Kalau ditanya, apa film bioskop yang pertama kali kutonton dalam hidupku? Lalu bila pertanyaanku itu dilanjutkan dengan wanti-wanti dari temanku ke teman ceweknya, “Hati-hati sama si Joe. Lebih baik jangan. Dia itu pleboi,” maka salahkan saja babahku!
Lha, kok, gitu?
Lha ya memang gitu. Sekarang balik ta’tanya kepada para pemirsa sekalian, apa pantes anak teka – tekanya TK Aisyah pulak! – diajak ke bioskop pas lepas maghrib buat nonton James Bond? Jika kalian menjawab bahwa itu tiada pantas, maka ketidak-pantasan itulah yang terjadi: film pertama yang kutonton di bioskop adalah filmnya James Bond. Besoknya, pas ke bioskop lagi, James Bond lagi. Lagi, James Bond lagi. Seingatku, jaman kecil dulu itu, selain James Bond, aku cuma diajak nonton filmnya “Superman”-nya Christopher Reeve sama babahku.
Jadi ya nggak heranlah kalo kecilnya saja sudah dicekoki James Bond, maka pas mulai usia 17 tahun lebih dikit aku alhasil membatin, ini, nih, saatnya berlagak macam James Bond, mumpung sudah punya katepe…
Hanya saja aku bukanlah agen rahasia. Kenalanku juga tidak ada yang jadi agen rahasia. Adanya juga cuma agen minyak tanah, Bu Nengah, pemilik warung di depan rumahku di Denpasar, tempat aku biasa disuruh beli minyak tanah buat ngisi senthir kalau listrik di rumahku mendadak matek pas malam hari.
Selayaknya pula manusia yang bukan agen rahasia, aku juga ndak punya lisensi untuk membunuh macam James Bond. Karenanya, sekalinya terjebak tawuran pas jaman esema, akunya mindik-mindik ke garis belakang dengan alasan, “Lha, kalau aku di garis depan, nanti kalo aku kelepasan mbacok anaknya orang sampai mampus, gimana coba?”
Gembelnya, tidak ada seorang teman pun yang percaya sama alasanku. Jadilah akunya terkenal sebagai Kepala Seksi P3K untuk kegiatan pemacu adrenalin ala anak muda tersebut.
Maka karena aku tidak bisa beraksi macam James Bond untuk kegiatan yang menaikkan tensi, akhirul kalam aku cuma bisa niru-niru James Bond pas adegan flirting ke cewek. Lumayan, dulu si Ricky Babon sempat menjulukiku sebagai Pe A eS, pleboi antar sekolah, atas jerih-payahku tersebut. Lalu Okytt, sejawat yang sejak jaman kuliah sudah bermigrasi ke negeri koala itu, setiap chat selalu menyapa, “Woi, Mas Ganteng, masih jadi pleboi koe?”
Aku pun menjawab didahului dengan emoticon nyengir, “Sudah lama tobat. Cuma entah kenapa tau-tau sering kumat sendiri, Kit.”
Dan ngomong-ngomong tentang James Bond dan romansa ala anak muda, ada 1 quote yang jadi benang merah untuk ceritaku kali ini. Aku percaya:
Sekali seorang wanita menyukaimu, seumur hidup dia akan menyukaimu. Kalaupun terlihat tidak, yang perlu dibangkitkan cuma memorinya.
Mungkin gara-gara itu juga pas ulang tahunku kemarin ada pak pos yang ngasih paket ke rumah, yang setelah kubuka isinya 2 biji novel dari Seorang Cerita Masa Lalu 😛
Padahal sungguh mati aku cuma bercanda pas ngirim mesej ke dia, bilang, “Tahun ini aku kepengen kado ini buat ultahku,” sambil mengirimkan gambar novel yang dipajang di Toga Mas yang kupengenin. Nothing to lose. Dibalas dengan makian pun tidak mengapa. Tapi kalaupun benar-benar dikirimin sama dia dari Jakarta, ya horeee…
Selanjutnya, waw, salah sebiji novel yang dikirimkannya adalah “By Royal Command”-nya Charlie Higson. Novel ini bercerita tentang masa esemanya James Bond waktu dia masih sekolah di Eton. Novel ini kulihat di Toga Mas sebagai satu-satunya novel tentang James Bond yang dipajang di situ, yang gembusnya ternyata itu adalah buku kelima dari seri novelnya “Young Bond”. Lha, ke mana ini seri 1-4-nya? Kok, nggak ada? Ya jangan tanya ke aku. Aku tiada tau-menau, wong begitu mendapati fakta itu aku juga sempat sedikit menggerutu.
Agak mengganggu juga, sih, lantaran ada benang merah dari seri sebelumnya ke seri yang kukonsumsi di atas itu. Tapi… Ada tapinya, lho… Walaupun lumayan mengganggu, secara keseluruhan hal itu tidaklah merusak cerita yang ada di buku kelima ini. Ceritanya masih dapat dinikmati. Alurnya pun cepat, beberapa ketegangan yang biasanya kudapati waktu nonton filmnya juga masih bisa kurasakan, meskipun Bond muda ini tetap berbeda dengan Bond dewasa.
Nggak ada ceritanya dia meniduri wanita yang bukan istrinya. Lha, bagaimana mau meniduri, wong waktu itu ceritanya dia (kayaknya) masih perjaka, kok, ya. Bahkan saat itu – kemungkinan besar – adalah saat di mana si Bond pas pipis aja masih miring-miring. Yang macam begitu ya mana pantes meniduri wanita tho ya? Yang ada malah si Bond yang nanti diketawain ceweknya, “Oalah, Mas Bond… Pipis aja masih belum jejeg, kok, mau sok-sokan bobok sama saya.” Kasian tho si Bond-nya kalau nanti kejadiannya malah macam demikian?
Si Bond di sini juga belum direkrut sama MI6. Alhasil dia belum punya kode 007, yang mana kode 00 itu adalah sandi buat kepemilikan lisensi untuk membunuh. Alhasil pula tidak ada adegan baku tembak di novel ini, wong soale si Bond ndak punya pistol kecuali pistol yang miring-miring itu tadi. Tidak ada pula adegan kejar-kejaran pake Aston Martin. Yang ada cuma kejar-kejaran pake kaki.
Tidak ada pula “shaken, not stirred” karena si Bond belum 21+. Doi belum boleh mengonsumsi khamr 😈
Lebih jauh lagi, karena tidak ada adegan menegangkan di mana si Bond mengoperasikan senjata secara legal, ketegangan yang didapat, waktu aku mbaca novelnya, digantikan dengan adegan waktu si Bond nyaris mati gara-gara kejebak badai salju pas dia main ski di Austria. Dan ngomong-ngomong tentang Austria, ini mungkin sebagai hiburan buat penikmat Bond dewasa yang sering mendapati kalau di setiap filmnya, Bond selalu disetting untuk berada di negara-negara yang berbeda dalam tempo singkat. Yah, lumayanlah, di novel ini aku sempat mendapati si Bond berpindah dari Jerman ke Austria, Austria ke Inggris, Inggris ke Perancis, dan dari Perancis ke Jerman lagi, sampai akhirnya ujung-ujungnya balik ke Austria.
Ah ya, walaupun James Bond yang ini tidak terlibat zina, tapi wanita tetap ada. Hanya saja dia masih cupu, masih bisa dikibulin sama wanita yang lebih dewasa yang dia taksir. Gara-gara wanita tukang bikin repot inilah si Bond akhirnya lari-lari dari 1 negara ke negara lain, meninggalkan sekolahnya, tidak takut dengan ancaman…apalagi nggak naik kelas, wong drop out saja dia juga nggak takut, kok.
Lalu apa tema ceritanya? Temanya, sih, simpel. Kayak di film-filmnya Bond dewasa biasanya, isi cerita novel ini nggak jauh-jauh dari konspirasi dan agen ganda. Ceritanya ada agen Rusia (klasik banget, eh? Musuhan sama Rusia gitu, lho) yang berniat meledakkan Eton saat Raja George dolan ke Eton. Berhubung ini Inggris masih dipegang sama Raja George, sudah tentu setting di novel ini terjadi sebelum jaman Perang Dunia pertama. Bond sendiri, kan, konon dilahirkan pas tahun 1920-an. Hanya karena penyesuaian cerita dari jaman ke jamanlah maka James Bond tidak pernah dikisahkan beranjak tua.
Tapi, lagi-lagi simpel… Musuh Bond yang sebenarnya ternyata bukanlah si agen Rusia yang pengen bertindak mewakili Malaikat Izrail bagi Raja George. Musuh Bond yang sebenarnya adalah…ah, sudahlah, situ baca aja sendiri novelnya. Pokoknya, musuhnya si Bond ya tipikal film-filmnya Bond dewasa: punya markas sendiri, punya agenda sendiri, dan berusaha menjalankan agendanya dengan menunggangi salah satu di antara 2 pihak yang sedang bertikai, yang dalam hal ini Rusia-lah yang ditunggangi. Klasik tho?
Jadi apa kesimpulanku untuk novel ini? Hiburan ringan. Ya, cuma hiburan ringan. Terlepas dari siapa yang mengkadokan novel ini ke aku, novel ini tidak banyak memberikan pencerahan hidup yang baru buat aku. Minim makna. Satu-satunya yang bisa diambil hikmahnya selepas mbaca novel ini buatku cuma sekedar, “Terima kasih, ya Allah, aku masih dikasih kesempatan buat menikmati nyelesaiin baca ceritanya James Bond versi yang ini.”
Lanjutannya, aku malah jadi kasihan sama Bond muda ini. Semuda itu dia sudah harus menghadapi problematika seputar keselamatan dan kelangsungan hidup bangsanya. Betul-betul tipikal manusia yang tidak pernah nyari masalah tapi masalahlah yang selalu rajin mendatanginya. Kasiman, aeh, kasihan…
One Comment