Suatu kapan malam kemarin, sambil nunggu sahur, Josephine pernah bilang kalau sabar itu aslinya nggak ada batasnya. Iya, sabar sebagai sebuah kata sifat memang nggak ada batasnya. Batas itu jadi kelihatan ketika sampai pada level implementasi dari manusianya. Misalnya, level sabarku, level sabarnya Pak Gendut, atau level sabarnya Saripah ternyata bisa berbeda-beda ketika menghadapi kasus yang sama. Jadi jelas, sabar itu bisa kelihatan serba terbatas ya ketika sudah diterapkan sama manusianya.
Begitu juga dengan benci.
Aslinya benci itu ya sama saja. Benci itu ya benci. Nggak suka itu ya nggak suka. Kalau ada orang yang benci sama ajaran agama X, ya itu nggak bisa dibilang kalau derajat kebenciannya terhadap ajaran agama X lebih parah ketimbang orang yang benci sama ulet bulu. Begitu juga dengan benci demi benci yang lainnya. Islamphobia sama cacingpitaphobia toh pada dasarnya sama-sama phobia, kan?
Jadi kalau orang yang benci sama ulet bulu dianggap lebih beradab ketimbang orang yang benci sama ajaran agama X, apalagi itu kalau bukan gara-gara perkara norma yang dianut sama masyarakat di sekitarnya? Apa pula itu kalau bukan sekadar kesepakatan mayoritas, bahwa pembenci ajaran agama X adalah manusia intoleran sementara penidak-suka ulet bulu adalah ketidak-sukaan yang masih bisa dianggap wajar?
Benci itu ya benci. Perkara level kebencian yang 1 jadi nampak lebih busuk bin tidak bermoral ketimbang kebencian yang lainnya, itu semua cuma masalah norma masyarakatnya saja. Begitu pun dengan tiap-tiap individunya. Perkara individu yang 1 melampiaskan kebenciannya secara ekstrim sementara individu yang 1 lagi bisa memilih tindakan yang jauh lebih kalem, itu tergantung sikapnya terhadap kebenciannya. Benci itu sifat, pelampiasannya itu sikap. Paham persamaan sekaligus perbedaannya, kan?
Maka kadang aku suka heran aja ketika ada orang yang menyalahkan kebencian seseorang terhadap sesuatu hal, sementara kebenciannya sendiri terhadap hal yang lainnya dimintanya supaya orang lain bisa memakluminya, dengan alasan rasa benci yang dianutnya belumlah separah rasa benci yang dianut orang lain yang dianggapnya keliru tadi itu.
Ah, seandainya saja mereka-mereka itu punya teman seperti Josephine, tentunya mereka akan paham…
Sabar itu ya sabar.
Dan benci itu ya benci
So, what do you think?