Dolly yang Bukan Temanku

Di udik dulu aku pernah punya teman, teman sepermainan. Namanya Dolly. Tapi walaupun namanya “Dolly”, sungguh mati, anak ini jenis kelaminnya cowok. Apa boleh buat…waktu itu aku ini masih jadi pria pemalu. Aku jarang main cewek, aeh…main sama cewek, soalnya aku takut diejek-ejek, “Pacaran…pacaran…” Maka oleh sebab itulah teman mainku jaman esde sampai esempe itu kebanyakan berjenis kelamin cowok. Dolly ini adalah salah satunya.

Dolly ini rumahnya cuma beda gang sama rumahku. Tapi ini bukan cerita tentang Dolly yang temanku itu.

Dolly ini aslinya nggak pernah 1 sekolahan sama aku. Tapi ini (masih) bukan cerita tentang Dolly yang temanku itu.

Dolly ini anak tunggal, jadinya waktu itu dia agak susah kalau mau diajak nongkrong lama-lama. Tapi (lagi-lagi) ini bukan cerita tentang Dolly yang temanku itu.

Ini cerita tentang Dolly yang bukan temanku. Ini cerita tentang Dolly yang tempat prostitusi di Surabaya. Dolly yang katanya ditutup itu, lho…

Kenapa memangnya sama Dolly?

Ya itu tadi, kan sudah ta’bilang kalo Dolly ditutup.

Kenapa memangnya sama Dolly kalo ditutup?

Gini, tadi pagi pas sarapan aku ngobrol sama Fanny. Fanny itu temen kantorku. Dia cowok. Entah kenapa cowok, kok, namanya “Fanny”, ya mungkin itu karena orangtuanya punya alasan yang sama kayak orangtuanya Dolly kenapa ngasih nama “Dolly” ke anaknya. Tapi itu cuma tebakan ngawurku, sih. Asli seasli-aslinya aku nggak pernah nanya sama Fanny kenapa dia dikasih nama “Fanny”. Soalnya aku sungkan kalo misalnya dia nanti balik nanya ke aku, kenapa aku dikasih nama “Anindito”? Aku takut kalo njawab beneran nanti malah dikirain sombong. Soalnya “anindito” itu, kan, artinya “tanpa cela” (tolong jangan tambahkan “na”, sodara-sodara!), duhai rekan-rekan pembaca yang terhormat sekalian.

Dan sebelum kita kembali ke Fanny, aku malah jadi iseng pengen nanya, yang punya nama seperti namaku dan tahu persis arti namanya itu ada berapa orang, sih? Berat, lho, punya nama kayak namaku itu. Kata temenku yang penganut kejawen, barangnya siapa yang punya nama kayak namaku itu sebaiknya ikut ruwatan dulu kalo ndak mau hidupnya nanti ngebelangsak nasibnya 😈

Oke, berhubung aku sudah selesai iseng, mari kita kembali Fanny. Tadi pagi Fanny tau-tau nanya ke aku, “Mas Ditto, setuju nggak Dolly ditutup?”

Kujawab, tentu tidak, yang kemudian langsung disambung sama dia dengan sedikit kaget, “Lho, kenapa, Mas? Karena Mas Ditto pelanggannya ya?”

Gembel betul si Fanny ini! Sekata-kata dia menuduhku sebagai pelanggan Dolly. Enak aja! Apa tampangku cuma sebegitu levelnya? Yang mahalan dikitlah kalo nuduh itu. Yang berkelas dikit, dong, boy.

Jadi daripada kesalah-pahaman semakin bertambah parah, selain kubilang kalo levelku jelas yang lebih elegan dikit ketimbang Dolly, kusampaikan pula kalo aku justru malah khawatir ketika Dolly beneran ditutup.

Khawatir kenapa?

Ya khawatir kalo tidak terorganisir maka pelacur-pelacur di Dolly itu justru malah menyebar. Dolly itu buatku justru filter. Dolly itu – kasarnya – buatku seperti selokan, yang bertugas mengalirkan air kotor supaya kita tetap bisa hidup menikmati air bersih. Lha kalo Dolly ditutup, piye? Mau kayak ceritanya si Pepe yang auditor dari BPK itu sewaktu dia survei lokasi KKN ke Bandungan pas masih mahasiswa?

Jadi waktu itu ceritanya si Pepe dan gengnya kepengen survei lokasi KKN untuk proyek KKN tematiknya kampusku. Dasarnya anak polos, doi manggut-manggut aja waktu ada yang usul supaya njajal KKN di Bandungan aja. Dan malang tak kena ditolak, si Pepe dapat tugas survei lokasi, menemui pimpinan daerah setempat, sekaligus mempresentasikan proyek-proyek KKN apa saja yang ditawarkan untuk tempat itu yang salah satunya adalah perbaikan infrastruktur gang di kampung-kampung.

Dan komentar dari Pak Dukuh waktu itu cukup bikin Pepe pengen ngelus dada (dada temen KKN-nya yang wanita, tentu saja). Pak Dukuh bilang, “Wah, kalau jalan berlubang di sini, sih, ndak ada, Mas. Kalau lubang berjalan baru banyak.”

Tentu saja begitu balik ke Jokja si Pepe misuh-misuh. Jawaban kampret ala Pak Dukuh langsung saja jadi bahan cerita saban dia ketemu sama makhluk yang belum mendengar cerita langsung darinya.

Begitulah. Situ mau pelacur-pelacur di Dolly itu malah pada berkeliaran di jalan-jalan, menjamur di berbagai tempat?

Lho, tapi, kan, katanya pelacur-pelacur itu mau dikasih pekerjaan, biar ndak melacur lagi, sama Pemkot Surabaya, Joe…

Iya, tapi aku kok ya sangsi ya? Aku nggak yakin bahwa mereka tidak akan kembali melacur. Kalau ada pelacur yang terpaksa melacur karena memang tidak bisa punya kerjaan lain untuk menyambung hidup selain melacur, itu aku masih bisa setuju. Kalau kondisinya memang seperti itu, langkah Pemkot Surabaya itu itungannya sangat solutif. Tapi entah kenapa untuk kasus yang ini aku kok ya nggak yakin kalau para eks pelacur itu bakal betah kerja dan tidak akan kembali melacur, ya? Mungkin ini karena selain masalah pelacuran ini sesederhana masalah supply and demand, buatku melacur ini adalah masalah mental juga.

Orang Endonesa itu sukanya hal yang instan, yang gampang, yang cepet dapat uang tanpa harus mikir panjang. Dalam konteks Dolly ini aku khawatir, kalo dengan melacur saja mereka bisa dapat uang dengan relatif mudah, untuk apa susah-susah mikir dan bekerja dengan cara selain melacur? Apa mereka – ketika suatu saat mereka menyadari bahwa mencari uang dengan melacur itu lebih mudah – ndak akan kembali melacurkan dirinya? Aku, kok, sangsi ya kalo para pelacur yang ditobatkan paksa itu bakal istiqomah dengan tobatnya…

Lha, tapi bagaimana dengan urusan moral, Joe?

Ini juga pelik. Aku tak hendak menidak-pedulikan perkara moral. Tapi apa dengan sudut pandang moral semua masalah bisa selesai? Realistis sajalah. Kalo mereka – para pelacur itu – memang mengenal tentang moral, tak bakalanlah mereka itu melacur. Sung! Yakinlah sumpah! Dalam kasus Dolly ini aku kok ya nggak percaya kalo pendekatan moral bisa dipakai mengatasi urusan perut, terlebih perut orang-orang Endonesa yang memang lebih suka sama hal-hal yang mudah dan instan, termasuk mie instan.

Kuhargai niat mulia Walikota Surabaya, Bu Risma. Tapi ya untuk saat ini aku masih beranggapan bahwa Dolly sebaiknya tidak usah ditutup sahaja. Buatku – seperti di atas itu tadi – Dolly adalah filter masyarakat itu sendiri. Menutup Dolly sama artinya dengan memporak-porandakan saringan yang kita punya. Sebaliknya pula, keberadaan Dolly (dan juga lokalisasi-lokalisasi lainnya yang terorganisir) justru membuat air selokan itu relatif lebih mudah diawasi dan gampang dikendalikan.

Maka – karena alasan-alasan seperti di atas itu – saat ini aku masih realistis. Ketika wujud kepedulian kita terhadap urusan moral justru membuat keberadaan moral itu sendiri malah semakin terancam, lebih baik jangan usik mereka. Pelacur ya biarkan saja berkumpul dengan sesama pelacur. Benahi saja moral dan mental masyarakat yang berada di luar saringan itu secara kontinyu. Nanti ketika demand terhadap penghuni Dolly semakin lama semakin berkurang seiring membaiknya mental masyarakat di sekelilingnya, aku kok kepengen yakin ya kalo penghuni Dolly ini nanti bakal pada bubar sendiri.

Setidaknya itu pendapat dariku untuk saat ini, saat di mana mental orang Endonesa kebanyakan masih sangat menyukai mie instan. Entah esok hari, entah lusa nanti. Entah, oh, entah…


Facebook comments:

6 Comments

  • mawi wijna |

    Dari Dolly kita belajar bahwa untuk sebagian orang, duit hanya bisa beputar di sekitar selangkangan…

  • Maldini |

    Untung saya italian, jadi mental saya bukan instan, tapi mental yang penting menang walaupun skor 1-0 sahaja.

    Mengenai dolly, saya kurang paham apa sebaiknya ditutup, dibiarkan dibuka atau ditutup setengah seperti warung2 makan yang berjualan di bulan puasa.

  • Didi Koplak |

    Ada saran untuk membenahi mental warga Dolly biar demand-nya berkurang mas joe? Siapa tau bisa jadi masukan buat Bu Risma menunda nutup Dolly. 🙂
    Tapi jangan bilang pake Revolusi Mental lho ya… tar dikira kampanye. :))

  • Yang Punya Diary |

    mawi wijna:::
    betul. selama mereka belum tahu dan sadar bahwa uang sebaiknya beredar di luar lakang, sampe kapanpun jua prostitusi bakal tetap ada.

    Maldini:::
    sebaiknya sih tetap dibuka tapi ditutup2i 😈

    Didi Koplak:::
    jujur saya sendiri belum tau formulasi yang tepat untuk ini apa. concern tulisan saya cuma sebatas kalo disodorkan 2 pilihan perkara yang sama bejatnya, pilih yang kerugiannya paling minim. buat saya – saat ini – lokalisasi adalah yang multiplier-bejat-effect-nya paling minim ketimbang mereka harus tersebar.

    boleh jadi, tentang perkara mental, kalo untuk yang di luar Dolly sih bisa dengan pembatasan akses. untuk yang di dalam? mungkin dibrainwash saja :mrgreen:

  • wahyu awaludin |

    Kalau Dolly adalah selokan air kotor, maka kita asumsikan orang-orang Dolly adalah tikus-tikus got.

    Sayangnya, Dolly isinya bukan tikus got. Mereka manusia. Mereka memiliki perasaan, logika, dan anak-anak yang masih suci.

    Ingatkan jika saya salah, tapi di wawancara Mata Najwa, bu Risma cerita kalo awalnya dia emang ga mau nutup Dolly. Alasannya karena “saya masih ga bisa ngasih makan mereka”.

    Tapi setelah ada anak SD yang pergi ke PSK umur 60 tahun dan cuma bayar Rp1000, baru bu Risma bertekad akan menutup Dolly. Alasannya kali ini beda, “gimana nasib anak-anak lelaki dan anak-anak perempuan Dolly?”

    Karena anak-anak itu memang bukan tikus got. Mereka anak-anak seperti anak-anak kita. Anak-anak yang memiliki hak untuk tidak melihat ibunya menggilir 20 lelaki dalam satu malam.

  • Yang Punya Diary |

    yaaah…namanya juga analogi, sih. analogi – yang khususon untuk pelacur, seperti halnya di selokan pun kadang masih bisa nemu barang yang sebenarnya masih bagus – pun masih bisa tergantung pada sudut pandangnya, mau yang agamis-religius atau yang apa? sudut pandang agama pun juga tergantung sama agama yang mana. agama yang mana pun lagi2 masih tergantung sama sudut pandang aliran yang mana.

    makanya, buat saya, urusan yang patokannya moral begini jadi susah, kecuali memang ada aturan hukumnya yang jelas dan tegas, sementara untuk urusan begini – buat saya – aturan hukumnya masih pada bias.

    gimana nasib anak-anak lelaki dan anak-anak perempuan Dolly?

    tarik mereka dari Dolly.

    tapi itu pun artinya akan memisahkan mereka dari ibunya, meskipun buat saya itu tetap lebih baik ketimbang mereka tidak dipisahkan dari ibunya dan tetap tahu bahwa ibunya tidur dengan 20 lelaki berbeda dari jalanan dalam 1 malam.

    intinya buat saya, sih: biarkan yang pelacur (dan yang berkepentingan terhadapnya) tetap berkumpul dengan pelacur (dan yang berkepentingan terhadapnya). yang bukan pelacur, dan yang tidak punya kepentingan dengan aktivitas pelacuran, silakan disterilisasi dari Dolly.

    gampang, kan?

    nggak. nggak, kok. ini nggak gampang.

So, what do you think?