Perhatian, sodara-sodara! Sebelum antum memutuskan untuk membaca tulisanku lebih lanjut di bawah ini, ta’peringatkan – sekali lagi – kalo tulisanku ini bukanlah sebuah disertasi ilmiah yang bisa dipertanggung-jawabkan isinya. Tulisanku ini cuma gerutuan kecilku, yang berhak untuk disetujui atau juga dicaci lebih jauh oleh mereka-mereka yang menilai aku ini tidaklah manusiawi.
Tapi ya apa boleh buat… Tulisan di bawah ini adalah perkara sebuah selera. Dan apa boleh buat juga, namanya manusia ya seleranya pastilah berbeda-beda.
Oke, mari kita mulai!
Eh, sebentar… Sebelum aku mulai, aku pengen nulis gerutuan pembuka: Kenapa, sih, kalo ada sepasang cewek yang lagi jalan gandengan, atau sepasang cewek yang kebetulan ketemu di jalan lalu kemudian saling cipika-cipiki maka mereka jarang banget dapat cibiran sebagai sepasang lesbian? Dan kenapa juga sepasang cowok – yang walopun mereka notabene adalah partner in crime, seperti Ernes dan Septri – yang saking ke mana-mana selalu berdua dalam suka dan duka, akhirul kalam selalu diece sebagai homo? Di mana letak adilnya dunia ini?
Yak, cukup!
Sekarang kita balik lagi ke gerutuan intiku.
Sodara tau coro? Coro dalam Bahasa Endonesa biasa disebut sebagai kecoak. Maka adakah di antara Anda yang phobia sama coro? Jika tidak, nanti ta’kenalin ke oomku yang namanya Oom Budi. Semasa muda, Oom Budi ini punya hobi fitness mandiri di kamarnya sendiri (sebangsa push-up, sit-up, dan angkat barbel dengan barbel bikinan sendiri dari bahan dasar adukan semen dan kaleng bekas cat tembok). Selain itu doi juga rajin menyambangi Wisata 21 buat nonton bioskop kalo kebetulan di situ diputer film jenis gebuk-gebukan, utamanya kalo yang main adalah Jean Claude van Damme atau Jet Li.
Pernah suatu sore beliau sedang aseek jebar-jebur di kamar mandi. Tiba-tiba aku yang lagi nonton tipi di rumah eyangku itu dikejutkan sama teriakan histeris dari kamar mandi. Oom Budi menjerit-jerit dengan tiada karuan, sodara-sodara!
Kontan semua yang ada di ruang tipi jadi kaget. Tanteku langsung ikutan berteriak demi membalas jeritannya Oom Budi. “Kenopo, Bud?! Kenopo, Bud?!” teriak tanteku.
“Coro, Mbak! Coro!!!” jerit Oom Budi sambil tunggang-langgang ngibrit dari kamar mandi cuma dengan bermodalkan handuk untuk menutupi auratnya, diiringi pandangan kami yang cuma bisa menunjukkan keprihatinan dengan cara ngakak sekencang-kencangnya. Kakakakaka!
Itu Oom Budi. Beda orang ya beda selera. Kalo Oom Budi selalu ngibrit tiap liat coro, tidak dengan aku.
Biasanya aku ketemu coro kalo pas lagi aseek tidur-tiduran sambil mbaca-mbaca. Dan biasanya juga, demi melihat makhluk kecil yang sebenarnya nggak punya salah sama aku itu, entah kenapa alter-egoku yang bernama Dark Passanger langsung muncul dengan mendadak. Novel detektif yang lagi kupegang langsung kusambitkan dengan akurasi optimal ke tubuh coro malang tersebut. Jikapun aku sedang tidak membaca novel tapi majalah “Bakwanku” (baca: Kawanku) punya adikku, majalah di tanganku itu segera kugulung untuk kufungsikan sebagai penggebuk. 36 Jurus Tongkat Pemukul Coro segera beraksi. Tidak sampe lewat 1 menit, segala yang berasal dari Allah akan kembali kepada Allah… Coro tak bersalah itu mampus dengan tubuh gepeng.
Kadang-kadang aku heran, kenapa juga aku punya kesentimenan otomatis yang sampe sebegitu brutalnya? Coro itu nggak salah, nggak ngganggu aku… Tapi ya entah kenapa ya, demi melihat beliau berlari-lari di sudut ruangan, aku selalu kepengen membantainya sekejam mungkin? Apa aku salah? Heh, apa aku ini bisa dihakimi bersalah? It’s just me atau di antara kalian ada juga yang punya kecenderungan semacam aku? Karena jika ternyata hal macam begini cuma diderita sama aku sendiri, ini berarti aku harus sesegera mungkin diangkut ke RS Ghrasia di Pakem sana.
Aku jadi makin merasa bersalah sama korban-korbanku itu setelah kemarin mbaca tulisannya Wiwid Tengik Tukang Tipu Gadis-gadis yang tentang humanisme. Dalam skala yang lebih kecil, seperti homo sapiens, coro itu toh sama-sama makhluk Tuhan, kan? Kenapa juga aku sampe tega menghabisi nyawanya cuma gara-gara kesentimenanku yang selalu muncul tanpa bisa kukontrol itu? Apa iya aku ini sama sekali nggak mungkin bisa mengendalikan liarnya emosi alter-egoku?
Tulung jawab, donk… Ada yang punya masalah kejiwaan sepertiku juga nggak? Setidaknya jangan biarkan aku merasa sendirian.
Dan begitu juga kalo aku melihat pasangan penyuka sesama jenis. Entah kenapa aku merasa jijik. Aku menganggap mereka berperilaku menyimpang. Buatku itu hal yang salah yang membuatku pengen menantang berkelahi sekumpulan gay yang kupergoki lagi cium-ciuman pas aku mau ngantri tiket buat nonton mitnait di 21 Plaza Ambarukmo. Padahal mereka nggak ngganggu aku, lho. Mereka aseek sama pasangannya masing-masing. Cuma ya itu tadi… Rasanya emosiku jadi kayak kalo aku ngeliat coro: ini barang perlu dibereskan!
Alhamdulillah sekumpulan-makhluk-menjijikkan-buatku itu ada banyak dan bodi mereka subur-subur. Aku jadi mikir-mikir juga buat mainan 36 Jurus Tongkat Pemukul Homo. Salah-salah aku yang kalah. Salah-salah pula aku bukan cuma mampus, gepeng jadi dendeng gara-gara digebukin mereka. Tapi sebelum mereka memutuskan untung membuang tubuh sekaratku dari atap Plaza Ambarukmo, aku mereka nodai terlebih dahulu. Hiiiii…
Ngeliat bencong juga gitu. Ini malah lebih parah! Emosiku bisa berkali-kali lipat lebih mantap. Salahnya mereka pake nggoda-nggodain dulu sebelum nyodorin plastik buat diisi recehan setelah mereka selesai mempertunjukkan talenta bernyanyi mereka saat aku lagi dinner di pinggir jalan sekitaran Jalan Kaliurang. Hanya karena melihat 1 di antara sekian banyak bencong di Jalan Kaliurang itu ada yang make sepatu bot, kuurungkan niatku buat berlagak macam Satpol PP. Kubayangkan, rasanya lumayan juga kalo sepatu bot kumal itu bersarang di rahangku. Cukupan buat memotivasi teman-temanku supaya besoknya pada membezuk aku di Panti Rapih, Bethesda, atau sesial-sialnya RS Sardjito-lah.
Sama lesbian juga gitu, meskipun ini yang kadarnya paling ringan…
Antum kenal sama Irshad Manji?
Aku, sih, ndak kenal. Cuma sebatas tau aja.
Dan setauku, doi terkenal sebagai aktivis Islam yang humanis. Yang “memberontak” dari standar-standar ajaran Islam ala kaum puritan yang selalu menampilkan wajah keras dan “pokoknya”. Dia mempertanyakan beberapa penafsiran atas dalil-dalil Tuhan dan utusanNya yang dinilainya tidak bersahabat, yang dulu (dan sampai sekarang) juga sering bolak-balik kupertanyakan. Mereka – ah, maksudku kaum puritan itu, terutama yang di Endonesa – akan menyebutnya sebagai antek Jaringan Iblis Liberal, sebuah sebutan yang dulu juga sering dialamatkan secara sepihak kepadaku π
Salah satu pertanyaan kritisnya yang bakal selalu keinget sama aku adalah: jika wanita diwajibkan menjalankan perintah agama dalam usia lebih muda ketimbang lelaki dengan alasan wanita lebih cepat dewasa ketimbang yang satunya, maka kenapa wanita tidak boleh memimpin makhluk-makhluk yang lebih lambat daripadanya itu? Jadi imam sholat, misalnya π
Dan doi menyesalkan jawaban “pokoknya” yang didapatnya dari guru ngajinya. Bukan begitu caranya memberi pencerahan, menurutnya.
(Well, keluhan sama dariku atas jawaban yang juga sama, Mbak )
Aku dulu kagum sama dia. Iya kagum, dan itu dulu. Sampai suatu ketika aku tau kalo dia itu lesbian. Wong doi sendiri yang ngaku. Doi juga bilang, mbok tulung bedakan antara kecenderungan seksualitas dan kecenderungan beragama.
Dan sejak Mbak Irshad ngaku kayak gitu, aku jadi macam ngeliat coro lagi. Aku menganggap ini barang yang nggak beres. Tu quoque hampir bermain di sini. Untung aja aku keburu insap: bukan berarti karena dia itu kuanggap nggak beres, maka apa yang dibilang sama dia otomatis bisa dianggap sama nggak-beresnya juga. Liat bobot omongannya, jangan liat bobot orangnya yang ngomong (buktinya si Bram aja walopun bobotnya besar tetap masih suka salah-salah kalo main gitar, nyahaha). Tapi, apapun itu, respekku ke Mbak Irshad nggak bisa kembali sama kayak sebelum aku tau kalo dia itu lesbian.
Sampe sekarang aku masih membaca tulisan-tulisannya. Hanya saja aku juga harus mengakui kalo aku nggak bisa sehumanis teman-temanku yang lain, yang rajin mengkampanyekan penyetaraan hak, pandangan, dan perlakuan atas mereka yang dianggap menyimpang itu tadi.
Aku masih memakai analogi coro, meskipun kadarnya bisa sedikit kukurangi. Aku masih bisa “membiarkan” mereka selama mereka tidak menggangguku. Tapi yang jelas, novel-novel koleksiku siap untuk kusambitkan atau majalah-majalahku siap untuk kugulung kalo tiba-tiba ada waria atau gay yang mencoba pedekate sama aku.
(Kalo lesbian, sih, beda urusan… Paling-paling aku cuma bisa ngelus dada sambil berujar pelan, “Mbak, lebih enak sama saya. Seenggaknya – zonder alat bantu – kalo sama saya kan nggak cuma bisa dipakai buat gesek-gesek aja…” π )
mungkin keinginanmu yang di paragraf terakhir itu akan terwujud kalo kamu jadi lesbi dulu,joe. operasi ganti kelamin trus pacarin dia…he..he..
terus nanti yang dipake buat masuk2 apa coba? π
aku jg tadinya jijik
cm masalahny di PSM UGM buanyak…
akhirny aku nrimo wae
karepmu lah asal ra nganggu uripku…
asal ga lebay jg sih
Yak saya setuju dengan perkataan Bung Azvin di atas saya ini dan juga saya setuju sama yang ini
“Aku masih memakai analogi coro, meskipun kadarnya bisa sedikit kukurangi. Aku masih bisa βmembiarkanβ mereka selama mereka tidak menggangguku. Tapi yang jelas, novel-novel koleksiku siap untuk kusambitkan atau majalah-majalahku siap untuk kugulung kalo tiba-tiba ada waria atau gay yang mencoba pedekate sama aku.”
Selama ndak mengganggu kenapa kita harus mengganggu. Coba liat gajah di Sumatera sana. Kalau kita ndak ngganggu lahan bermain mereka, saya yakin mereka ndak bakalan iseng kejar-kejaran di ladang penduduk. Kecuali mereka kalap atau kesasar. Nah kalau sudah kalap dan kesasar trus bikin keributan di muka bumi, saya pikir sah-sah saja kalau kita terpaksa mengambil tindakan yang lebih serius.
Itu yang terjadi pada si coro, kalau dia punya maksud dan tujuan jahat padamu maka saya mempersilakan Anda untuk menyambitnya. Tapi kalau doski cuma sekadar lewat untuk mencari jalan pintas ke kamar mandi, apa ya Anda masih tega menyambitnya. Ingat bung, dosa Antum sudah tiada terperi π
Nanti kasian Ucup..
lebih suka punya temen lesbi, trus join bareng.
What can i say?
Saya lebih suka comro, rasanya enak π
percaya gak percaya, kampus saya yang notabene kampus islam, buanyak banget kaum “melambai” nya π
Sampe ada perkumpulannya segala, dan tahun lalu kasus orang meninggal loncat dr jendela gara2 ketauan lagi indehoy sama salah satu mahasiswa(?) melambai itu di asrama
Saya sih ngeliat mereka biasa-biasa aja tuh, indifference aja, malah kayanya unik dan pengen punya temen satu, they say gay is girl’s best friend π
.
PS. saya ketarik gugelrider kok, bukan judul yang “mengundang” π
urung tau disamul bencong keker to kowe jon??
miris rasane jon..arep nggebuk…wedi dewe..asli keker tenan..
bayangno rai koyo Pe*e trus awak koyo az*s.. T_T
azwin:::
hahaha, kita memang cuma bisa pasrah kalo itu adalah tempat kita mencari nafkah π
wi2d:::
ucup saja menolak bertanggung-jawab atas lahirnya mereka ke dunia, jadi mengapa saya harus berbelas-kasihan? π
dongengdenis:::
ya kalo bole gabung? kalo mereka dari jenis yang jijik bercinta dgn pria bagemana?
eh, tapi kalo yg masih ngijinin gabung, berarti mereka bukan lines sejati. mereka biseks
nd:::
sama bakpia? enak mana?
Grace:::
tapi bukan boy’s best friend kan? saya jijik kalo bokong saya diraba2 sama mereka πΏ
kbp:::
sing nganggo sepatu bot wae wis marai miris, apa maning ketambahan berbadan kekar π
Tuhan ‘menikahi’ manusia, manusia selingkuh. Pemerintah menikahi rakyat, si suami bayaran ini nyolongan. Manusia menikahi alam,
merusaknya dan hancur sendiri. Tinggal satu andalan: pernikahan lelaki perempuan dgn harapan sakinah, mawaddah wa rohmah.
Nah kalo pernikahan penyuka sesama jenis harapannya apa ya,..????
eh, ngomong2 coro, saya jadi ingat corobikan. itu enak lho,…
semoga lekas sembuh…
buanglah sampah pada tempatnya!
Konstruksi sosial! π
Aku sih mendukung keberadaan LGBT dan bahkan pernikahan antar mereka
(maklum, libertard), jadi secara umum ok-ok aja sama konsepini, tapi kok kadang aku malah berpikir kalau stigma negatif the so-called bencong dan homoseksual itu sebagian karena mereka sendiri ya. Maksudnya, coba mereka bisa berpenampilan lebih…ya…wangun, ndak norak, istilahe, dll. Maksude ki ya…menempatkan diri dengan baik gitu lah.*ideologi bungkus*
Padune pingin :-“
seperti coro, saya juga ndak bisa menolak keberadaan lgbt di muka bumi ini. cuma saja – kasarannya – jangan sampe mereka nongol di depanku. kalo sampe terjadi, ya saya juga bingung sendiri kenapa sampe punya – dan tiada bisa mengontrol timbulnya – kesentimenan tersendiri kepada mereka. lagi2 seperti coro itu tadi.
dan terakhir, yang waktu kkn ditengarai sebagai homo bukan saya, lho…
jangan2 kamu mendukung karena memang pengen nikah di belanda, djo π si bram dj skrg di KL kok. lumayan deket itu dr tempatmu, nyahahaha…
Ealah crita jaman KKN sih digawa-gawa. π
Itu masa lalu, Joe, sudahlah jangan diungkit-ungkit lagi. :-” *opotoh*
Yang aneh para aktivis HAM dan liberal itu Jo. Homo, lesbi, hubungan seks diluar nikah dibela mati2an. Sedang yang menikah (poligami, siri, di bawah umur) malah pengen dipenjarakan sama mereka : Syech Puji sukses mereka kandangin. Taruhlah ada yang gak pas dengan yang terakhir tapi toh itu masih seturut dengan kodrat penciptaanya : kontol lawan memek. Lha kalo yang pertama itu khan menjijikan : kontol lawan silit, memek lawan pentungan hansip. Kalo gerakan penyimpangan seks ini membesar lha trus kapan metenge. Punahlah spesies manusia. Sebetulnya apa sih maunya para aktivis itu ?
lambrtz:::
untung kamu ketemu aku, djo. sekarang sudah sembuh dan gara2 ketemu aku malah jadi ketularan suka cewek tho? π
Grandong:::
*tidak tau harus membalas bagemana
saya memang nggak sreg sama lgbt. mungkin gara2 waktu kecil kebanyakan ngaji…
tapi khusus teruntuk kasus syekh puji, sayanya juga kepengen mentungin kepalanya, terus narik jenggotnya segala. mungkin juga gara2 dianya juga sempat arogan ya waktu mau ditangkap kemarin? pamer kekuatan dan kekayaan gitu…
eh, ini pentungannya dalam makna denotasi atau konotasi?
paling tidak, saia bisa maen gitar pake kunci palang jon… ahahahay…
Untuk kasus Syech Puji. Podho mbek aku Joe. Aku yo eneg nonton dek e pethenthengan rumangsa paling sugih sak ngalam ndonya. Tapi hal itu tidak membuat saya lantas menyalahkan apapun yang dia lakukan. Perkara nikah dia dengan perkara kemaki-nya dia adalah dua hal yang berbeda.Kon luwih paham masalah iki. Kon lak profesor falacy. Janganlah karena kebencianmu kepada suatu kaum membuat kamu berlaku tidak adil dst… Surat opo ayat piro mbuh aku lali.
Balik ke Syech Puji. Dia suka cewek. Dia lamar baik2 ke orang tuanya. Orang tuanya boleh. Anaknya mau. Dia nikahi dengan memenuhi rukun2 nikah (wali, saksi dsb).Setelah jadi istri ia pergauli dengan baik2. Ia nafkahi dengan cukup-cukup. Ia muliakan mertuanya. Salahe neng ngendi Joe ?
Kalau memang para aktivis itu konsisten memenjarakan siapapun yang menikahi wanita di bawah 18 tahun, berapa trilyun lagi pemerintah harus membangun penjara karena akan ada berjuta-juta laki-laki dari pelosok kampung di Jawa, Papua, orang2 Badui yang masuk penjara. Nikah umur 15, 16, 17 di kampung saya biasa Om. Tapi sepertinya para aktivis itu memilih melecehkan dirinya sendiri : MEMILIH UNTUK TIDAK KONSISTEN ; penjarakan Syech Puji saja, tidak yang lain.
Pertanyaannya lagi nikah itu melibatkan dua pihak laki-laki dan perempuan. Argumen apa yang dipakai sehingga yang dipenjarakan hanya LAKI-LAKInya ? Ini persis yang disampaikan oleh aktivis feminis tempo hari saat dengan semangat 45 ingin memenjarakan pelaku nikah siri. Dia bilang yang dipenjara laki-lakinya saja. Wanitanya jangan. He..he.. lucu juga kalo Dewi Persik yang nikah siri lagi dan lagi. Dan tiap kali nikah suaminya dipenjara. Sementara Dewi Persiknya berhaha…hihi..melanjutkan petualangan.
CLOSING SPEECH : Coba ajukan RUU untuk mengkriminalisasi pelacuran dan persetubuhan di luar pernikahan. Yakinlah penentang terkerasnya adalah orang-orang yang sama yang bernafsu memenjarakan para pelaku nikah itu. Yakin itu Jo !
Sori Jo nek pidatone gedawan !
Coro itu soalnya gesit. Kalau pelan kan masih bisa dipungut kemudian dilepaskan ke kebun atau apa. Ini menangkapnya saja susah betul. Dan membahayakan, makanya mesti dilenyapkan dengan RoketKoranβ’. π
Saya pun juga samalah. Prinsip mendukung, tapi kalau dihadapkan di dunia nyata kok agak risih. Ndak taulah. Mungkin kitanya yang mesti membiasakan diri? Reaksi sehatlah itu.
yang punya bramantyo.com:::
tapi kowe telat le manggung π
Grandong:::
ah, ya. saya paham maksudnya. cuma juga, jangan mentang-mentang para aktivis itu dinilai tiada konsisten – untuk si puji, kalo buat saya – bukan berarti nikah di bawah umur bakal saya relakan. saya tetap ndak setuju dengan nikah model begitu. anak umur segitu pada umumnya bisa membuat keputusan model apa, sih? wong yang dinilai lebih dewasa dan lebih bisa mikir aja kadang2 masih suka berpikir pendek, kok.
ndak satu, ndak semuanya, kalo menurut saya, hohoho
Pak Guru:::
setidaknya saya tidaklah sendirian
Cah gendeng.. sempat2e nulis2 ngene’an.. Eniwe, homo kuwi nular nda siy? Soale mantanku, saiki sekamar karo gay.. hohoho.. kiro2 mantanku akan terjerumus nda siy? lek iyo, rasae aku bakal siap2 majalah n novel pisan deh.. ^^
bisa jadi. homo kan masalah selera. dulu saya juga jadi pendukung setianya gelora dewata gara2 dicekokin terus sama oom saya. diajak nonton di ngurah rai terus tiap gelora main.
jadi berhati2lah π
you’ll never walk alone…
saya juga sentimentil pada gay dan bencong, tapi entah pada lesbian ga ada rasa sentimen
dari survey tidak bertanggungjawab ala saya, saya mendapatkan patron kalo biasanya – manusia yang bisa kita sebut normal kecenderungan seksualnya – yang mendukung hak-hak waria adalah kaum wanita. boleh jadi karena mereka merasa tidak terancam dengan adanya waria dan juga gay, karena wanita tidak bakal digerayangi sama mereka.
sedangkan kita justru khawatir karena kemungkinan besar – sebagai pria, apalagi yang seganteng saya – kitalah yang bakal jadi korban para banci dan gay yang sedang birahi dan gelap mata tapi belum nemu pelampiasan.
makanya pula, bisa jadi ini adalah alasan para cowok, kenapa kita nggak sentimen sama lesbian. keberadaan kelamin kita tidak terancam oleh mereka. paling2 cuma ngelus dada karena melihat ada sesuatu yang mubazir buat kita π
eh, btw, ini cuma pendapat saya lho π
wah.. aku ya jijikan sama kecoak.. benci sekali sama coro.. klo ada coro ya aku bisa histeris seperti om mu joe.
namun, jika aku melihat kecoa, dan histeris, aku langsung mencari semprotan, dan membunuh kecoa itu dengan semprotan.. dan tidak mungkin meneplok mereka dengan buku…
rata-rata pria normal yg suka wanita itu tidak suka memang terhadap bencong.. dan gay.. apalagi jika mereka mempunyai aura yang kuat untuk di taksir gay.. seperti muka tampan, badan tinggi dan jadi.. lengkap lah… hahaha
Kok aku melihatnya semacam jadi phobia: Homophobia?. Argumen yang sama bisa dilontarkan oleh Islamophobia