Cerita Robbie Fowler di Balik Football Legends

19 Mei kemarin aku dapat pesan via Whatsapp dari Fachry. Isinya tawaran. Tawaran syuting, aeh…tawaran buat ikutan terlibat di tim medianya acara Football Legends Tour 2014. Ditambah dengan iming-iming 1 slot khusus buatku untuk wawancara sama Robert Bernard Fowler, tentu saja tawaran itu sulit untuk kutolak. Ancaman kalau harus terpaksa meninggalkan biro detektifku selama 2 hari, plus 2 hari pas weekend kepakai untuk disibukkan sama acara yang bersangkutan, sama sekali tidak membuatku gentar. Ini Robbie Fowler, Bung! Bekas dewanya Stadion Anfield, mesin gol sekaligus wakilnya Kapten Jamie Redknapp dari pasukan treble winnersnya Liverpool untuk Piala FA, Piala Liga, dan Piala UEFA tahun 2001, yang kemudian berlanjut sebagai jawara Piala Super Eropa.

Tanpa banyak cingcong kuiyakan tawaran tersebut. Wanti-wanti, “Iki aku sengaja pilih yang emang seneng bola dan Liverpool. Soale duite ga akeh,” tak kugubris sama sekali. Malah waktu itu aku belum tahu bakal seperti apa rangkaian acaranya, siapa sponsornya, dalam rangka apa, dan sebagainya. Yang penting buatku, ini Robbie Fowler, Bung! Setelah itu, setelah beberapa tempo barulah aku tahu kalau ini acaranya Domikado dalam rangka peluncuran aplikasi mobile-nya (baik yang versi Android atau juga yang versi iPhone) untuk Piala Dunia besok ini.

Maka pada sore-sore nan hujan di tanggal 5 Juni kemarin ini aku sudah nongkrong di Hotel Shangri-La buat ikutan arrival press conference-nya acara ini.

Rencananya, sih, konferensi pers yang bakal mulai jam 7 malam ini bakal menghadirkan Gennaro Gattuso, Hidetoshi Nakata, Alessandro Nesta, dan Rui Costa. Tapi tunggu punya tunggu, 4 makhluk di atas tiada nongol-nongol. Konon mereka kejebak macet sesuai dengan adat-istiadat Jakarta yang walaupun sehari-hari sudah macet tapi kalau suasana hujan ya bisa lebih macet lagi. Alhamdulillahnya panitia konferensi pers mempersilakan kami untuk menikmati sesi yang mereka sebut sebagai coffee break (tapi yang disediain cuma teh lemon dan air putih. Itupun anget tidak, pake es pun tidak) kemudian dilanjut dengan makan malam (yang nasi dan satenya sempat keburu habis duluan) demi meredam gejolak massa.

Di sekelilingku berkumpul wartawan-wartawan betulan. Yang bohong-bohongan macam aku cuma ada beberapa orang. Mereka yang memang wartawan-wartawan itu kelihatannya memang sudah terlatih untuk acara tunggu-menunggu. Sialnya aku tidak. Aku sempat terlibat dengan dunia jurnalistik cuma sebentar pas jaman esema. Dengan pengalaman sesedikit itu tentu saja aku mudah gelisah ketika 4 orang yang kami tunggu belum nongol juga meskipun waktu hampir menunjukkan jam 9 malam. Ditambah dengan air dan makanan yang ternyata tidak distok ulang, aku – dan Mas Hamid yang duduk di sampingku – mulai membuat ulah dengan noraknya. Berkali-kali kami terbatuk sambil menyebut “egh…aus”, “kopi”, “air…air…”, juga “mak, laper, mak…”. Untungnya panitianya nggak ada yang peduli dengan tingkah kami. Alhasil kami tetap kehausan.

Ah ya, aku lupa bilang, beberapa personil di tim yang sama denganku di acara ini ternyata muka-muka Jokja juga. Yang beberapa itu sempat pula mengenaliku sebagai emsi cabutan sewaktu masih di Jokja dulu. Maka ketika akhirnya acara konferensi persnya ini jadi sedikit ricuh gara-gara emsinya ternyata cuma modal badan tegap dan berotot, rambut wet-looked, juga pakai setelan jas tetapi kosakata bahasa Inggris-nya terbatas dan nyaris tidak punya pengetahuan sepakbola yang memadai, aku jadi sempat besar kepala ketika Jokja connection ini pada bilang, “Kudune emsine kowe wae, Joe.”

Bayangkan, masak itu pemain-pemain kelas dunia sampai sempat berkomentar bahwa mereka tidak tahu apa yang dibicarakan sama emsinya. Saking tidak percayanya pula, wartawan-wartawan yang tadinya bertanya menggunakan bahasa Endonesa – dengan maksud supaya si emsi ada kerjaan buat menerjemahkan ke bahasa Inggris – akhirnya di akhir-akhir sesi tanya-jawab pada memilih untuk langsung menggunakan bahasa Inggris saja. Tambahan lagi, jebul si emsi ini nggak tau siapa itu Kurniawan Dwi Yulianto. Satu-satunya pemain Indonesia yang juga naik panggung di acara konferensi pers ini disebutnya pernah bermain di Serie A untuk kesebelasan Palermo. Palermo? Palermo ndasmu!

Tanggal 6 pagi aku datang buat briefing. Di ruang briefing aku ketemu sama Sympati yang lagi ngobrol sama Mbak Ocha. Celaka. Gara-gara ada Sympati aku gagal menampilkan sosokku sebagai pria elegan di depan gadis-gadis di tim media. Hancur sudah. Sympati mengumbar aibku semasa mahasiswa, soalnya. Kepalang tanggung, ya sudah aku cuwawakan aja seperti biasanya. Hari itu aku kebagian masuk Tim H, bareng Mas Dimas sama Mbak Astrid, dan kebagian jatah untuk wawancara Patrick Vieira yang bakal nyampai di Jakarta sore harinya. Lha, Robbie Fowler? Pancen gembelus lojonicus berculae! Jebul salah satu agreement-nya panitia dan Robbie Fowler supaya dia mau datang ke Jakarta adalah tidak ada sesi wawancara khusus dengannya. Gagal sudah.

Tapi aku masih belum menyerah begitu saja. Mas Dimas ternyata juga Liverpudlian. Kami berencana menguber Robbie Fowler sebisa mungkin yang ternyata tetap nggak bisa. Dasarnya nggak pernah latihan jadi wartawan beneran, berkali-kali kami kehilangan akses ke Robbie Fowler gara-gara kelengahan sekejap-2 kejap.

Siang itu Tim H magabut. Saat tim lainnya foto-foto sama pemain-pemain ngetop pas sesi wawancara khusus, kami nganggur senganggur-nganggurnya. Pas sorenya barulah kami merasa inilah waktunya kami beraksi. Saat itu adalah momennya coaching clinic dan jadwal pemain-pemainnya njajal lapangan. Saat itu pula akhirnya aku pertama kalinya menginjak rumput Stadion Gelora Bung Karno (GBK), walaupun kemudian aku diusir panitia dari divisi sekuriti gara-gara nggak boleh ikutan nginjek rumput. Sedikit meleset dari impianku, memang. Dulu, sih, aku kepengennya nginjek rumput GBK sebagai kapten timnas Endonesa, bukan sebagai tukang dokumentasi. Tapi ndak papalah, umurku yang sekarang toh masih memungkinkan kalau tau-tau habis ini Alfred Riedl tiba-tiba membutuhkan tenagaku…untuk menyemangati timnas yang berlaga dari tribun stadion. Gembus!

Selesai sesi latihan rupanya Vieira yang baru datang sorenya menolak untuk diwawancara. Capek banget, alasannya. Panitia pendampingnya jelas nurut. Tim H dilarang mendekat. Fakingsyit! Mbak Astrid yang aslinya memang Gooners itu nyaris nangis sesenggukan. Hilang sudah harapannya berpose bersama Captain Invincible idolanya. Apa boleh buat…hari itu kami cuma bisa menyetor foto-foto dan video seadanya untuk jadi bahan artikel di Bolahore.

Tanggal 7-nya ada sesi Football Carnival. Rencananya hari itu Fowler, Vieira, dan Francesco Toldo bakal didaulat untuk menyerahkan piala juara turnamen futsal. Ini dia! Ini kesempatan terakhir. Bersama Mas Dimas, Fowler bakal kukejar.

Acara penyerahan piala selesai. Celaka lagi. Aku lupa. Hari itu karena Tim H tidak kebagian gawean yang signifikan kecuali jadi buzzer via Twitter, kami nggak kebagian ID card. Aku harus minjem ID card-nya Fachry dulu demi mendapatkan akses mendekat ke Robbie Fowler yang sedang menuju bisnya setelah turun panggung. Telat. Fowler sudah masuk bis. Aku cuma bisa menggerakkan tubuhku sedemonstratif mungkin, berharap – setidaknya – Fowler mau menoleh ke arah lensa Fuji Film X100S-ku. Alhamdulillah, ya Allaaaaaahhh…dia nengok, dan jepret! Setelahnya aku melihat Fowler menunjukkan ekspresi sedikit keheranan, menatapku yang sedang cengengesan melihatnya sambil dadah-dadah. Entah apa yang dipikirnya, aku nggak peduli. Hari itu meskipun aku nggak bisa foto bareng dia, aku sudah senang, dewanya Anfield menatap ke lensa kameraku walaupun cuma seadanya.

Malamnya pertandingan berlangsung. Aku kebagian bertugas mengetik live tweet dari bangku VIP timur. Sempat sedikit agak gimana juga…kenapa kok ya nggak aku saja yang bertugas di bawah, di lapangan? Alhasil aku cuma bisa teriri-iri saja tiap kali mendapat pesan dari anggota tim yang lain, betapa Fowler berkali-kali lewat di hadapannya. Malam itu Bintang Tua Indonesia kalah 2-5 dari Bintang Tua Dunia. Fowler mencetak 2 gol, meskipun perutnya sudah buncit (mungkin – selepas gantung sepatu – Fowler alih profesi jadi PNS Pemda Liverpool, -red.).

Dan situasi akhirnya berubah menjadi makin buruk saja saat pas briefing malam Mbak Ratri tiba-tiba menghampiri mejaku sambil bertanya, “Gimana, dapat Robbie Fowler-nya?”

Aku cuma ketawa kecut saja, mengingat dari waktu briefing pertama kali Mbak Ratri – yang memprediksi aku bakal ketemu Fowler – sudah nitipin kaos produk distronya. “Kenang-kenangan buat Fowler,” katanya waktu itu.

“Sorry, Mbak. Aku blas nggak bisa ketemu Fowler,” kataku sambil mengangsurkan kaos hitam bermotif logo Liverpool untuk kukembalikan di hadapannya.

Tapi begitu aku meletakkan kaos itu, Mbak Ratri menunjukkan tangannya yang dari tadi disembunyikannya. “Aku dapat tanda tangannya Robbie Fowler,” katanya sambil menunjukkan iPhone-nya. Di situ, di bagian belakang casing-nya tertera tanda-tangannya Robbie Fowler! Kuwadal Buntiiiiiiiinnngg!!!

Dan Mbak Ratri cerita, dia yang kebagian tugas di lorong pemain tau-tau kelewatan Robbie Fowler di hadapannya setelah pertandingan usai. Fowler yang sedang membetulkan gantungan tasnya, katanya, langsung nekat disapanya. “Robbie,” begitu panggilnya, “sign, please?” sambil menyodorkan hape dan spidolnya. Lalu terjadilah hal kampret sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama.

“Sentimen gender,” sungutku yang disambut tawanya. “Kalau gitu ini kaosnya buat aku aja ya?”

“Iya, iya, ambil aja,” katanya sambil masih ketawa.

Maka begitulah. Hikmah ceritaku pada kali ini tentu saja sudah bisa kita simpulkan bersama, bahwa rejeki itu – seperti petuah-petuah orang-orang tua kita – sudah ada yang ngatur. Mungkin memang rejekinya Mbak Ratri untuk dapat tanda-tangannya Robbie Fowler. Dan mungkin memang rejekiku untuk dapat kaosnya Mbak Ratri. Apapun itu, alhamdulillah, aku sudah pernah melihat (bekas) pemain-pemain kelas dunia ini berlatih dengan jarak cuma 5 meteran di depan mataku. Mungkin besok, hal yang terjadi kemarin ini bakal jadi motivasiku buat melatih klub sepakbola kelas dunia di Eropa sana.


Facebook comments:

2 Comments

So, what do you think?