Blood of Eagles(?)

Hari ini libur Lebaran hari kedua (waktu aku mulai ngetik postingan ini). Aku yang lagi-lagi harus Lebaran di ibukota Endonesa, sore tadi menyempatkan diri jalan-jalan bareng sepupu-sepupuku di sini buat nonton bioskop. Maka berhubung tadi sore ini aku nonton bioskop, sudah barang tentu bisa ditebak kalo postinganku yang sekarang ini bakal me-review film yang tadi terpaksa kutonton, gara-gara nggak kebagian film (yang kayaknya) bermutu lainnya.

Tapi, ah ya, sebelum aku melanjutkan ceritaku, untuk menambah khazanah pengetahuan bagi para pembaca yang budiman, ta’umumkan sekali lagi kalo hari ini adalah libur Lebaran hari kedua, yang mana berarti Ramadhan sudah lewat. Yang mana juga berarti kalo aku ngomongin pihak lain, apalagi ngomongin kejelekannya, maka tidak ada pahala puasa yang bakal disunat. Ini lagi-lagi juga berarti, mumpung Lebaran, aku masih bisa minta maaf dulu sama sutradara film yang karyanya bakal (sedikit) kucaci-maki di bawah ini. Sekalian pula, aku minta maaf kepada khalayak pembaca blogku jikalau sahaja ada tulisan-tulisanku yang menyinggung sanubari sidang pembaca yang terhormat sekalian selama 1 tahun belakangan ini. Mohon maafkan si ganteng ini, ya? Iya!

Oke, jadi tadi sore aku nonton film berjudul “Darah Garuda“. Film ini konon adalah bagian kedua dari film (yang rencananya bakal jadi) trilogi “Merah Putih”. Ceritanya tentang perang pas jaman revolusi fisik setelah kemerdekaan Endonesa tanah air beta pusaka abadi nan jaya tercinta ini. Lebih jauh lagi, film ini berkisah tentang 4 orang anak muda dengan latar belakang yang berbeda satu sama lainnya buat bahu-membahu mempertahankan kemerdekaan Endonesa. Ada Kapten Amir, Muslim Jawa yang diperankan sama Lukman Sardi, terus Letnan Marius (Darius Sinathrya) anak pedagang kaya hobi teler yang sempat dimaki dan disangka sebagai pengecut sama Letnan Tomas (Doni Alamsyah), seorang Kristen dari Manado, dan terakhir ada Letnan Dayan (T. Rifnu Wikana), seorang Hindu dari Bali yang bikin aku sempat curiga terjadi kesalahan penulisan skrip sehubungan dengan huruf D dan huruf W pada keyboard itu letaknya nggak jauh-jauh amat. Seorang pejuang lagi, Kopral Jono, nggak ikutan main di film ini gara-gara beliau sibuk membintangi sebuah lagu.

Oh…
Kopral Jono
Gadis mana yang tak kenal akan dikau?

Oh…
Kopral Jono
Gadis mana yang tak rindu akan dikau?

Sampai di situ saja gambaran kasar dari film yang kutonton tadi sore ini. Sekarang marilah kita sama-sama mencermati kegelian-kegelianku ketika menikmati film ini, yang membuatnya – menurutku – nggak layak mendapat sejumlah penghargaan, antara lain di: Bali International Film Festival, Los Angeles Asian Pacific Film Festival, Amsterdam Cinemasia Film Festival, Bandung film Festival, dan Bangkok World Film Festival. Buat sutradaranya, sekali lagi, mohon maaf lahir batinlah, Bos, mumpung masih suasana Lebaran ini. Oke? Oke? Bisa dikopi? Ganti!

Jadi dari awal ngeliat poster film ini aku sempat berdecak heran. Poster film ini dengan bangganya memasang judul versi baratnya yang berbunyi “Blood of Eagles”. Lha, kok “eagles”? Apa iya itu bahasa Inggris-nya “garuda”? Setauku eagle itu artinya elang, bukan garuda. Garuda ya garuda. Garuda bukan elang, meskipun memang garuda digambarkan mirip dengan elang dalam ukuran yang jauuuuh lebih besar. Tapi ya tetap saja, garuda ya garuda, garuda beda sama elang. Maka seharusnya si tukang bikin film ini tetap memakai kata “garuda” dalam terjemahan English-nya, sehingga hasilnya jadi “Blood of Garuda”. Tapi…yah, CMIIW, deh :mrgreen:

Itu baru 1 kesalahan bahasa Inggris di poster filmnya. Begitu kita menikmati filmnya, sejak awal, wow, kita bakal mendapati kenyataan kalo film ini (dengan sok-sokannya) memajang subtitle English. Yeah, mungkin memang subtitle English mutlak diperlukan mengingat film ini juga dibawa ke luar negeri buat diputer di sana, katanya. Tapi jika sampeyan ngerti bahasa Inggris (nggak perlu jadi lulusan Sastra Inggris macam salah-satu adik sepupuku yang tadi barengan nonton. Cukup awam-awam sahaja asal ngerti English), maka sampeyan bakal mendapati – bajindal bin kampret! – subtitle sama dialog yang diucapkan di filmnya sering ngaco dan nggak nyambung. Betul-betul semprul, dah, ini… Kayaknya kalo besok bener-bener mau dibikin sekuel yang ketiga, sutradaranya bolehlah mengontak daku buat nanti kukenalin sama Dik Sita, adikku itu, supaya nanti bisa dibikinin subtitle yang lebih valid lagi. Jangan khawatir, ongkos proyek dan ongkos brokernya bisa dibicarakan lebih lanjut lagi, kok.

Kelucuan berikutnya tentu saja seputar adegan-adegan yang ada di film ini. Yang pertama-tama bikin aku geli adalah masak iya ada prajurit gerilya dari Tentara Nasional Indonesia yang dibawahi sama Panglima Besar Jenderal Soedirman yang dengan sembrononya berani adu tembak sama Belanda dalam posisi terbuka? Oke kalo memang terpaksa harus berada dalam posisi terbuka. Lha ini tembak-tembakannya di hutan tapi kok ya nggak berlindung sama sekali? Jelas aja jadi mangsa empuk pasukan penjajah itu. Almarhum eyangku sendiri yang pangkat terakhirnya kolonel itu pastilah bakal mencak-mencak kalo tau di dalam pasukannya ada segerombolan oknum goblok macam di film ini.

Lalu, di film ini juga diceritain ada anak bernama Budi (Aldy Zulfikar) yang berperan sebagai sniper macam Vasily Zaytsev. Doi masih di bawah umur tapi kemampuannya mainan bedil buat nginceng prajurit musuh jauh lebih yahud ketimbang kemampuannya Khosim – tetanggaku jaman kecil dulu – kalo lagi megang ketapelnya buat nembak mangga tetangga.

Nah, si Budi ini konon ditemukan di sebuah desa yang diporak-porandakan oleh Belanda sama Sersan Yanto (Ario Bayu). Dan dalam sebuah baku tembak lawan Belanda, Budi mengetahui kalo Sersan Yanto gugur. Budi sempat meratap dan hampir ngamuk ke pasukan Belanda. Untung aja doi berhasil dicegah sama Mbak Senja (Rahayu Saraswati) dan terhindar dari mati konyol. Cuma saja, di adegan berikutnya – sori spoiler – eee…si Budi nggak menampakkan ekspresi apapun ketika dia mendapati Sersan Yanto, penolongnya itu, masih selamat. Blas nggak kaget ataupun keliatan gembira sedikitpun. Padahal sebelumnya dia sampai nangis-nangis gitu, lho.

Lanjut, di film ini juga ada adegan nyulut dinamit di dalam markas Belanda yang entah kenapa dinamitnya kok ya lama sekali meledaknya. Padahal kalo dinalar, waktu yang dipakai sama Letnan Tomas buat lolos setelah terlibat kejar-kejaran dan baku tembak sama prajurit Belanda di markas mereka itu lumayan lama, lho. Kok ya herannya waktu meledaknya bisa ngepas sama waktu lolosnya Tomas. Gembel juga ini pengaturan waktunya πŸ˜†

Pas nyulut dinamit itu (dan selalu setiap ada adegan pejuang kita nyulut dinamit), berlagak biar bisa meledak macam bom waktu, di atas sumbu dinamitnya disulut dan ditaruh sebatang rokok jenis tanpa filter (jaman dulu belum ada rokok filter, kali). Herannya, setauku rokok jenis macam gitu itu – entah Djarum 76, Sampoerna Hijau, atau 234, atau juga nglinting sendiri – biasanya bakal mati sendiri kalo kelamaan nggak disedot (beda sama Mild Seven yang meleng dikit aja tau-tau udah habis). Lha ini kok ya rokoknya berhasil ditinggal buat dipake nyulut dinamit? Bagemana mungkin?

Ada juga adegan Kapten Amir yang ngobrol sama istrinya sebelum dia berangkat perang. Istrinya ngasih tau kalo dia ternyata lagi hamil dan bilang, “Mas, kamu bakal punya anak laki-laki.” Makjang! Jaman perang kemerdekaan apa iya sudah ada teknologi USG yang masuk ke Endonesa? Dari mana dia tahu jenis kelamin anaknya, coba? Gembus! Nguluk-uluk. Ngibul!

Terus lagi, mobil-mobil yang digunakan di situ kok ya setirnya di kanan semua? Hei, itu taun berapa? Mobil-mobil punya Belanda rata-rata pada setir kiri semua, John.

Lagi? Masih ada dan masih banyak lagi, kok, kelucuan-kelucuan di dalamnya. Film ini seharusnya bisa jadi film yang bagus kalo sutradaranya mau memperhatikan detil-detil yang kepake di dalamnya. Di film ini juga ada konflik yang seharusnya bisa diperdalam lagi, seperti misalnya waktu gerilyawan pejuang kemerdekaan yang mayoritas suku Jawa dan beragama Islam itu mempertanyakan serta mencurigai motivasi dan loyalitas pejuang-pejuang macam Marius, Tomas, dan Dayan yang notabene non-Muslim itu. Sayangnya konflik macam begini ini malah nggak tergarap dengan dalam sama sutradaranya. Semuanya selesai ketika salah-satu pejuang yang tadinya curiga itu berkata ke Tomas, “Setidaknya kamu lebih baik ketimbang Belanda,” saat mereka sama-sama terjebak dalam baku tembak di markas Belanda.

Jadi, masih mau lanjut bicara kelucuan film ini? Okelah, demi memuaskan nafsu kalian, duhai pembaca.

Film ini juga memakai gedung Lawang Sewu di Semarang buat dijadiin setting markas Belanda. Cuma, duh duh duh, itu gedung kok ya nggak direnovasi dikit, sih, sebelum dipakai syuting. Segala tembok yang jebol dan keliatan batanya masih jelas bisa diamati sama penonton. Seenggaknya kalo memang mau mengisahkan itu adalah sebuah gedung yang dipakai sebagai markas besar Belanda pada jaman kemerdekaan, mbok yao gedungnya jangan keliatan sudah somplak di mana-mana. Itu kan ceritanya gedung baru bikinan Belanda pada jaman dulu, bukan gedung lama bikinan Belanda pada jaman sekarang, Pakdhe…

Terakhir, pas adegan baku tembak pamungkas, entah karena jimat yang dibawanya sungguh ampuh bin sakti binti mujarob, Kapten Amir yang terjebak sendirian di lapangan terbuka dan dikelilingi terjangan peluru dari pasukan Belanda bisa-bisanya sehat wal afiat tanpa keserempet peluru musuh sedikitpun. Maka ya nggak heranlah kalo ada yang bilang homo sapiens Londo nggak becus ngerekrut tentara. Dan kalo fakta tersebut benar, aku jadi tau kenapa Endonesa bisa mempertahankan kemerdekaannya. Itu karena tentara Belanda pada goblok semua, nyahahaha! 😈


Facebook comments:

19 Comments

  • semuth03 |

    namanya jg film mas,
    buatan endonesia lagi
    ,dimaklumi aja lah,masih mending g ada adegan yang diperkosa setan(wlopun film yang ini lebih bikin tegang sih),

    klo gtu sekuel ketiga kmu aja jadi sutradaranya mas, ntar saya ajukan ke produsernya, kebetulan saya kenal mas

  • Yang Punya Diary |

    christin:::
    heroik plus lucu. mungkin 11-12lah sama hot shot-nya charlie sheen (ya?). bedanya, yang 1 lucunya terskenariokan, yang 1 lagi tidak πŸ˜†

    adhipras:::
    wah, hebat! mantan pacar saya sudah jadi bintang film ya sekarang? lama nggak kontak2an sih. jadinya nggak tau kabarnya… πŸ‘Ώ

    semuth03:::
    bayarannya gede nggak, sep? kalo gede saya mau dan kamu nanti saya plot berperan jadi opsir belanda kelahiran banyumas. bisa kan ngomong dutch sambil ngapak? :mrgreen:

  • gadispucatkomensubuhsubuh |

    ealaaaahhh…kebiasaan jelek org sini kl buat judul film di-inggriskan mesti yo salah!rusuh…rusuh…

    film mantanmu juga begitu sih mas,ada beberapa setting yg mgkn ga tlalu pas,tp nda ngganggu jalan cerita kyak si igel2 ini.suaminya lebih canggih dan detil sih,pantes mantanmu milih dia buat di-suamikan. >:)
    spoiler dikit,mantanmu di film itu logatnya menggelikan.xixixi. πŸ˜›

  • DUCKSHA |

    Jadi inget film yang pertama (judul dengan sengaja dilupakan)…….ada adegan warga satu kampung tewas diserang belanda, tapi semua dadanya masih naik turun…….. kurang menjiwai akting mati para figurannya….hehehe

  • Yang Punya Diary |

    gadispucatkomensubuhsubuh:::
    *tamparlulupakewajan
    semenggelikan kamu kalo lagi ngomong jawa? πŸ˜‰

    nd:::
    sudah, sayang…

    DUCKSHA:::
    merah putih (judul sengaja diingatkan), dak? aku malah belum nonton itu :mrgreen:
    bener-bener dokter kamu ini…bisa membedakan mana yang mati beneran sama mana yang mati pura2an, nyahahaha…

  • Yang Punya Diary |

    eee…ini saya juga tersinggung, djo. masak iya pejuang2 kita digambarkan setolil itu? saya ndak terima eyang saya dan temen-temennya diolok-olok macam gitu πŸ˜›

  • jensen99 |

    Saya belum nonton Joe, cuma lihat trailernya. Dari trailernya itu saya terganggu satu hal. Itu film settingnya 1947 kan? Tapi kenapa ada PC-6 Pilatus di film itu? Memerankan apa pesawat yang terbang perdana baru tahun 1959 dan gak pernah dipakai AU Belanda itu?

  • gadispucatkomensubuhsubuh |

    Ealaaahh…tegaaaaa…gitu ya….tegaaaa…
    *pakewajan,gakpaketabunggassekalian?mumpungmasihanget!*

    huh,mending saya tho,cm agak kasar sa’titik ae lho…maklumlah,japung!daripada smpeyan ta’ajak ngomong lampung!kan bribet!
    mantan sampeyan itu asline ndi?padang?

  • unda unda |

    hahahahaha…..

    perhatikan posternya dan lihat gambar cewek yang kanan… malah menunjukkan sensualitasnya… hahahaha…
    apik..

  • unda unda |

    oh iya… gara2 melihat ntu cewe saya lupa menjelaskan tentang garuda..

    begini om joe..
    saya jelaskan dulu apa itu Garuda πŸ˜€ (sekedar merefresh ingatan om)

    Data 1.
    Garuda adalah salah satu bentuk makhluk mistis dalam agama Hindu. Garuda disebutkan sebagai “vehicle” Dewa Wisnu.

    Data 2.
    Garuda digambarkan bertubuh emas, berwajah putih, bersayap merah. Paruh dan sayapnya mirip elang, tetapi tubuhnya seperti manusia.

    Data 3.
    Burung Elang Jawa disebut juga dengan Burung Garuda. Hal ini karena ukurannya yang besar. Tidak sekali ato 2 kali saya melihat Burung Garuda ini di Kebun Binatang.

    Data 4.
    Garuda sebagai Lambang negara tidak hanya dipake oleh Endonesia tapi juga Thailand.

    Jadi kenapa bahasa inggrisnya “Blood of Eagles”
    1. Sutradara ato yang punya pelem mungkin tidak berani membawa-bawa nama Garuda yang mungkin akan menyinggung umat agama Hindu. Anda masih ingat kasus album Iwan Pals, eh Fals “Manusia Setengah Dewa” dulu?? xixixi
    Alhasil mereka merujuk pada burung yang selama ini identik dengan Garuda, yaitu Elang Jawa. “Harusnya judulunya Blood og Elang Jawa ya..”

    2. Garuda sebagai Lambang negara juga dipake ga hanya oleh Endonesa, tapi juga Negara Thailand. Bisa jadi harus ada ijin dari Thailand ato apalah… yang mungkin lebih ribet lagi urusannya :D.

    3. Kemungkianan ke tiga adalah, yang bikin pelm memang goblok. Yang tidak pernah tau bahwa Garuda itu adalah Wahana “vehicle” dewa Wisnu. Yang taunya hanya burung Elang Jawa.
    hahahahaha…

    Silahkan menebak2 sendiri…
    Saya posting bukan untuk memberi solusi… hahahaha

  • Yang Punya Diary |

    jensen99:::
    wah, saya baru tau tentang ini, oom jenderal. mohon maklum, selama ini saya memang tidak terlalu mencermati serius isu-isu di seputaran aeronautika, apalagi kabar lawasnya πŸ˜€

    gadispucatkomensubuhsubuh:::
    kamu ngomong lampung, ta’jawab pake bahasa spanyol πŸ˜›

    use el mismo lenguaje que sea facilmente reconocible personas. no utilice el lenguaje de lampung. que estas hablando, lu? quiere conseguir un beso en los labios? :mrgreen:

    mumet…mumet sisan kowe!

    unda unda:::
    tipikal himakom ugm. berbicara tanpa pernah memberikan solusinya 😈

  • gingsul |

    gyakakakakakakakakakak.. anda juga melihat kembanyol2an di pilem itu toh.. wekekekekek.. yg paling parah yo pas ngomong, “Kamu akan punya anak laki-laki..”
    Lhah??? USG nang ndi Mbakyuuuu???

So, what do you think?