Selamat tahun baru 2017! Dan tanpa banyak cingcong, inilah tulisan pertamaku di tahun ini: tulisan tentang tulisan-tulisan, alias buku-buku yang khatam ta’baca sepanjang tahun kemarin. Berikut ini daftarnya:
1. “Hero” – Rhonda Byrne
Pseudo-science. Buku ini adalah seri terakhir (yang ta’baca) dari seri “The Secret”-nya Rhonda Byrne, tentang law of attraction alias hukum tarik-menarik. Memang pseudo-science, sih. Tapi aku nggak peduli. Selama teorinya bisa bekerja buatku, itu sudah cukup. Perkara nggak bekerja buat orang lain, itu bukan urusanku π
Seri yang ini agak kurang yahud, sih, buatku. Isinya lebih kayak testimoninya orang-orang top yang sukses mengimplementasikan energi positif buat hidupnya. Mungkin ini semacam penguat biar orang percaya bahwa konsep The Secret yang dipopulerkan sama penulisnya itu memang ada dan memang bekerja. Penulisnya seakan pengen pembacanya percaya kalau semua orang bisa jadi Superman, meskipun “bisa” dan “layak” – dari kacamataku – adalah 2 hal yang berbeda.
Dan untuk menambah khazanah pengetahuan bagi sidang pembaca yang terhormat, aku dapat buku ini dari Mbak yang di Jokja. Kado ulang tahunku 2 tahun lalu.
2. “Sang Penguasa: Surat Seorang Negarawan kepada Pemimpin Republik” – Niccolo Machiavelli
Pragmatis. Selain penting buat dibaca kalau kepengen tahu isi otak para politisi secara umum, buku ini penuh nasehat bagus tentang konsep merebut dan melanggengkan kekuasaan. Berguna pula buat yang kepengen melibatkan dirinya dalam aktifitas sikut-sikutan di kantor. Cocok buat para oportunis yang menyenangi hal-hal praktis. Buatku, aku semakin yakin kalau dalam urusan perang dan cinta semua hal adalah sah-sah sahaja.
Maka bersiaplah dunia! π
3. “Menelisik Jejak Satrio Piningit” – Tri Budi Marhean Darmawan & Nurahmad
Iseng aja waktu memutuskan donlot buku ini dari Google Play, soalnya ongkosnya cuma Rp. 0. Isinya ya othak-athik-gathuk perkara ramalan Sabdo Palon-Noyo Genggong, Prabu Siliwangi, Joyoboyo, Ronggowarsito, disesuaikan dengan kondisi bangsa Endonesa saat ini. Sulit buat dipercaya meskipun aseek buat kunikmati macam dongeng. Kadang pula bikin geli.
Bagaimana tidak geli? Bayangkan, di luar sana ada yang berusaha menafsirkan nubuat tentang dirimu tapi sama sekali tidak menyebut namamu. Agak gimana juga, kan, jadinya? Hohoho…
4. “Sadar Penuh Hadir Utuh” – Adjie Silarus
Ini bagus. Lagi-lagi dapat dengan harga Rp. 0 di Google Play. Aku suka nasehatnya untuk tidak terburu-buru dan menikmati segala proses yang terjadi di hidup ini secara total. Sampelnya dimulai dari hal-hal yang sederhana aja, misalnya kalo pas lagi makan ya cukup nikmati makananmu secara utuh, nggak usah disambi-sambi baca atau mainan hape.
Di kantor juga gitu. Kalau disuruh berangkat rapat ke Kementerian lain sendirian tanpa didampingi atasan, percayalah, everything happens for a reason. Nikmati saja. Nggak usah mutung gara-gara nantinya kebanyakan tanggungan laporan. Lagipula, kan, dapat uang transport buat rapat juga tho?
5. “Why Men Don’t Listen and Women Can’t Read Maps: How We’re Different and What to Do About It” – Allan Pease & Barbara Pease
Setelah paham dalam perang dan cinta segalanya adalah sah-sah belaka, tentu aku kudu meng-upgrade pengetahuanku tentang otak wanita. Supaya apa? Supaya mereka suka sama aku, dong. Kalau mereka sudah suka, pastilah aku bakal sering ditraktir-traktir. Sushi Tei atau steak-nya Gandy bolehlah.
Buku ini seenggaknya ngasih hal-hal dasar tentang cara berpikir pria dan wanita, dan reaksi apa yang harus dilakukan oleh lawan jenisnya untuk menanggapinya. Memang ada beberapa hal – based on my own experience – yang aku nggak setuju. Tapi sebagian besar bolehlah isinya dijadiin pegangan, terutama buat yang benar-benar awam dan selalu gagal saban pacaran.
6. “Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990” – Pidi Baiq
Sudah lama tahu tentang buku ini, tapi belum minat buat mbaca sampai dengan suatu hari si Lulu bilang, “Baca, Mas. Dilan mirip kamu banget.”
Maka kartu bebas miskin beraksi (baca: kartu kredit, John). Softcopy buku ini kutebus dari Google Play. Harganya jauh lebih murah ketimbang format fisiknya. Dan aku heran, bagian mananya yang mirip? Aku nggak gabung geng motor dan selalu menghindari perkelahian antar pelajar lho.
Tapi akhirul kalam aku memang suka sama karakternya Dilan. Dia spontan dan tingkah-lakunya sukar ditebak. Tau-tau aja sering ngasih kejutan, yang baik caranya memberi kejutan ataupun isi kejutannya sama-sama bikin terkejut. Yeah, roman remaja era 90-anlah. Aku jadi suka buku ini mungkin gara-gara aku kangen sama situasi pada masa-masa itu juga.
Iya, aku anak muda 90-an. Aku penggemar New Kids on the Block.
7. “Amazing Laws of Cosmic Mind Power: Fifteen Simple Laws to Help You Achieve Your Goals and Reach New Levels of Personal Fulfillment” – Joseph Murphy
Kado ultah dari Mbak Mantan. Lagi-lagi pseudo-science. Temanya mirip sama seri “The Secret”-nya Byrne. Bekerja buat aku, tapi entah buat kalian. Yang jelas, I still remember the days I prayed for the things I have now. Cocok sebagai pendamping teori shalat tahajjud, meskipun isi buku ini lebih condong ditulis dengan sudut pandang Kristen. Hahaha.
8. “Success Protocol” – Ippho Santosa
Kayak buku-bukunya Ippho Santosa yang lainnya. Bahasa marketing-nya terlalu bombastis, padahal materi bukunya ya gitu-gitu aja: seputar konsep dasar biar jadi orang sukses. Mungkin berguna sebagai pengingat buat yang sering lupa. Lagipula, untuk memainkan pedang yang tajam kita butuh gagang yang kuat, kan?
9. “Islam Sehari-hari: Yang Penting, Yang Terabaikan” – Vbi Djenggoten
Komik. Punyanya Bram. Isinya tentang akhlak Islam sehari-hari yang sering terabaikan. Benar-benar menggambarkan Islam ala Endonesa di masa sekarang, di mana syariat dibahas jungkir-balik, sementara hakikat dan ma’rifat nyaris nggak disentuh sama sekali. Gambarnya lucu dan bahasannya enteng. Penuh sindiran halus, termasuk buat kalian yang bingung sama inti ajaran Islam gara-gara kelamaan tercekoki wacana bab syariat melulu.
10. “Buat Apa Shalat?!: Kecuali Jika Anda Hendak Mendapatkan Kebahagiaan dan Pencerahan Hidup” – Haidar Bagir
Rp. 0 lagi di Google Play. Perkenalan pertama sama Haidar Bagir. Bahasa tulisnya kurang encer. Membahas shalat dari sudut pandang tasawuf. Lumayan memberikan pencerahan baru buat aku, dan mungkin juga buat yang lain yang menganggap shalat sekadar kewajiban atau sekadar momen untuk sambat ke Gusti Allah. Dalam hal ini aku malah jadi inget sama dialog ngawur antara aku dan adik kelasku, Azizah, di kampus dulu:
“Wis shalat, Mas?”
“Wis. Wis tau.”
“Ojo ngono, Mas. Shalat kuwi kewajiban.”
“Yo ngono iku levelmu. Shalat mung sebatas kewajiban thok. Nek nggo aku, shalat ki kebutuhan. Nhaaa…kapan aku butuh, nah pas kuwi lagi aku shalat.”
π
11. “Parker Pyne Investigates” – Agatha Christie
Siapa detektif terbaiknya Agatha Christie dalam versiku? Kalo jawabannya adalah Hercule Poirot, itu betul. Betul pas jaman dulu, maksudku. Sekarang, sejak kenal sama Parker Pyne, aku lebih suka sama karakter ini ketimbang Poirot.
Sebetulnya, dibanding disebut sebagai detektif, Pyne lebih suka menyebut dirinya konsultan kebahagiaan. Metode kerjanya menarik buatku: dia membaca karakter dan sifat-sifat kliennya, memetakan kebiasaannya, kemudian menyusun solusi atas kasus kliennya. Lebih cocok disebut sebagai psikolog ketimbang detektif, sih. Lagipula beberapa kasusnya lebih banyak ke persoalan hubungan antar manusia ketimbang kasus-kasus kriminal.
12. “Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya 3!” – Ajahn Brahm
Buku ke-3 dari seri “Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya”. Wajib dibaca! Terutama kalau kepengen menertawakan tingkah-laku manusia. Biksu lulusan Cambridge ini benar-benar jago dalam menuturkan anekdot-anekdot seputar polah manusia yang menggelikan, ya termasuk polahmu dan polahku. Buatku, aku nggak tersinggung sama tulisannya. Senyam-senyum sendiri malahan, mengingat betapa cupunya aku.
Dan meskipun aku tau, nggak semua orang nyaman menertawakan dirinya sendiri, buat sampeyan yang model demikian, yang nggak suka menerima pelajaran dari orang lain, buku ini nggak bakal bikin sampeyan emosi, kok. Mungkin sampeyan nggak akan sampai menertawakan diri sendiri sepertiku, tapi setidaknya sampeyan nggak bakal tersinggung. Ente nggak akan merasa lagi diceramahi. Bahasa tulisnya benar-benar santun, nggak macam tulisanku yang frontal binti vulgar.
13. “The Devil’s Advocate: 100 Business Rules You Must Break” – Caspian Woods
Bahasanya agak njelimet, tapi aku garis-bawahi 1 nasehatnya:
Anda menginginkan tim Anda bekerja lebih produktif? Pulangkan mereka lebih awal.
Besok kalau aku jadi bos, aku bakal praktekin semua yang ditulis buku ini, terutama kalimat yang barusan tadi. Uhuehuehue!
14. “How to Move Minds and Influence People: A Remarkable Way of Engaging and Persuading Others” – Iain Carruthers
Dapat minjem dari Bram. Isinya tentang metode story-telling untuk mengambil hati lawan bicara. Alasannya karena semua orang suka sama dongeng. Yang menarik, di buku ini pembacanya diwanti-wanti supaya setidaknya menonton salah satu dari film “American Beauty”, “Erin Brockovich”, atau “The Shawshank Redemption”. Lebih bagus lagi kalau sudah nonton tiga-tiganya. Aku sendiri, sih, baru nonton film yang terakhir. Habis ini, deh, 2 film lainnya kutonton.
15. “Don’t Make Me Think” – Steve Krug
Buku wajibnya web programmer dan web designer, atau siapapun yang punya concern tentang user interface dan user experience dari sebuah aplikasi digital. Contoh-contoh kasusnya sudah lumayan usang, tapi menurutku tetap relevan secara konsep.
Nggak perlu dibaca kalau ente bukan salah satu dari oknum-oknum di atas π
16. “BacaKilat for Students” – Agus Setiawan & Juni Anton
Pseudo-science juga. Isinya tentang metode menguasai materi dari sebuah buku dengan kecepatan mendekati Gundala Putra Petir. Belum bekerja optimal buatku, walaupun sudah ngerasain beberapa perubahan setelah mempraktekkan isinya.
Kampretnya, buku ini “memaksa” kita secara halus buat ikutan workshop-nya (yang tentu saja berbayar) kalau kepengen menguasai keseluruhan metodenya. Sial!
17. “Kitab Suci Kesatria Cahaya” – Paulo Coelho
Setelah aku nganterin Ria buat nyari bis sepulang kantor ke Terminal Blok M, aku mendapati buku ini sudah di dalam tasku, plus pesan di halaman depannya: “I only give book to whom I know will cherish it π ”
Pesan-pesan supaya selalu tegar dalam kondisi apapun di bukunya sebenarnya klise buat aku. Tapi selalu ada kondisi di mana kita membutuhkan pesan-pesan macam demikian.
Bagus, yang mungkin jadi bagusnya karena pas baca buku ini kondisiku lagi cocok. Dan sejak pertama kali mbaca Paulo Coelho, pilihan kata-kata dalam tulisannya selalu menarik buatku.
18. “The Crime Fighter Collection” – Nickelodeon
Novel tentang Kura-kura Ninja. Berhubung dulu sering punya niat bolos ngaji di sore hari demi nonton serial kartun ini, maka begitu ngeliat bukunya di Gramedia ya langsung aja kubawa pulang. Dengan terlebih dahulu ngecengin mbak kasirnya, tentu saja.
Isinya enteng. Ya gimana nggak enteng, wong buku ini cocoknya dibaca sama anak-anak. Anak-anak Amerika, maksudku. Bukan anak-anak Denpasar, soalnya buku ini ditulis in English. Dan sejujurnya, ini novel dalam Bahasa Inggris pertama yang kubeli dan kubaca sampai habis. Kubaca dengan tujuan sekalian belajar supaya nilai tes IELTS-ku bagus. Alhamdulillah, berkat menamatkan buku ini aku dapat nilai IELTS 8…untuk sesi reading-nya π
Lainnya? Sudah, jangan banyak tanya! Yang penting cukupanlah buat syarat kuliah di Inggris.
19. “Arok Dedes” – Pramoedya Ananta Toer
Dipinjemin sama Meidina, tanpa angin, tanpa hujan, tanpa kuminta. Tau-tau aja beliaunya ngasih pinjem buku ini ke aku setelah hari sebelumnya, pas diskusi tentang Pram, aku bilang ke dia, kalau belum baca buku ini. Eee…tau-tau besoknya aku dibawain.
Kata Meidina, “Bahasanya aneh. Banyak istilah-istilah jaman dulu. Tapi kamu pasti suka, Mas. Kamu, kan, orang jaman dulu.”
Syetan!
Tapi iya, aku suka. Aku menikmati sudut pandang baru – tentang kudeta di Tumapel dan pembunuhan Tunggul Ametung – yang lebih realistis di luar sudut pandang legenda kerisnya Empu Gandring.
20. “The Magic” – Rhonda Byrne
Masih pseudo-science. Seri ke-3 dari “The Secret”. Seri ini yang paling kusuka. Kalau di 2 seri sebelumnya aku cuma disodorin konsep, konsep, dan konsep melulu seputar law of attraction, tanpa pernah tahu praktek seperti bagaimana yang persisnya harus kujalankan, di buku ini aku dikasih step by step tentang hal-hal yang harus kulakukan demi mengasah kemampuanku dalam menunggangi hukum tarik-menarik.
Sangat praktikal dan…ah, coba saja sendiri, deh. Alami dan rasakan sendiri. Jangan percaya begitu saja sama yang kuomongkan, jangan juga tidak percaya begitu saja sama apa yang kusampaikan π
21. “Le Petit Prince: Pangeran Cilik” – Antoine de Saint-Exupery
Sudah lama denger reputasi besar buku ini. Kesimpulannya: luar binasa! Enteng buat diikuti sekaligus butuh mikir buat menafsirkan kalimat-kalimat simbolik di dalamnya. Selalu suka sama buku model begini; bahasa yang ringan tetapi selalu bikin (pura-pura) merenung dan berkontempalsu. Yeah, biar keliatan agak bijaksana dikitlah.
Aku malah heran, bisa-bisanya Kimi dan Mbak Mantan nggak suka sama buku ini? π
22. “#sharing 2” – Handry Satriago
Kumpulan pembahasan tweet-tweet-nya penulis. Cocok buat dibaca sama para pria eksekutif muda, juga mbak-mbak wanita karir, yang kerjaannya cuma nungguin kapan waktunya gajian. Berkisah seputar pandangan-pandangan penulisnya tentang apa manfaat dan faedahnya memberi nilai tambah pada pekerjaan kita di kantor. Nggak cuma itu, sih. Masih banyak cerita lainnya seputar kehidupan, seputar bagaimana tidak sekadar terinspirasi oleh orang lain, tapi juga cara untuk menginspirasi orang lain.
Kalau sampeyan kepengen jadi leader, setidaknya sempatkanlah baca buku ini.
23. “The Janissary Tree” – Jason Goodwin
Petualangan seorang kasim sekaligus detektif dadakan di Kesultanan Turki. Alurnya agak bertele-tele dan njelimet karena adanya 2 kasus yang harus diselesaikan sama si lakon dalam waktu yang relatif bersamaan, tapi kemudian terkesan dipaksakan buat jadi cepat di bagian-bagian akhir. Sisi positifnya, aku bisa menikmati detail-detail kondisi Turki jaman dulu yang diceritakan di bukunya. Seri berikutnya dari kisah Yashim the Eunuch ini kupertimbangkan untuk kukonsumsi lagi.
24. “Pajamaman” – Fujiko F. Fujio
Komik. Cocoknya memang dibaca sama anak-anak, sih. Ceritanya pendek-pendek, bahkan lebih pendek dari cerita-cerita di buku komik “Doraemon” yang dikarang sama orang yang sama. Tapi ya menghibur, soalnya aku, kan, masih anak-anak juga.
25. “Gua Rahasia” – Enid Blyton
Anak-anak banget. Anak-anak yang nemu penjahat, lebih tepatnya. Tentu nggak ada adegan gebuk-gebukannya. Yeah, namanya juga anak-anak. Dibanding eksyen fisik, buku ini lebih banyak ke pesan moral tentang hubungan antar manusia.
26. “Sarah, Plain and Tall” – Patricia MacLachlan
Buku tentang calon ibu tiri yang (tidak) hanya cinta kepada ayahku saja. Ceritanya sederhana, dan beta bisa merasakan emosinya si aku dalam cerita dan adik kecilnya yang bener-bener kepengen ngerasain macam mana rasanya punya ibu.
Cocok untuk dibaca oleh semua calon ibu tiri (dan mungkin juga calon bapak tiri?) π
27. “Jalan Tak Ada Ujung” – Mochtar Lubis
Nice guy finish last! Eh, salah. Yang betul, yang finish last itu nice guy yang lemah. Maka sampeyan boleh tetap jadi nice guy, tapi jangan lupa untuk punya prinsip dan karakter yang kuat. Karena kalau enggak, boleh jadi istri sampeyan malah milih buat digagahi sama teman sampeyan sendiri.
Kasihan, sih, sama tokoh utamanya. Cuma ya mau gimana…sudah tahu salahnya di mana, kok, ya nggak berusaha memperbaiki diri?
28. “Hujan Matahari” – Gunadi Kurniawan
Kata Septri, ini buku tentang ta’aruf. Aku, sih, nggak suka melakukan dikotomi bahasa. Buatku, hubungan pra nikah – bagaimanapun modelnya – ya kusebut aja “pacaran”, biar gampang.
Tapi jebul isi buku ini nggak cuma itu aja. Banyak pula tentang pandangan hidup lainnya. Sayangnya, buatku, pandangan si penulis ini terlalu pasif menjurus negatif. Macam orang yang (ekstrimnya) nggak mau berusaha tapi kepengen semuanya langsung datang di hadapannya, misalnya ini:
Percayalah, hidup di luar dirimu tidak pernah baik-baik saja. Jika kamu bertemu teman-temanmu yang tampak begitu ceria, mereka hanya tidak ingin orang lain tahu mengenai masalah mereka. Disimpannya rapat, ditangisinya kala sendiri di malam hari kesepian.
Aku nggak cocok!
Ketimbang memaksakan diri berburuk-sangka orang lain sama menderitanya, kenapa nggak nyoba nanya dan belajar ke mereka, bagaimana supaya bisa bahagia terus?
Lanang, kok, nangisan? Nangis, kok, nggolek konco? Nggolek konco, kok, mekso? Masak kalau hidup ente menderita maka aku harus sama nelangsanya kayak ente?
Aku sendiri, sih, memang penikmat filosofi pertahanan terbaik adalah menyerang. Karenanya aku nggak suka sama sepakbola pasif ala Helenio Herrera π
29. “Logika Agama” – M. Quraish Shihab
Ada 2 jenis penanya. Yang pertama, yang bertanya dan berusaha mencari jawaban atas pertanyaannya. Yang kedua, yang bertanya tapi cuma sekadar mempertanyakan tanpa niatan buat mencari jawabannya. Biasanya cuma sebagai pembenaran untuk tingkahnya, yaitu mereka-mereka yang keburu yakin kalau nggak bakal ada jawaban untuk pertanyaannya.
Aku bersyukur, Quraish Shihab jaman muda ternyata juga bertanya tentang hal-hal yang kupertanyakan. Untungnya beliau punya niat buat nyari jawabannya. Untung lagi, sekarang jawaban dari pertanyaannya dibukuin sama dia. Buku ini lumayan menjawab pertanyaanku, bahwa akal manusia memang nggak punya batas pada konteks dunia fisik dan materi.
30. “Terapi Berpikir Positif” – Ibrahim Elfiky
Penulisnya meragukan. Pertama, di situ beliaunya disebut lulusan Universitas Los Angeles jurusan Metafisika. Lha, universitasnya aja nggak pernah ada, ya apalagi judul jurusannya.
Informasi yang melibatkan 5W1H seputar pengalamannya keliling dunia juga banyak yang dikaburkan, semacam “di salah satu negara Arab”, “menurut penelitian di sebuah universitas di Colorado”, “pada suatu kesempatan saya bertemu dengan seorang pemuda”, dan hal-hal semacam itulah.
Lalu hal lain yang juga bikin ngekek adalah penyebutan Bruce Lee sebagai juara dunia karate, juga ceritanya tentang seorang legenda basket NBA, Michael Johnson π
Oh, come on… Pilih salah sijilah, Earvin “Magic” Johnson atau Michael Jordan? Jangan serakah gitu, dong.
31. “Hector and the Search for Happiness” – Francois Lelord
Hadiah ultah dari Mbak Mantan yang 1 lagi.
Mbuh ngapa aku selalu suka dengan tema pencarian kebahagiaan, meskipun ending-nya selalu mirip: seperti sebuah petualangan mencari harta karun lalu kemudian kita sadar kalau harta karunnya ternyata terkubur di halaman belakang rumah.
Nggak cocok buat yang percaya kalau bahagia itu nggak simpel, tapi cocok buat beta yang kebetulan percaya sama nasehat-nasehatnya Mario Teguh π
Iya lho… Yang nggak sepaham sama Mario Teguh biasanya gara-gara nggak percaya kalau kasus hidup sesulit apapun penyelesaiannya selalu simpel. Kesimpelan yang berarti penghinaan terhadap kapasitas intelektual yang bersangkutan: “Wong saya aja dibikin bingung sama masalah saya, mana mungkin penyelesaiannya sesimpel itu?”
Kesimpulan yang seringnya diambil bahkan sebelum mencoba solusi yang ditawarkan.
Buku ini juga kayak gitu. Kesimpulan ceritanya simpel. Gitu-gitu aja, walaupun alurnya enak dan sudut-pandangnya kaya. Kita semua sudah tau rumusannya dari jaman dulu, tapi mbuh kenapa aku selalu suka sama cerita basi model begini.
Mungkin ini semacam peyakin buat aku untuk selalu konsisten ngejek orang lain: Sudah ta’bilangin, caranya itu ya dari dulu kayak gitu, tapi antum ngeyel melulu!
Yaaa…mungkin lagi ini seperti sabdanya Johann Cruijff naliko jaman semono: “Sepakbola itu simpel. Tapi bermain simpel itu sulit.”
32. “Esio Trot: Aruk-aruk” – Roald Dahl
Akal-akalan lelaki pemalu buat bilang suka ke perempuan yang jadi sasaran tembaknya.
Bingung mengategorikan buku ini aslinya buat siapa. Bahasanya gampang dicerna sama anak-anak, tapi kontennya lumayan dewasa, dan sempat bikin aku iri. Sebab-musababnya karena, kok, kayaknya orang pemalu punya kans lebih besar untuk dipercaya sama cewek kalau dia memang suka ke si cewek ketimbang aku yang ngomong terang-terangan di depan target operasiku?
Padahal kadar keseriusan kami boleh jadi sama. Sungguh!
Aku juga nggak bisa ngelarang waktu ponakanku, Kana, gantian mbaca setelah aku selesai. Lha, bukunya penuh ilustrasi macam buku anak-anak pada umumnya, sih. Aku jadi susah beralasan buat ngelarang anak umur 4 tahun itu ikutan mbaca. Hahaha.
33. “Dunia Sophie: Sebuah Novel Filsafat” – Jostein Gaarder
Buku paling bagus yang kubaca di tahun lalu. Serius!
Sayangnya yang dibahas filosofi barat melulu, mulai jamannya Thales sampai Sartre. Timur cuma kebagian Siddharta Gautama. Itu pun porsinya dikit. Mungkin setelah ini aku butuh nyari buku yang membahas soal filsafat timur secara komprehensif.
Tapi buku ini beneran bagus, kok. Sudah lama aku nggak baca buku yang dikit-dikit bikin aku berhenti buat mikir dan merenung – setelah buku kalkulus.
Aku juga nyesel. Nyesel baru baca buku ini tahun kemarin. Seandainya sudah kubaca dari jaman dulu sekali, pastilah skill-ku bertahun-tahun yang lalu sudah sekomplit sekarang ini π
Maka atas dasar argumen demikianlah aku anjurkan kepada siapapun yang belum baca buat baca buku ini, niscaya wawasan ente naik 2 kali lipat. Sungguh!
Terakhir, coba jawab 2 pertanyaan ini:
Siapa kamu?
dan
Dari mana asalmu?
34. “Buku Saku Tasawuf” – Haidar Bagir
Aku dapat sudut pandang yang sama sekali baru tentang tasawuf. Yeah, sudut pandang yang sebenarnya selama ini kucari, sih… Antitesis tentang sufisme yang selama ini terkesan individual, antisyariat, antisosial, antirasional, antisains, antisugih, pendeknya antidunia.
Aku juga mulai belajar tentang wahdah al wujud-nya Ibn Arabi, yang akhirnya menyimpulkan betapa pendek-pikirnya aku selama ini, tentang karomah-karomah ala wali yang menurut penulisnya sebenarnya juga nggak penting, oleh kerana kondisi fana’ macam demikian juga dialami sama Fritjof Capra, bahkan Jean Paul Sartre, atau tidak lupa juga Tante Lia Eden.
Poin penting 1 lagi, aku juga dapat pengingat bahwa – jangankan yang imannya beda – yang imannya (sempat) sama kayak aku pun banyak yang memandang Islam dari sisi jalal, tremendum, menakutkannya saja, sementara aspek jamal, fascinans, cintanya sering dilupakan. Padahal yang terakhir ini yang – boleh jadi – adalah tujuan utamanya. Nggak heran banyak yang salah-kaprah soal esoterisme Islam.
Buku yang Rp. 0 juga di Google Play ini kunilai sebatas lumayan aja. Soalnya meskipun bagus, buku ini, buatku, sifatnya cuma pengantar sahaja. Aku masih butuh pembahasan yang lebih rigid lagi.
35. “Dua Belas Pasang Mata” – Sakae Tsuboi
Konon, ada yang bilang buku ini adalah buku yang menginspirasi seri “Laskar Pelangi”-nya Andrea Hirata. Tema ceritanya juga mirip: tentang guru dan murid-murid yang diajarnya. Bedanya, buku ini mengambil sudut pandang sang pendidik, sementara judul yang 1 lagi dari kacamata peserta didiknya.
Ceritanya sederhana dan manusiawi. Setting-nya di Jepang waktu perang dunia ke-2 belum mulai dan setelahnya. Tentu kekalahan Jepang jadi bagian tragedi yang ada di buku ini. Nyenengin. Nyenengin liat penjajah kalah π
36. “Mantra” – Deddy Corbuzier
Enteng banget. Sumpah, enteng! Inti pesannya, sih, bagus…tapi klise. Seenggaknya buatku ini terlalu klise. Jadi mesti dicetak di studio foto dulu.
Isi bukunya sendiri dipisah jadi 2 bagian. Yang pertama tentang metode praktis berkomunikasi, termasuk mendeteksi kebohongan lawan bicara secara instan. Perkara ini aku, sih, sudah khatam lama, tapi ya lumayan juga buat nginget-nginget, soalnya aku suka lupa punya pengetahuan tersebut – terutama kalo lawan bicaraku manis dan punya vagina.
Yang kedua lebih ke cara pandangnya Pak Deddy tentang hidup. Ini monolognya dia, cuma dibikin jadi dialog antara dia sama tokoh fiktif yang digambarkan sebagai orang tua yang anggur…eh, yang bijak.
Overall, aku setuju sama cara pandangnya. Malah beberapa sama persis, meski pasti nggak cocok buat masing-masing jiwa yang berbeda. Misalnya tentang pesannya buat nyari teman sebanyak-banyaknya dan jangan pilih-pilih. Buat yang cenderung introvert dan suka melevelkan jenis-jenis pertemanan, ya pastilah nasehat ini bakal di-prek-su-kan!
Sayangnya Pak Deddy ini mentalis, bukan novelis. Maka aku nggak begitu terkesima dengan pilihan kata-katanya. Ditambah selera humornya yang memang beda sama gaya sahaya, semuanya buat beta jadi biasa-biasa saja.
37. “Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia” – Abdurrahman Wahid
Sudah kubahas panjang kali lebar sama dengan luas di sebelah sini.
38. “Negeri 5 Menara” – Ahmad Fuadi
Biasa. Tentu saja ini sangat subyektif. Mungkin karena buatku buku ini tidaklah semenginspirasi itu. Lha, bagaimana kita mau terinspirasi oleh sesuatu yang sudah pernah kita lewati, kan? Maka isi buku ini, sekali lagi buatku, jatuhnya ya biasa-biasa saja.
Tapi aku setuju dengan poin penutupnya:
Jangan remehkan impian, walau setinggi apapun. Tuhan sungguh maha mendengar.
Dan aku punya versi lain untuk hal itu: Hati-hati dengan bualanmu. Suatu saat kamu akan dibuatnya terharu.
39. “Buku Saku Filsafat Islam” – Haidar Bagir
Tentang pandangan-pandangan Islam dalam filsafat, termasuk pro dan kontra antara 1 pendapat dengan pendapat lainnya. Lumayan menambah pengetahuan dan sudut pandang, meskipun – yeah, namanya aja buku saku – sifatnya ya cuma sebatas pengantar saja. Masih banyak yang perlu dipelajari lebih lanjut, walaupun sudah cukup dan cocok buat dibaca sama mereka yang nggak punya banyak waktu.
Penuh dengan istilah-istilah Timur Tengah yang agak mengganggu waktu membaca, karena meski sudah ada kamusnya di halaman bagian depan, berhubung terlalu banyak yang harus dihafalkan, jadinya ya agak repot juga kalau harus bolak-balik halaman.
40. “Sepanjang Hayat Bersama Rakyat: 100 Tahun Sultan Hamengku Buwono IX” – Kompas Gramedia
Terlalu banyak kontributor, jadi terlalu banyak informasi yang diulang-ulang, juga tumpang-tindih – terutama soal polemik siapa penggagas Serangan Oemoem 1 Maret ’49 yang sebenarnya – meskipun substansi pesannya ya sama. Logis sekaligus mistis. Ini bagian yang paling kusuka:
“Apakah benar waktu Sri Sultan akan ditangkap Belanda, Sri Sultan bisa menjadi 9?”
“Ini dagelan atau…? Tapi…tapi…ya saya tidak merasa menjadi 9. Bahwa umpamanya van Langen melihat saya menjadi 9, saya tidak tahu… Dan saya sendiri tidak merasa.”
Selebihnya aku merasakan kedekatan yang janggal. Mungkin ini gara-gara aku sendiri 10 tahun di Jokjakarta. Barangkali ini semacam perasaan sentimentil belaka.
41. “The Gates – Gerbang Neraka” – John Connolly
Dibeliin Riska. Isinya humor-humor tentang fisika, setan-setan yang gampang dikalahkan (jangan lupa sedia penyemprot serangga untuk setan berwujud lalat, atau ajak setan yang lainnya mabuk dengan modal bir murah yang nggak enak), kematian yang dituliskan dengan bercanda, yang intinya adalah terbukanya gerbang neraka di malam Halloween. Cocok buat hiburan, kecuali kalau ternyata large hadron collider memang bisa dipakai buat mbuka portal gho’ib.
Nggak terlalu kurekomendasikan, karena aku nggak suka kalau subyek favoritku – terutama fisika kuantum – dijadiin bahan guyonan kayak gini
42. “The Amazing Spider-Man: The Complete Clone Saga Epic, Vol. 1” – J.M. DeMatteis
Peter Parker bingung sama dirinya sendiri, apakah dia Peter Parker asli atau cuma clone dari Peter Parker yang sebenarnya. Alhasil beliau yang terhormat, berhubung sempat percaya kalau dia sekadar clone, ganti nama tanpa sesajen bubur merah-putih dan tanpa melalui catatan sipil jadi Ben Reilly. Ben dari nama oomnya, Oom Ben, dan Reilly dari nama keluarga tantenya waktu masih gadis, Tante May.
Ada 5 seri dengan masing-masing volume memiliki jumlah halaman yang lumayan tebal. Tiap volume adalah kumpulan dari komik-komik lepasnya Spider-Man – yang jumlah serial aslinya sangat bejibun itu – yang membahas seputar kasus kloning-mengkloningnya Peter yang diprakarsai oleh salah-satu musuhnya, Jackal.
Fardhu dikoleksi sama fansnya Spider-Man.
43. “1Q84, #1” – Haruki Murakami
Kapan hari itu ada sejawat yang bilang, “Murakami itu fantasi dewasa.”
Kupikir, iya juga. Segala penis, pelir, vagina, buah dada, rambut kemaluan disebutnya di sini, dan aku jadi agak gimana juga mendapati bahasa-bahasa model demikian.
Bukan apa-apa… Bahasaku lebih vulgar, soalnya, semisal “Boom! Clap! The sound of my heart tempik gosong, neng nong neng nong neng nong neng”.
Konfliknya belum klimaks. Baru seri pertama dari 3 seri yang mesti kubaca. Walaupun begitu ceritanya lumayan bikin aku kepengen baca seri keduanya yang masih mejeng di rak bukuku.
Oh ya, jangan lupa, aku dapat buku ini dikasih pinjam sama Mbak “Subhanallah” Maria, dari jaman beliau masih perawan sampai sekarang sudah punya anak yang belum sempat kutengok-tengok pula.
Lama betul, memang.
Maklumlah, aku sibuk. Namanya juga eksekutif muda.
Dengan begini kayaknya aku harus ngasih upeti banyak-banyak ke dia besok. Maaf ya, Mbak.
44. “Sabtu Bersama Bapak” – Adhitya Mulya
Secara keseluruhan aku suka sama ceritanya, meskipun agak gimana juga…kok, ya ending-nya malah tentang pernikahan?
Beberapa teman bilang ceritanya lucu, tapi buatku ya nggak selucu itu juga. Humornya adalah guyonan tentang jomblonya si lakon. Mungkin buat beberapa orang masih lucu, sementara buatku humor tentang jomblo itu (apalagi jomblo yang menista dirinya sendiri) sudah usang. Sekarang ini eranya nggendong anaknya mantan, Boy!
Style humornya juga kerasa khas metropolitan. Agak nggak cocok buatku yang ditempa sama gojeg kere dan dagelan Mataraman. Pendeknya, aku blas nggak ketawa baca bukunya.
Tadinya nyaris nggak kurekomendasikan buat dibaca. Tapi berhubung ternyata nama tokohnya adalah Cakra, bukan Joe, akhirnya kurekomendasiin buku ini buat sampeyan-sampeyan. Coba saja, seandainya nama lakonnya itu Joe, mungkin bukan sekadar nggak kurekomendasiin, bahkan boleh jadi aku bakal mbanting hape yang kupake buat mbaca softcopy-nya buku ini…ke kasur!
Iya, aku senang sekali nama yang dipakai buat tokohnya bukan Joe. Soalnya nama cewek yang disukai sama Cakra itu Ayu. Demit alas! Lihat saja nanti, Yu. Tahun depan, begitu kelar studi di Inggris sini, bakal kugendong anakmu!
45. “Men(g)akali Pikiran: Cara Cerdas Negosiasi, Melobi, Memengaruhi, & Memprovokasi Orang Lain” – Willy Wong
Buku ini kasar. Benar-benar kasar. Bahasa tulisnya seolah-olah berkata, “Kalian makhluk fana tidak tahu apa-apa.”
Tapi begitu kubaca, aku jadi mempertimbangkan, “Iya juga ya, mungking memang begitu caranya,” yang kemudian aku sadar kalau ilmu tipu-tipuku – yang menurut sejawat-sejawatku mulutku ini lamis – ternyata nggak ada apa-apanya.
Aku nggak akan merekomendasikan ke Anda sekalian untuk membaca buku ini, buku yang sudah sudi menunjukkan kalau ada yang harus dirakit-ulang perihal muslihatku yang ternyata selama ini sangatlah tidak struktural bin non prosedural. Lha, kalau semua orang di Endonesa jadi jago nipu kayak aku, mau jadi apa negara ini?
Nah, dari 45 judul itu, yang paling pendek adalah bukunya Patricia MacLachlan, “Sarah, Plain and Tall”. Tebalnya cuma 64 halaman. Yang paling panjang tentu saja “Dunia Sophie”-nya Jostein Gaarder yang 800-an halaman. Adapun kalau dirata-rata, tiap buku yang kutamatin masing-masing tebalnya 268 halaman.
Banyak ya?
Sayangnya buat aku, sih, enggak. Cuma 45 buku, itu artinya aku bahkan nggak bisa nyelesaiin 1 buku per minggunya. Masih jauh dari nasehat yang pernah kuterima, selesaikan 52 buku dalam setahun. Masih lebih jauh pula dari target pribadiku. Yeah, 2 tahun belakangan ini aku memang ikutan reading challenge-nya Goodreads, dan tiap tahunnya aku masang target 69 judul buku buat kuselesaiin.
Kenapa 69? Supaya keliatan seksi. Itu aja, kok. Bentuk angkanya bagus, kan? π
Kabar baiknya sombongnya, buku-buku yang di atas itu belum termasuk komik-komik serial yang kubaca gratis di Gramedia, kayak “Long Hu Men”, “Tekken Chinmi”, atau “Pedang Mahadewa”. Mentok pada daftar di atas cuma ada 3 biji komik, 2 komik dengan cerita lepas nan nggak berseri, 1 komik lagi adalah volume pertama dari 5 volume edisi koleksi cerita Spider-Man yang Clone Saga.
Bukan apa-apa… Lha kalau semua yang kubaca tahun kemarin kumasukin, ya komik, ya majalah, ya ebook-ebook (sok) berbayar yang berhasil kucolong dari banyak tempat, ya audiobook (yang notabene aku dibacain sama orang lain), belum pula ketambahan jurnal-jurnal ilmiah, aku malah jadi khawatir. Aku khawatir jumlah bacaan yang kukonsumsi bakal lebih dari 69. Kalau aku sampai ketahuan sama orang-orang di dunia nyata, bahwa aku setahunnya menelan lebih dari 69 judul bacaan, nanti mereka malah makin minder sama aku π
Ya kalau diminderinnya dalam arti yang positif, sih, nggak pa-pa. Alhamdulillah kalau mereka terpacu kepengen mengonsumsi judul bacaan lebih banyak dari aku (mengingat minat baca manusia-manusia di Endonesa ini rendah sekali secara rata-rata). Lha tapi kalau ternyata mindernya berubah jadi dengki sama aku, gimana hayo? Nek habis itu aku diracun sama mereka, bagaimana coba?
Maka daripada mereka memendam rasa iri dan niatan untuk menghabisi nyawaku, aku saranin supaya – lebih bijaksana jika – irinya dipindah ke si Kimi atau Teh Nenda sahaja. Mereka berdua adalah orang-orang yang kutahu bisa menyelesaikan lebih banyak buku dariku dalam waktu setahun. Hebat ya?
Jelas hebat. Karenanya percayalah, di atas langit masih ada langit. Dan tentu saja mereka lebih layak untuk diracun ketimbang aku π
Menantikan momen paman Satrianto ini menggendong anaknya Ayu ????
Dih,aku kan ngga ngomong soal berantem dan geng motor, kan kamu sendiri sendiri yg ngaku kamu anak jaman 90an, bisa identifikasi kan cara pedekate nya, nyahahaha, lagian itu buku2 yg ente suka jg ikut suka, tp si kimchi malah ngga… Emang beda selera sama si kimchi, Alhamdulillah masih bisa nyambung, apalagi soal souffle coklat! Ha-ha-ha. Nah nah, coba nanti minta dinas dimari, kita kejelian souffle coklat masnya… Oke oke? Yang bayar kimchi, tenang saja… ;))))
Bah! Cantik Itu Luka belum dibaca. So sad. Btw, tumben dirimu rajin menulis daftar buku yang dibaca beserta sinopsis singkat. Aku mah… Ogah. Sudah capek duluan. =))
Syarifah:::
ndak jadi. doanya sudah saya ralat semalam.
Bundanya Sita:::
cuma ke lampung ngapain pake minta-minta dinas segala? saya, kan, mampu beli tiket sendiri di akhir pekan. mwehehehe…
Ranger Kimi:::
first in first out, dong. jadi harus antri buat saya konsumsi. kebanyakan stok buku saya ini. itu aja murakami punyanya si ulfa masih jadi tanggungan. celakanya, semua stok ditinggal di endonesa. di sini saya jadi kehabisan stok. stok hurgronje π
Ya Allah, ya rabb… dari sekian banyak buku aku cuma kenal (dan pernah baca) 3 biji sajaaa… kamu kok keren sih, mas?
saya memang sensasional…