Bandeng yang (Nyaris) Hilang

Hell come Welcome to Jakarta!

Sodara-sodara pembaca blog yang budiman, dikarenakan sesuatu dan lain hal, saat ini terpaksa aku memberi pengumuman kalau aku sekarang sedang berada di Jakarta. Tentu, tentu kedatanganku ke Jakarta tidaklah dikarenakan urusan sepele semacam kangen sama Ayu, sodara-sodara. Kedatanganku ke Jakarta ini – anggaplah – karena aku dipanggil negara demi tugas yang maha besar: mbantuin Pak Jokowi buat ngurusin permasalahan sosial di ibukota negara ini yang semakin pelik sahaja.

Sementara anggaplah begitu.

Soalnya alasan sebenarnya masih malu buat ta’ungkapkan.

Tapi sumpah, alasanku ke Jakarta sungguh mati bukan gara-gara akunya kangen Ayu (walaupun memang ada faktor tambahan seperti itu juga, sih :mrgreen: ).

Tentu saja setiap kali aku ke Jakarta mamakku selalu nitip barang favoritnya: ikan bandeng duri lunak, yang dalam kesempatan kali ini kubawakan 8 potong langsung dari Jokja via Purwokerto, Cirebon, turun di Stasiun Pasarsenen dengan menumpaki kereta api merek Gajah Wong.

Tidak ada masalah berarti sepanjang perjalananku naik kereta api itu tadi, selain fakta bahwa sekarang aku sudah nggak bisa ngerokok lagi di bordes kayak jaman dulu gara-gara peraturan dari PT. KAI yang semakin ketat sahaja.

Seperti biasanya, begitu turun di Stasiun Pasarsenen, aku langsung melangkahkan kakiku untuk menuju seberang jalannya, Terminal Pasarsenen, sambil menghindari rayuan dari para penggemarku yang meminta supaya aku pulang barengan naik kendaraan mereka sahaja (baca: supir taksi, baik taksi terang maupun taksi gelap, juga tukang ojek, dan sejenisnya, -red.). Aku lebih memilih untuk duduk (tidak) anteng di dalam bus kota P20 jurusan Pasarsenen-Lebakbulus, yang nantinya bakal kusambung dengan angkot D02 ke arah Ciputat.

Tapi gara-gara hari itu aku keasyikan ngelamun di bus kota, membayangkan mau indehoy di mana aja sama Ayu dalam kesempatanku ke Jakarta kali ini, jadilah untung tak dapat diraih dan malang tiada dapat ditolak. Bandeng dalam kresek yang kutaruh di bawah bangku dudukku di bus kota kutinggalkan tanpa rasa berdosa saat aku melompat turun dari bus di Terminal Lebakbulus!

Selanjutnya dengan tenangnya aku merogoh bungkusan rokok dari saku jaketku, mengambil sebatang isinya, menyalakan pemantik, dan kemudian aku sudah klepus-klepus menghabiskan sebatang rokok dulu sebelum mencegat angkot bakal melanjutkan perjalananku.

Singkat kata angkot yang kutumpaki sudah sampai di seberang jalan masuk kompleks rumah dinas babahku. Kembali aku merogoh bungkusan rokok dari saku jaketku, mengambil sebatang isinya, menyalakan pemantik, dan kemudian aku sudah klepus-klepus menghabiskan sebatang rokok lagi sambil berjalan menuju haribaan mamakku.

Sesampainya di teras rumah, setelah prosesi cium tangan rutin sama mamakku, demi melihat aku cuma menggendong sebiji tas ransel cap Adidas, mamakku nyeletuk, “Mana bandengnya?”

“Astaghfirullahaladzim, la haula wala quwwata illa billah!” teriakku sambil menepok jidatku sendiri. “Ketinggalan di bus, Mak! Masyaallah…” lanjutku yang walau dalam keadaan setengah panik tapi tetap berusaha untuk selalu terlihat religius.

Dalam keadaan setengah panik itulah Gothiet, adikku, berseru dari dalam rumah, “Dikejar aja. Paling busnya masih ngetem juga di situ.” Selanjutnya, dengan lagak macam polwan berhadapan dengan pelanggar rambu lalu-lintas, dia berkata ke iparku alias suaminya, “Yang, Yang, anterin Mas ngejar P20!”

Lalu adegan selanjutnya tentu saja aku sama Bayu duduk berdua di sadel Honda Legenda, berpacu memburu waktu, berdoa semoga sang bus kota masih setia di tempat ngetemnya.

Puji Tuhan seru sekalian alam, bus yang tadi kunaiki ternyata benar-benar masih ngetem di situ. Hanya saja dia sudah berada di urutan pertama alias sebentar lagi dia sudah mau ciao. Cuma tinggal menunggu beberapa penumpang lagi maka bandeng wasiat yang kubawa dari Jokja bakal lenyap dari rimba persilatan Jakarta.

Aku segera menghambur ke abang supirnya, berkata, “Bang, tadi saya dari Senen naek bus ini, tapi bawaan saya ketinggalan. Ada liat bungkusan kresek warna putih di bawah kursi belakang nggak, Bang?”

Si Abang sigap menjawab, ” Ga, ga, kagak ada.”

Sejenak aku tertegun. Apes, dah…ilang wis itu bandeng keramat. Bukan rejekiku kali. Tapi kemudian aku segera teringat, dude, ini Jakarta, kota di mana segala jenis kejahatan dan kecurangan tersedia lengkap di sini. Otakku lantas bekerja. Aku menarik nafas… Ada kejanggalan dari kata-katanya si abang. Kejanggalan yang mungkin nggak diperhatikan oleh orang awam. Tapi lain ceritanya ketika si abang berhadapan dengan manusia yang menjuluki dirinya sendiri sebagai “Hercule Poirot dari Timur”.

Q.E.D. Quod Erat Demonstrandum.

Pura-pura putus asa aku berjalan ke belakang. Sengaja tidak langsung turun sambil menjelalatkan mataku dan membungkuk-bungkukkan badanku, mencoba menarik perhatian dari sekitarku. Tapi kresek putih berisi bandeng tersebut memang tidak ada di bekas tempatku duduk.

Hanya saja polahku mungkin dianggap oleh abang yang kenek sebagai polah yang cukup mengganggu stabilitas bus kotanya. Dia bertanya, “Cari apa, Bang?”

“Bungkusan kresek putih punya saya, Bang. Tadi saya naik bus ini. Barang saya ketinggalan di sini,” jawabku sambil memperhatikan wajahnya. Alhamdulillah, sepertinya Ayu juga bakal bilang kalau antara aku dan abang keneknya kayaknya masih gantengan aku…

“Yakin P20 yang ini? P20 mah ada banyak. Kali abang yang salah,” kata si abang kenek dengan nada yang kuanggap meremehkan daya ingatku.

“Yakin, Bang. Saya yakin banget,” balasku yang sekarang sudah nggak memperhatikan wajahnya lagi. Aku kembali beraksi macam pemulung lagi nyari nafkah.

Kembali puji Tuhan seru sekalian alam, aksiku nampaknya membuat penasaran bapak-bapak yang duduk di kursi yang tadinya kududuki. “Nyari apaan, Dek?” tanya si bapak lumayan ramah.

“Bungkusan kresek warna putih, Pak. Isinya kotak bandeng. Tadi ketinggalan di sini waktu saya naik bus ini.”

“Itu bukan?” tanyanya sambil menunjuk kresek putih (yang kayaknya sengaja disembunyikan) di balik pintu belakang bus kota. Berseberangan wis dengan tempatku duduk tadinya.

“Ah, iya! Iya, betul yang ini, Pak. Ini kresek saya. Terima kasih ya, Pak,” seruku sambil memasang senyum sehormat mungkin sama si bapak.

“Sama-sama, Dek,” balas si bapak sewaktu aku mengangkat kresek putih itu, mengecek isinya di depan wajahku.

Aku meloncat turun dari bus kota. Tidak lupa di depan si abang kenek aku mencoba memasang senyum yang paling menyebalkan ketika berucap, “Makasih banyak ya, Bang,” sambil menaikkan kedua alisku.

Di luar, begitu aku nyemplak di boncengan motornya Bayu, naluri su’udzonku memaksaku berkomentar ke Bayu, “Biar kecewa mereka. Hari ini mereka nggak jadi mamam bandeng, hahaha.”

Dan apa kata-kata si abang supir yang memaksa naluri Poirot-ku mendadak muncul? Kata-kata itu tidak lain dan tidak bukan adalah “kagak ada” yang diucapkannya dengan sigapnya. Ah, seandainya dia memilih kata “kagak tahu”, mungkin kemarin ini si abang supir dan keneknya sudah bisa makan 8 ekor bandeng dengan lahapnya.

Karena apa? Karena, eh, karena normalnya kata “kagak ada” itu diucapkan ketika kita sudah benar-benar yakin bahwa memang tidak ada apa-apa. Dan harusnya pula si abang cuma bisa benar-benar yakin kalo di bangku belakang memang tidak ada apa-apa setelah dia menidak-adakan barang yang tadinya ada di situ.

Demikian akhir dari penjelasanku πŸ™‚


10 Comments

So, what do you think?