Bekas kampusku terkenal dengan cowoknya yang butut-butut. Dalam artian, cuma cowok bututlah yang – entah kenapa – bisa eksis dan aktif dalam kegiatan organisasi mahasiswa di kampus. Seumur-umur nongkrong di kampus, aku jarang banget ngeliat cowok tiada butut yang bisa eksis di Himakom UGM. Yah, 1-2 memang ada. Tapi entah kenapa oknum yang cuma segelintir itu biasanya cuma kebagian peran sebagai bolo dhapuk; pelengkap, penggembira, pemanis pemandangan sahaja. Sama sekali nggak pernah ada yang bisa mencatatkan dirinya untuk masuk di jajaran avant-garde-nya Himakom, dan masa depan mereka untuk bisa ngetop bin diakrabi lintas generasi pun sangatlah suram. Paling banter cuma bisa dikenal sama adik kelas yang angkatannya 1 tahun di bawahnya. Sumpah!
Tapi tentu saja aku adalah anomali untuk hal itu. Kalau memang nggak ada manusia ngganteng yang bisa jadi legenda di kampus, aku adalah pengecualiannya. Dari 1 toilet ke toilet lainnya bisa dipastikan ada coretan namaku yang menunjukkan eksistensiku, bahkan sekalipun jika itu adalah toilet putri!
Cuma saja yang namanya ngetop itu pastilah beresiko. Misalnya aja kemarin ini waktu adik-adik kelasku ngadain seminar tentang bisnis online, yang mana merupakan rangkaian acara Joints, agenda tahunannya Himakom. Saking susahnya nyari mahasiswa aktif yang bisa ngomong di depan publik plus berparas menarik, akhirnya aku juga yang ketiban peran sebagai moderator di acara itu. Mau mendapuk Septo atau Gentho rasanya kurang proporsional. Tampang mereka kurang menunjang. Gentho, misalnya. Walaupun doi rajin kebanjiran order ngemsi acara pensi dari sekolah ke sekolah, tapi tentunya sama saja dengan mempertaruhkan reputasi kampus kalo harus memasang beliau di acara seminar yang formal dengan level nasional macam gitu. Dan apa boleh buat… Seorang alumnus akhirnya harus membuktikan baktinya kepada almamaternya tanpa bayaran.
Maka hari Sabtu yang (tidak terlalu) cerah kemarin ini, pagi-pagi aku sudah menyeterika kemeja batikku untuk kemudian dilanjutkan dengan jebar-jebur di kamar mandi. Setelah selesai berdandan alakadarnya (tidak perlu terlalu serius, toh pada dasarnya aku ini memang ngganteng), aku langsung menuju gedung Magister Akuntansi-nya UGM untuk mendapati sang pembicara sesi pertama, Mas Andrias Ekoyuono, GM Marketing-nya Detik.com, ternyata datang lebih pagi dari aku. Kami sempat ngobrol sebentar-2 bentar sebelum acara dimulai pada jam setengah 10.
Jam setengah 10 acara dimulai. Setelah melalui sederetan sambutan – dari Ketua Joints dan Wakil Dekan FMIPA UGM – akhirnya tiba juga giliranku nampang. Aku ngenalin pembicaranya ke peserta untuk kemudian ditinggal ngomong sama Mas Andrias. Praktis selama Mas Andrias ngasih materinya ke peserta aku cuma duduk tenguk-tenguk sendirian sambil dolanan laptop. Barulah pas sesi tanya-jawab Mas Andrias duduk di sampingku.
Sesi tanya-jawab ini ta’gabung sekalian sama pembagian doorprize buat peserta yang nanya. Berhubung pake doorprize, jelas rasanya nggak seru kalo pesertanya ndak ta’gangguin. Makanya aku bilang, siapa yang mau bertanya silakan tunjuk jari, dan fatal akibatnya! Kata Ibo, adik kelasku yang jadi panitianya, ada 1 peserta – cewek berjilbab lebar – yang mutung kemudian memutuskan walk-out dari ruang seminar gara-gara nggak bisa tunjuk jari!
Jadi ceritanya, si mbak-mbak itu selalu antusias mengacungkan tangannya setiap aku bilang, “Siapa yang mau bertanya silakan tunjuk jari.” Cuma saja, aku, kan, sudah bilang, silakan “tunjuk jari”, dan bukan “mengacungkan tangan”. Otomatis aku cuma ngasih kesempatan bertanya buat yang bener-bener tunjuk jari sambil tidak mempedulikan si mbak itu ataupun peserta lain yang mengacungkan tangan dengan sigapnya.
Akhirnya, sampai jatah doorprize sesi pertama itu habis, barulah aku bilang, “Tunjuk jari itu gini, lho…”
Ealah… Menurut cerita Ibo, si mbak yang malang itu sontak nggerundel. “Apa-apaan, sih, pake tunjuk jari segala! Astaghfirullah…” sungut si mbak itu sambil membereskan barangnya, seperti yang dituturkan kembali sama Ibo.
Hahaha, pas jeda sesi, aku kontan disukur-sukurin sama anak-anak sambil mereka pada ketawa-ketawa. “Moderator laknat,” kata Landhes. Yeah, apa boleh buat… Aku, sih, cuma heran aja, kok ya si mbak itu selera humornya rendah sekali, tho? Pake bawa-bawa nama Tuhan segala cuma buat menyunguti aku, coba πΏ
Tapi secara umum sesi pertama berjalan lancar. Mas Andrias membawakan materinya dengan menarik sekali (tidak heran, beliau toh lulus kuliah S-1 dari tempat yang sama persis denganku π ). Kata Mas Andrias, kalau mau terjun ke e-commerce, jangan terlalu dipusingkan dulu dengan hal teknis semacam coding untuk bikin website dan sebagainya. Mulai saja dari layanan gratis yang bisa dimanfaatkan sama orang awam untuk awalnya. Barulah setelah itu disempurnakan terus-menerus. Nggak ada bisnis yang bisa langsung eksklusif ketika dimulai. Detik.com atau bahkan Amazon.com pun tidak seperti sekarang ini ketika awal berdirinya. Mas Andrias malah fokus memberikan tips-tips yang lebih mengarah ke aktivitas sosial di Internet jika kita kepengen bisnis kita di dunia maya didatangi sama banyak konsumen. Masalah teknis, kata Mas Andrias, “Nanti bisa minta tolong sama Mas Joe, kok,” yang langsung kusambut dengan cengar-cengir najis.
Selesai sesi pertama, aku istirahat, makan dan ngerokok.
Jam 1 siang sesi kedua dimulai. Kali ini pematerinya Mas Ridwan Sanjaya, dosen sekaligus penulis buku-buku yang biasanya bertema bagaimana mengeksiskan diri di Internet. Beliau ngobrolin tentang bagaimana memanfaatkan layanan jejaring sosial – dengan Fesbuk sebagai studi kasusnya – untuk mempromosikan bisnis online kita (lagi-lagi aku ditinggal duduk tenguk-tenguk dolanan laptop sendirian). Gara-gara memang Fesbuk-lah jejaring sosial yang paling mumpuni untuk saat ini, Mas Ridwan mengupas Fesbuk habis-habisan. Menarik atau tidaknya, itu relatif. Sehubungan dengan skripsiku dulu yang tentang SEO dan pemasaran online, materi dari Mas Ridwan malah bikin aku terkenang-kenang sama literatur yang dulu kuobrak-abrik buat nyusun skripsi.
Yang menarik buatku dari sesi kedua ini justru datang pas sesi tanya-jawab. Ada peserta yang mempersoalkan Fesbuk yang difatwa haram sama MUI Jawa Timur. Untung saja Mas Ridwan bisa menjawab dengan diplomatis. “Saya pastikan tadi pagi di koran, Fesbuk memang sudah difatwa haram. Tapi…ada tapinya. Fesbuk diharamkan kalau digunakan untuk mencari jodoh atau nggosip. Jadi yang haram bukan fesbuknya, tapi aktivitasnya,” kata Mas Ridwan.
Aku sendiri juga heran sama MUI Jatim itu. Bikin fatwa kok ya mengada-ada. Kalo memang mau mengharamkan aktivitasnya mbok ya nggak usah nyebut-nyebut nama aplikasinya. Kesannya malah macam cari sensasi dan nunut ngetop sahaja. Maka tentu saja jawaban dari Mas Ridwan aku tambahi. Aku balik nanya ke si penanya, “Masnya orang Jawa Timur, Mas?”
“Bukan. Saya aslinya dari Jawa tengah, kok.”
“Oh, jangan kuatir kalo gitu. MUI Jawa Tengah sama Jokja ndak mengharamkan, kok. Saya malah kenal langsung sama putri kandungnya Ketua MUI Jokja. Dia kerjaannya juga dolanan Fesbuk. Masalah halal-haram juga… Itu temen-temen saya yang di samping,” kataku sambil menunjuk begundal-begundal Himakom, “haram kalo enak ya diterusin jadi haramdulillah.”
Habis acara aku dapet komentar dari 1 panitia yang temennya kebetulan ikutan seminar. Kata temennya itu, moderatornya gila. Yaaa…gimana ya… Pas sesi kedua aku juga ngerasa komentar-komentarku mulai ngasal gara-gara seksi konsumsinya kelupaan nyodorin jatah snack plus air mineral ke mejaku. Aseeknya, Mas Ridwan ndak taunya bisa nyambung dan nanggepin omongan ngawurku.
1 hal lagi yang menarik dari keseluruhan acara seminar itu, dari info yang didapat dari Ketua Himakom ternyata ada seorang peserta seminar yang profesinya adalah loper koran. Si bapak itu memang kelihatan lusuh kalo dibandingin peserta seminar lainnya. Heran juga, padahal tiket seminar ini lumayan mahal, lho. Selembarnya dipatok 50 ribu rupiah buat peserta dari kalangan umum, dan 35 ribu rupiah buat pelajar dan mahasiswa. Tapi si bapak itu tetap semangat buat hadir dan mengikuti seminar sampai selesai sambil tetap membawa koran-koran dagangannya ke dalam ruangan. Mbak-mbak yang nggak bisa tunjuk jari itu seharusnya malu π
Dan tentu saja, tanpa bisa disangkal, kemeriahan acara kemarin yang dicap sama anak-anak angkatan tua sebagai Joints terkocak itu, salah satunya karena moderatornya tampan dan ngawur!
mas joe !!! terrrbaik kau !!! kekeke,,, joins terkonyol,,,hehehe,,, ending yg bagus buat rangkaian joints 2009.hehehe,,, aku bercita cita jadi pembicara ah,,,enaknya aku ngapain ya biar tenar ??? trus pd minta aku jd pembicara???hohow,,,
woooo….LAKNAT!!!
itu sudah ku tag korbanmu di album fesbukku
hanna:::
apa ada yang lebih dahsyat dari aku di kampus? hahayyy…
Landhes:::
saya tiada laknat, ndes, mbak’e aja yang emosian dan kayaknya belum pernah punya pacar ngganteng dengan selera humor yang tinggi π
mosok ra di bayar? ra popo, sing penting entuk mangan….wahahha
hloooo…. aku kemaren batal ikut seminar ini (padahal pengen), gara2 telat tau infonya
*harusnya aku bisa liat yg namanya moderator laknat to ya?* hiks…
-nangis di pojokan-
Salah besar…pengedhe2 Himakom dulu malah banyak yang lulus cepet. Aku 4 tahun, mas Riza 3.5 tahun, Mbak Wulan 3.5 tahun, Mbak Dilla 4 tahun…uwis luwih seko 2 ki John. Cuma gara2 virus Satrianto merebak di Himakom akhirnya kualitasnya rada down grade…kekekekekek…
farid yuniar:::
apa boleh buat, rid. nama saja melaksanakan darma bakti
tukang ngomel:::
moderator tampan, maksudnya? π
faizal makhrus:::
salah besar opone, zal? kapan aku membahas hal sing mbok tulis? π wooo… ra nyambung kowe
ya nanti saya bawa virus lulus tepat waktu lagi di Himakom, doakan saya gan, hehe..