap hoax, saridut

    Dewa Itu Osmond:::
    lho, jelas saya syukuran. tapi private party sama gadis2 saja πŸ˜†

    mybrainsgrowell:::
    horizontal juga? wahwahwah…untumu cen elek git nek ngunuw 😈

  • kresna |

    gigi depannya itu ndak sekalian? itu tumbuhnya diagonal lo mas joe..

  • kresna |

    wakakak..maen ng opo? trio warkop? dadi gantine Diding boneng?? :))

  • pengen tahu |

    pengen tahu sj, knp ga ada cewek manis yg nungguin operasi ya? ko cuma mama dan tante??? katanya banyak penggemarnya???? mana yang benar???

  • Yang Punya Diary |

    kresna:::
    ora…nggenteni jet li πŸ˜›

    pengen tahu:::
    lebih tepatnya budhe, sih. jadi perhatikan paragraf ke6. bahkan 4 dari 5 mantan pacar saya aja ndak ada yg tau kalo saya pernah mengacau kahyangan. merosot jadi 3 gara2 1 lagi ta’kasih tau pas abis operasi :mrgreen:

  • fernando torres |

    hailaahhh kw operasi to?
    semoga cepet sembuh deh, jangan kebanyakan ngunyah batu bata, blon sembuh bener kan?! btw gambar giginya nyeremin amir

    jadi ikut pegel leherku baca cerita panjang bener

  • faizal makhrus |

    mesti untu ngisor…soale rahang atasmu kan overlap dadi nek mung memuat 15 gigi iseh turah.

    ngombe alkohol wae Joe, ben ga infeksi n luka cepet kering…tapi sing 90%. hehehehe.

  • ninit |

    mmm… oh ini sebab gigi mu di operasi..

    terus sekarang masih menimbulkan masalah ga itu gigi gusimu..
    huhuhu.. pasti ga enak bgt. wong sariawan aja ga enak..
    klo itu menimpaku, pasti aku langsung kurus..
    hehe

  • manusiasuper |

    *kehilangan selera makan*

    Gigimu Joe…

    Sekarang gimana masbro? sudah sembuh total atau masih harus periksa-periksa?

So, what do you think?