Temenku dari jaman esempe, Ngurah Bikul, pernah berteori. Katanya, selain kampung halamannya, orang biasanya bakal betah sama tempat di mana dia menghabiskan masa remajanya. Maka walaupun belum di-peer review, teori van Bikul tersebut akhirnya menjawab keherananku, kenapa kok ada orang yang bukan asli Jakarta tapi betah sama Jakarta. Rupa-rupanya itu sama saja dengan betahku sama Jokja; mereka berdua adalah mantan pacar yang tidak bisa dilupakan oleh masing-masing kami.
Tapi ada juga manusia yang kadar delusinya akut, menganggap mantan pacarnya masihlah pacarnya yang memang seharusnya seperti itu. Saking memang-seharusnya-seperti-itulah akhirnya semuanya malah jadi biasa-biasa aja, seperti kalo sampeyan sudah jalan lebih dari 2 tahun sama pacar sampeyan. Hari-hari rasanya ya biasa-biasa belaka. Tapi kalo kemudian bubar rasanya bingung, gamang, ada yang hilang. Semprul!
Kemarin, di warung burjo dekat Terminal Condongcatur, Septri curhat sama aku. Katanya, yang tentu saja dialog aslinya berlangsung dalam bahasa Jawa, “Aku dari kemarin pengen balik ke sini (Jokja, -red.), Mas. Tapi begitu sudah sampai sini, kok, ya rasanya biasa-biasa aja ya?”
“Hmm…” responku manggut-manggut.
“Tadinya aku pengen ngerasain semacam wiiih…aku sudah di Jokja lagi. Tapi begitu nyampai sini, ternyata ya biasa aja. Ora ana sensasine babar blas,” lanjut staf IT Kebun Binatang Ragunan tersebut.
Kuserot es tehku. Sroooot. “Mungkin karena memang seharusnya seperti ini, Sep.”
He’eh, mungkin memang seharusnya seperti itu. Mungkin buat kami berdua Jokja adalah tempat di mana seharusnya kehidupan sehari-hari itu berjalan. Bangun tidur, makan, mroyek, pacaran, nongkrong, sampai tidur lagi, ya seharusnya memang begitulah hari-hari kami di Jokja. Makanya aku sendiri, kadang, begitu nyampai Jakarta lagi, kalau ditanya ngapain kemarin ke Jokja, ya isi ceritaku ya nggak ada yang spesial. Kalau memang lagi hujan kayak kemarinan ini, aku bisa cuma nongkrong di rumah kontrakan yang kalo aku lagi di Jakarta otomatis nggak ada penghuninya, gitaran, baca-baca buku-buku lamaku, nyapa tetangga yang lewat, pokoknya kegiatan yang biasa-biasa aja. Nggak ada pikiran macam wisatawan, kalo sudah sampai Jokja harus begini, kudu jalan-jalan ke sana, wajib nyobain itu.
Mungkin ini kayak jaman aku sekolah dulu. Pas masih jam sekolah rasanya kepengen cepet pulang. Cuma begitu bel bubaran sudah kelontangan, ya sudah seharusnya aku pulang ke rumah. Nyampai rumah ya biasa-biasa aja. Makan, tidur siang, sorenya ke Lapangan Renon buat main bola sampai maghrib. Nggak ada yang istimewa dengan pulang ke rumah setelah bubaran sekolah.
Jadinya ya nggak heran juga kalau ada manusia yang kadang-kadang ngirim pesan “hari ini kamu makan siang jatah kantor atau mau makan di luar?” ke hape mantan pacarnya alih-alih “hai, apa kabar?”
Namanya juga pacaran, ngapain pula basa-basi nanyain kabar macam orang pendekatan, kan?
Ah, delusi 🙂
iya ik… pas dua tahun lalu hijrah kupikir kembali ke jogja akan penuh dengan perasaan sentimentil seolah “walking down the memory lanes”. jebul tiap ke jogja ya tangi turu golek mie dokdok ke burjo biasa atau gudeg pinggir dalan, siang tura turu atau nyari rujak eskrim pinggir jalan dan malemnya mburjo meneh
bah! apalah itu “walking down the memory lanes”
Mungkin kamu harus ke Bandar Lampung. :p
nunggu Kimi nikahan nanti dia ke bandar lampung lagi…
hahaha, dasar anak muda
Kimi:::
buat apa?
taulah ini siapa…:::
Kimi mau nikah sama siapa, sih?
fachry hudaya:::
betul. ini romantika usang yang tidak dihabis-pikiri sama anak tua