Mumpung minggu-minggu ini lagi musim detektif-detektifan gara-gara filmnya Sherlock Holmes, maka mari kita sedikit menengok detektif-detektif lainnya yang kebanyakan bertebaran di Amerika. Mari kita berkenalan dengan Dexter Morgan, detektif forensik spesialis percikan darah yang membanting-tulang di Miami Metro Police Department, yang walaupun namanya ada unsur Morgan-nya, beliau bukanlah acuanku buat nickname Y!M-ku yang morgan_cupids itu. Nickname Y!M-ku itu asli karangannya Mitha. Mitha Ratna Pratiwi, lebih tepatnya. Pacar pertamaku jaman dulu yang…yeah, namanya aja abege, apa-apa maunya barengan, termasuk dalam hal akun Yahoo! π
Akun itu akhirnya nggak kepake sama dia begitu kami balik-kanan-bubar-jalan. Cuma saja berhubung aku ini anti ngeliat barang mubazir, ya sudahlah akun itu kuberdayakan saja.
Nah, berhubung akun itu sekarang sudah nggak dipake sama Mitha, ya sudah, kita stop pembahasan seputar beliau. Kita balik lagi kenalan sama Dexter Morgan sahaja.
Jadi seperti yang kubilang di atas, Dexter ini detektif. Dexter ini ada serial tipinya (yang filmnya rajin didonlot sama Gentho), juga ada bukunya. Tapi ya berhubung aku sendiri lebih suka mbaca ketimbang nonton, sampai sekarang aku cuma menikmati Dexter via bukunya yang dikarang-karang sama Jeff Lindsay.
Ceritanya ya itu tadi, tentang detektif-detektifan. Lebih khususnya lagi, namanya aja detektif forensik, ya si Dexter ini punya spesialisasi nanganin kasus yang berhubungan sama pembunuhan (sedikit mirip sama komik “Detektif Kindaichi”, yang kasusnya juga pembunuhan melulu).
Cuma, jangan berharap kalo cerita detektif yang 1 ini bakal kayak Sherlock Holmes atau Hercule Poirot. Jangan berharap kalo Dexter bakal menunjukkan aksi eksploitasi otaknya dalam rangka menyusun hipotesa macam 2 detektif terbaik di dunia versiku di atas itu. Kisahnya Dexter lebih banyak ke drama kontradiksi kehidupannya sendiri ketimbang usahanya dalam memecahkan teka-teki pada kasus yang ditanganinya. Maka nggak heran kalo – nanti habis mbaca – sampeyan sekalian bakal mendapatkan kesan kalo otaknya Dexter ini nggak secemerlang Sherlock atau Hercule. Daya tarik ceritanya Dexter memang bukan di situ, soale.
Daya tariknya Dexter adalah kontradiksi hidupnya. Kenapa kontra? Karena, eh, karena ternyata walaupun statusnya adalah detektif yang menangani urusan bunuh-bunuhan, Dexter nggak taunya punya alter ego yang berjudul Dark Passenger yang berprofesi sebagai pembunuh berantai. Malah kalo menurut Gentho, yang jadi identitas asli sang detektif ini adalah Dark Passenger itu sendiri, sedangkan justru Dexter Morgan-lah alter-egonya.
Tapi walaupun pembunuh, Dexter punya aturan. Berkat bimbingan bapak tirinya yang sadar kelainan Dexter sejak kecil, Dexter dibimbing untuk jadi seorang pembunuh yang punya citarasa dan taste tersendiri: Dexter cuma membunuh orang yang dinilai patut untuk dibunuh atas nama keadilan, orang-orang yang sudah menghabisi nyawa orang lain lebih dahulu. Dan, Dexter amat-sangat menikmati proses melenyapkan nyawa korbannya itu. Kegairahan Dexter digambarkan sama Jeff Lindsay dengan sangat jelas. Malah setelah melakukan pembunuhan yang menurutnya selalu dilakukan dengan artistik, percikan darah sang korban selalu dibawa pulang dan ditata rapi di 1 ruangan di rumahnya dan diperlakukan macam sebuah koleksi berharga.
Keren, kan?
Iya, donk, keren, donk. Rasanya lumayan juga mengikuti kehidupan orang yang tidak manusiawi dan selalu berpura-pura manusiawi. Dexter ini nyaris nggak punya emosi. Kalo dia tertawa, dia cuma pura-pura tertawa. Kalo dia sedang sedih atau bersimpati sama orang lain, itupun dilakukannya tidak lebih sebagai sebuah akting supaya orang lain ngirain kalo dia itu juga manusia normal.
Nha… Di cerita Dexter yang aku beli novelnya ini, ceritanya tentang Dexter yang sedang berusaha membongkar peristiwa pembunuhan yang dilakukan sama Dokter Danco. Dokter Danco ini selalu membunuh korbannya dengan melakukan mutilasi terlebih dahulu. Kebalik sama kejadian di dunia nyata yang sering terjadi, di mana biasanya korban selalu dibunuh duluan baru dimutilasi, kan?
Jadinya korban Dokter Danco ini macam diamputasi dulu organ-organ tubuhnya sebelum dibunuh. Yang diamputasi bisa mulai dari hidung, telinga, bibir, tangan, atau kaki. Semuanya terserah Dokter Danco. Terserah Dokter Danco menganggap korbannya layak diamputasi bagian mananya terlebih dahulu.
Kasus inilah yang lagi diselidiki sama Dexter barengan sama adik tirinya yang juga polisi, yang berjenis kelamin wanita, yang punya nama Deborah alias Debby. Betewe, Debby ini tentu saja tau tentang kelainan kepribadian Dexter. Tapi dia nggak mempermasalahkan, wong kelainan Dexter ini toh justru berguna untuk mengungkap kasus-kasus dengan cara mencoba memahami jalan pikiran seorang pembunuh, kok.
Kampretnya, sewaktu nyoba mecahin kasus Dokter Danco ini, Dexter malah lagi diikuti sama polisi lain yang bermerek Sersan Doakes. Keliatannya Doakes ini lagi curiga sama kelainan kepribadiannya Dexter. Tiap hari Dexter dikuntit sampai-sampai Dexter kesal nggak bisa melampiaskan hobi membunuhnya saban malam Jumat Kliwon (yang ini aku ngarang-ngarang aja. Kesannya biar terdengar makin mistis sahaja, kok). Dan dalam perkembangan kasus yang ditanganinya, Dexter akhirnya malah disuruh sama atasannya buat berduet sama Doakes. Ujung-ujungnya, Doakes semprul ini ternyata malah punya hubungan sama Dokter Danco. Celaka! Celaka duabelas koma tujuh…
Maka kesimpulannya: aku jadi kepengen beli novel Dexter edisi yang berikutnya. Ternyata cerita detektif yang menarik tidak harus selalu mengekspos kedahsyatan alur logika dari yang bersangkutan. Cerita detektif bisa menarik karena kepribadian sang detektif itu sendiri juga. Lagipula novel ini toh masih termasuk kategori novel detektif, meskipun eksploitasi otaknya tidak seseru Holmes dan Poirot. Jadi aku tidak harus terkesan mengkhianati hobi rutinku yang saban bulan selalu menyempatkan diri buat beli novel detektif dan komik silat kalo ternyata aku nanti juga jadi rutin beli novel karangannya Jeff Lindsay ini. Hore!
ooh artikel ini toh
kaya’e beda banget ama sinetronnya ya?
ernesto:::
betul…
gingsul:::
menolak untuk menjawab. saya belum pernah nonton sinetronnya soale π
“kenapa kontra?” doang? “kenapa diksi?” nda dibahas? morgan_stupids? kenapa nda dibahas? kenapa? ha tapi? ha nanti? ha tapi.. ha nanti.. π
*betewe : itu hardis si gento sudah beres, sudah sehat walafiat, you sudah bisa kopi filemnya lagi
diksinya, kalo saya ndak protes, itu berarti novelnya fine2 saja buat dibaca π
ada yang salah jon..
si dexter ini bukan anak tiri melainkan anak angkat.
si bapak menemukan dia bergelimangan darah bersama saudara lelakinya di sebuah kontainer yang kemudian mengadopsinya..
di novelnya sih anak tiri, tho
novelnya goblok…
anak selingkuhannya kaleee….
wib:::
filme sing mblawur, tho
kaka:::
selingkuhannya sapa? ini ga lagi ngomongin infotainment, kok π
haha…bener…bener…aq search google ‘dexter morgan’ dan blog ini salah satunyayg muncul dilist,msh tayang koq skarang dexter di FOXCrime, seruuuuuuu….mang ada novel nya yaa?? baru tau…he3
ada kok. udah terbit 3 biji. tapi ya itu…kata anak2, novel sama serial tipinya agak beda
oh…
inisial MPR itu yang katanya mas Joe dulu adalah senior saya di ITS? Teknik Lingkungan?
lebih tepatnya mrp. iya, teknik lingkungan, hahayyy
Dexter Novella versi aslinya baru ada 5 buku, versi terjemahannya baru saja saya ketahui ternyata sudah ada, sayangnya sedikit informasi yang saya dapat menegenai novel terjemahannya, khususnya Judul dari serial novel ini, karena judulnya ternyata diterjemahkan juga dan sangat berbeda dengan maksud judul aslinya. Berhubung Satrianto sudah membaca novel terjemahannya, tolong dibantu dengan list buku pertama dan selanjutnya dari seri terjemahan dexter, terimakasih
Terjemahan Novel Dexter yang saya temui baru dua. Yaitu Dexter: Si Charming Pembunuh Berantai (terjemahan dari Darkly Dreaming Dexter) dan Dexter in the Dark: Misteri Kepala Banteng dan Rahasia Ritual Kuno (terjemahan dari Dexter in The Dark). Keduanya diterbitkan oleh Dastan Books.