Deprecated: Function add_option was called with an argument that is deprecated since version 2.3.0 with no alternative available. in /home/satchd01/public_html/diary/wp-includes/functions.php on line 6114

Deprecated: Methods with the same name as their class will not be constructors in a future version of PHP; FBCRC_Widget has a deprecated constructor in /home/satchd01/public_html/diary/wp-content/plugins/facebook-comments-for-wordpress/facebook-comments-recentcomments.php on line 192

Notice: Function wp_enqueue_script was called incorrectly. Scripts and styles should not be registered or enqueued until the wp_enqueue_scripts, admin_enqueue_scripts, or login_enqueue_scripts hooks. This notice was triggered by the jquery handle. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 3.3.0.) in /home/satchd01/public_html/diary/wp-includes/functions.php on line 6114

Notice: Undefined index: hideWpComments in /home/satchd01/public_html/diary/wp-content/plugins/facebook-comments-for-wordpress/facebook-comments.php on line 132

Deprecated: Function create_function() is deprecated in /home/satchd01/public_html/diary/wp-content/plugins/facebook-comments-for-wordpress/facebook-comments.php on line 242

Notice: Undefined index: fbCommentCount in /home/satchd01/public_html/diary/wp-content/plugins/facebook-comments-for-wordpress/facebook-comments.php on line 261

Notice: Undefined index: combineCommentCounts in /home/satchd01/public_html/diary/wp-content/plugins/facebook-comments-for-wordpress/facebook-comments.php on line 265

Deprecated: Array and string offset access syntax with curly braces is deprecated in /home/satchd01/public_html/diary/wp-content/plugins/sitemap-generator/sitemap-generator.php on line 715

Deprecated: Array and string offset access syntax with curly braces is deprecated in /home/satchd01/public_html/diary/wp-content/plugins/sitemap-generator/sitemap-generator.php on line 758

Warning: Use of undefined constant ddsg_language - assumed 'ddsg_language' (this will throw an Error in a future version of PHP) in /home/satchd01/public_html/diary/wp-content/plugins/sitemap-generator/sitemap-generator.php on line 44

Deprecated: The called constructor method for WP_Widget class in FBCRC_Widget is deprecated since version 4.3.0! Use __construct() instead. in /home/satchd01/public_html/diary/wp-includes/functions.php on line 6114
Garuda Muda dan Emprit Tua | The Satrianto Show: Beraksi Kembali! – Diary of Anindito Baskoro Satrianto

Garuda Muda dan Emprit Tua

Salah satu keuntungan jadi orang baik itu adalah dikelilingi dengan orang-orang baik juga. Misalnya saja kemarin ini, dengan selamat sentausa akhirnya aku ketiban rejeki buat nonton partainya tim nasional Endonesa U-19 lawan Korea Selatan langsung di Gelora Bung Karno, Senayan.

Ceritanya sehabis partai lawan Filipina yang kutonton di depan tivi itu, aku Whatsapp-an sama si Bram, perjaka butut yang sejak putus sama ceweknya lebih dari separo dekade yang lalu sampai sekarang belum juga punya partner tetap buat malam Mingguan. Isi pesanku ke dia sebenarnya sederhana saja. Mengingat si gendut ini adalah penggila timnas Endonesa, selepas pertandingan berat sebelah di mana Endonesa mengurung kotak penalti Filipina hampir sepanjang pertandingan itu, aku mengirim pesan yang menyebutkan, kalo begini caranya lawan Korea besok bakalan rame.

Ealah…tiada angin, tiada hujan tau-tau si Bram ngajak nonton langsung ke Senayan. Kubilang, aku ndak ada budget. Uangku habis kupake urunan sapi buat Idul Qurban, setelah sebelumnya motor bebekku sempat turun mesin juga gara-gara koplingnya aus.

E…e…e…eee, lha ndilalah aku malah dipesenin tiket sama dia. Langsung dibayarnya pula. Kata dia, sih, pinjaman lunak. Tapi…alah, si gendut ini…paling-paling besoknya dia lupa nagih piutangnya, seperti biasanya. Sebuah kebiasaan buruk baginya tapi baik bagi teman-temannya :mrgreen:

Alhasil dengan angin, dengan hujan hari Sabtu sore itu aku menerobos badai ke Senayan. Gara-gara kelamaan ngeyup pula aku baru bisa menghempaskan pantatku di tempat duduk senilai 200 rebu perak nyaris di akhir babak pertama. Badan basah kuyup sudah jelas. Lha 1 payung kupake berdua sama si gendut yang bodinya makan tempat, manalah mungkin kalo air hujan sampai tidak bisa menembus cawetku, kan?

“Ndut, tititku mengkirut. Kedinginan,” keluhku.

“Jangan rewel! Sudah, besok ke Mak Erot.”

“Tapi Mak Erot sudah mati, Ndut…”

Selanjutnya si gendut tidak menanggapi keluh-kesahku. Sambil berjalan menembus hujan ke arah Gate VIII Stadion Utama, dia malah sibuk menyumpah-nyumpah, betapa kalo Endonesa sampai kalah dia bakal membanting Playstation 3-nya. “Sumpah! Sudah basah-basahan gini, kalo sampe timnas kalah, PS3 saya bakal saya banting!” katanya. “Tapi mbantingnya ke kasur saya,” lanjutnya pula.

Untung tak dapat diraih, malang tak kena ditolak… Bram batal membanting Playstation-nya. Malam itu kami disuguhi pertunjukan berkelas. Skor 1-1 di babak pertama berganti di babak ke-2. Evan Dimas, el capitan, ngamuk! 2 gol diborongnya lagi melengkapi golnya di babak pertama. Total 3 gol Endonesa lewat skema permainan yang cantik – secantik Desti mantan pacarku – cuma mampu dibalas Korea 2 kali lewat posisi bola mati.

Malam itu Endonesa jumawa! Aku sendiri nyaris nggak percaya. Anak-anak yang belum kepala 2 itu membuatku terpaksa mendesis mengakui, “Mereka mirip saya waktu esema, Ndut…”

Iya, malam itu aku seperti melihat bukan timnas Endonesa. Penguasaan bola di lapangan, keberanian memainkan bola di wilayah pertahanan sendiri, kesabaran passing dari kaki ke kaki , tusukan sektor sayap ke kotak penalti, serta tentu saja 2nd line yang selalu siap beraksi, semuanya membuat terpesona setengah mati. Sungguh, ini bukan sepakbola Endonesa yang kukenal dengan pola tiki-tarkamnya.

Tidak. Tidak. Masak iya ini Endonesa? Yang kutau, timnas Endonesa itu personilnya mudah gugup ketika menguasai bola. Yang kutau, timnas Endonesa itu sungguh hobi bermain long pass yang tidak jelas akurasi dan arahnya. Yang penting bola minggat dari kaki saya, secepatnya, sejauh-jauhnya. Mungkin begitu yang ada dalam pikiran mereka.

Tapi malam itu memang Endonesa, John! Endonesa yang beda, yang sabar, yang percaya dengan falsafah bahwa siapa yang mampu menguasai lini tengah dialah yang bakal keluar sebagai pemenang. Akhirul kalam, Endonesa lolos ke putaran final Piala Asia U-19 di Myanmar tahun depan.

Maka malam itu kami berdua pulang dengan hati riang. Buktinya si Bram sampai lupa mengingatkan kapan aku harus mengganti uangnya.

Dan dengan niat melanjutkan euforia anak-anak muda itu, beberapa hari setelahnya giliran timnas senior yang berlaga di ajang yang serupa tapi tak sama: Kualifikasi Piala Asia untuk level dewasa.

Hanya saja kali ini rasanya seperti anti klimaks. Timnas senior yang menghadapi Cina seperti memaksa rakyat Endonesa untuk segera kembali ke kenyataan, tentang pahit-getirnya kehidupan. Endonesa senior kembali menunjukkan permainan yang menjadi ciri khas sepakbola kita yang sesungguhnya: tiki tarkam ala Barcelona KW 29!

Miris…

Sedih…

Prihatin…

Dan memaksa kita tertawa dalam duka melihat permainan mereka.

Memang. Memang pada akhirnya kita mampu menahan Cina 1-1. Lumayan, poin pertama buat negara kita sepanjang babak kualifikasi ini. Setidaknya kita tidak bakal mengakhiri babak ini dengan 0 point. Lumayanlah. Lumayan ketimbang lu manyun, mengutip ucapan yang sering dilontarkan oleh Yanto Ucup, programmer Java yang hidupnya selama 1 dekade terakhir dilewati dengan status jomblo tiada akhir.

Tapi permainan mereka itu, lho… Sepanjang pertandingan passing awur-awuran kembali diperagakan. Komentatornya di tipi sampai berucap, “Kerap kali salah umpan.”

Belum cukup dengan itu, seorang Amed berujar, “Saya hampir lupa kalo kita masih punya timnas senior,” sewaktu diingatkan tentang sepakbola indah ala Garuda Muda kemarinnya.

“Marai emosi karo jantungan, hahaha,” kata Dimas Tjitrodimedjo, dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM yang sedang menyelesaikan disertasi doktoralnya di Norwegia sana

“Mereka pantas ditertawakan,” sebut Bayu, adik iparku yang nemenin aku nonton via tipi.

Ipeh, remaja putri yang kebetulan tidak terlalu pintar juga mengumbar komentar yang sama tidak pintarnya. “Itu bola perlu dilabeli JNE kali ya, biar sampai ke tujuan.” Nah, komentarnya memang tidak pintar sekali, kan? 😈

Gentho, kuli salah satu pabrik hape produk Kroya (baca: Korea, blo’on!), malah misuh. “Pancen goblok kae doan,” makinya.

Tapi yang paling lucu buatku tentu saja komentarnya Hanan: “Parah. Salah oper terus. Padahal seragame wis bedo.” πŸ˜†

Aku nggak heran. Sungguh mampus aku sebenarnya nggak heran melihat level permainan timnas senior ini. Cuma saja aku prihatin. Di saat junior-juniornya menuai pujian, ketika mereka justru menerima hujatan, apa ndak ya pada kasian? Bayangkan saja perasaan sampeyan kalo menerima ucapan semacam, “Karo cah cilik-cilik wae kalah. Ngisin-isini!”

Tapi aku bukanlah salah satu pembesar sebuah negeri yang cuma bisa urun prihatin ketika ada yang lagi kena musibah. Ndak, ndak… Aku ndak seperti itu. Ketika aku sudah membulatkan tekad memutuskan untuk turut prihatin, setidaknya aku juga sudah mempersiapkan sebuah solusi untuk ditawarkan. Perkara solusinya nanti jitu atau tiada jitu, silakan sampeyan sendiri yang menyimpulkan.

Jadi begini…

Menurut sampeyan apa kekurangan timnas yang paling fatal? Menurutku adalah tingkat kebebalan personilnya. Lihat saja, semenjak jamannya Romano Matte sampai Alfred Riedl, pola permainan timnas gampang ditebak. Asal sudah ketinggalan skor dan mulai frustasi maka bola-bola panjang bakal bertebaran. Sudah tau bek musuh pada jangkung, timnas nggak peduli, pokoknya main long ball, dude. Dan mending kalo bola panjangnya tepat sasaran, ini yang ada malah lebih sering ngasih bola gratis ke musuh saking nggak akuratnya.

Lho, tapi sapa tau aja itu memang taktik andalan timnas, Mas Joe.

Taktik? Taktik mbahmu koprol! Di mana-mana nggak ada yang namanya taktik memberikan bola sesering mungkin ke pihak lawan, John. Ada juga mentok-mentoknya taktik kayak taktikku kalo lagi jadi juru racik timnas futsal Himakom UGM: “Anak-anak, hari ini kita main dengan strategi seperti biasa. Supaya menang, gampang. Cetaklah gol lebih banyak daripada lawan. Paham? Ada pertanyaan? Kalo tidak ada mari kita berdoa. Berdoa mulai!” Begitulah biasanya aku memberi briefing kepada adik-adik kelasku itu.

Jadi jelas, kelemahan timnas yang paling utama adalah kebebalan personilnya. Dan – menurut shohibul hikayat – karena cuma keledai aja lho yang jatuh 2 kali di lubang yang sama, maka sehubungan dengan hal itu, karena timnas senior kita ini hobi banget melakukan hal sia-sia yang sama (berulang-ulang kali pulak!), bisa kita bayangkan, donk, seberapa pandirnya mereka. Ah, emprit tua…

Lalu apa solusinya, Mas Joe? Katanya tadi antum punya solusi, mana? Jangan nggedabrus melulu tanpa bukti sebagaimana antum tadi berjanji!

Tenang dulu, setan! Pelan-pelan… Ini aku baru mau bilang solusiku. Berhubung personil-personil timnas itu entah kenapa terlihat nyata sekali level kegeblegannya, aku mengusulkan cara usang tapi relatif baru buat seleksi para penghuni timnas senior kita. Tirulah bagaimana perusahaan-perusahaan besar di dunia ini merekrut petarung-petarung terbaik mereka, adakan tes psikologi.

Kasarannya, supaya mudah memahami strategi yang diberikan oleh Pak Pelatih, dan supaya mampu dengan tepat mengimplementasikannya di lapangan, sesegera mungkin beradaptasi dengan gaya permainan kesebelasan lawan, menemukan solusi membongkar pertahanan musuh dengan cepat dan jitu, 120 adalah skor IQ minimal yang harus dipenuhi oleh para punggawa timnas.

Nggak terlalu sadis, Mas Joe?

Nggak. Memang kalo pengen menciptakan kesebelasan yang superior, ya penghuni-penghuninya haruslah makhluk-makhluk yang superior pula.

Tapi IQ saja kan bukan jaminan, Mas Joe. Bagaimana kalo IQ-nya model Anda tapi nggak punya stamina, bukankah itu sama sahaja? Terus juga skill individunya? Terus lagi kecerdasan emosionalnya, kemampuan bekerja-samanya? Pinter tapi egois apa ndak bubar itu tim?

Lho, kita ini bicara dalam konteks apa tho? Sepakbola, kan? Sepakbola itu olahraga tim, maka ya sudah jelas yang mau masuk timnas adalah mereka-mereka yang jago main bola, bukan yang jago main catur, blo’on! Sudah jelas juga namanya olahraga tim, ya kemampuan bekerja-sama dalam tim adalah syarat mutlak lainnya pula.

Lagipula aku ini bicara tentang tes psikologi, bukan cuma tes IQ. Maka ya namanya saja tes psikologi, di situ itu pastilah tercantum pula hal-hal ente tanyakan di atas itu. IQ minimal 120 hanyalah salah satu contoh wajibnya. Tidak mungkin kita cuma memilih mereka yang mampu bekerja-sama tapi bekerja-samanya dilakukan dengan cara yang bahlul. Jadi ya lebih baik pilihlah mereka yang mampu bahu-membahu tapi juga ber-IQ superior.

Tapi apa itu ndak susah? Repot lho nyari pemain dengan kualifikasi seperti yang sampeyan mau, Mas Joe.

Memang susah. Tapi ya ini, kan, cuma solusi yang bersumber dari opini pribadi. Aku juga sadar diri, kok, apa ada, sih, manusia Endonesa dengan IQ di atas 120 yang memilih hidup sebagai pemain bola profesional di Endonesa yang gajinya aja ditunggak melulu? Mereka yang punya IQ segitu pastilah lebih memilih untuk belajar dengan benar, biar habis esema bisa lanjut kuliah, jadi mahasiswa di ITS, UGM, ITB, IPB, atau UI.

Tapi ini belum selesai. Setelah – misalnya – kita mampu mengumpulkan 30 jagoan seperti syarat di atas itu, berikutnya masih ada menu latihan yang tidak lazim untuk hari-hari mereka selama di Pelatnas: selama 4 jam per hari mereka wajib bermain Pro Evolution Soccer! 2 jam pertama bermain dalam mode Become A Legend, 2 jam berikutnya mereka saling bertanding satu sama lain.

Lho, buat apa, Mas Joe?

Ini namanya repetisi. Gunanya untuk mem-brainwash mereka.

Dulu waktu tahun 2005, tahun ketigaku jadi mahasiswa, setelah melewati perjuangan panjang nan berliku-liku, akhirnya ban kapten timnas futsal Ilmu Komputer melingkar juga di lenganku. Tidak heran, karena di tim itu akulah satu-satunya senior yang tersisa. Rekanku lainnya di lapangan rata-rata ya anak 2004. Tidak heran juga kenapa aku bisa jadi kapten, itu semua karena saban ada turnamen akulah yang dengan sukarela menanggung ongkos pendaftarannya, dengan syarat aku selalu diturunkan sebagai starter dan akulah kapten mereka. Alhamdulillah anak-anak singkong itu pada nurut. Yah, namanya saja mahasiswa kaya, ya uang yang berbicara.

Ayo lihat semua kapten kita datang
Seluruh penjuru kota puji kehebatannya

Lari lari lari (lari lari lari), tendang dan berlari
Berjuanglah Mas Joe, pahlawan kita

Lalu apa hubungannya dengan Pro Evolution Soccer?

Aku sadar, meskipun kapten aku tetap saja memiliki keterbatasan stamina gara-gara kebanyakan racun nikotin dan keseringan begadang. Yang harus kulakukan adalah bergerak seefektif mungkin tanpa banyak membuang tenaga. Jadilah aku melatih senjata andalanku: positioning. Dan karenanya aku jadi produktif mencetak gol ala Pippo Inzaghi, lewat bola-bola tinggal sorong.

Waktu itu aku juga rajin main Pro Evolution Soccer. Musuh tetapku kalo ndak Pepe atau Didit Komeng, ya Yanto Ucup. Tim andalanku waktu 2005 itu adalah timnas Argentina dengan Hernan Crespo sebagai ujung tombak utamanya.

Saking seringnya bolak-balik make Argentina, sadar nggak sadar aku jadi ketularan AI-nya Hernan Crespo. Caranya mencari ruang, pergerakan tanpa bolanya, secara refleks kupraktekkan di lapangan, sampai-sampai suatu saat selesai main futsal si Pepe dengan gaya sok taunya berkesimpulan, “Oh, aku ngerti ngopo kok kowe senengane nganggo Argentina. Gayane Crespo mbok pelajari tho?”

Alhasil akunya malah mbatin, apa iya?

Maka berdasarkan teorema subyektifitas itu aku berkonklusi, anak-anak timnas perlu belajar via Pro Evolution Soccer. Timnas kita ini juga lemah di pergerakan tanpa bola dan positioning para awaknya. Lihat saja lini tengah timnas kita yang nyaris selalu kosong, tidak ada 2nd line yang siap siaga begitu barisan penyerang kita gagal di kotak penalti lawan. Dengan bermain mode Become A Legend harapannya mereka bisa paham dengan sendirinya bagaimana caranya menempatkan diri sesuai dengan tugas dan posisi yang diembannya

Tapi apa itu mungkin, Mas Joe? Menyediakan 30 PC buat nge-game itu butuh anggaran tersendiri lagi, lho. Belum lagi kalo PSSI kepengen nggak bikin malu, semua software-nya pastilah harus original yang biayanya juga tidak sedikit itu. Hayo, gimana hayo?

Memang iya, sih. Lagi-lagi aku juga sadar… Dengan kebiasaan PSSI yang hobi ngutang, baik ngutang sarana dan pra sarana Pelatnas maupun ngutang gaji para official-nya, nampaknya mimpi menikmati sepakbola cerdas ala timnas Endonesa senior haruslah ditunda seenggaknya sampe 8 tahun lagi, sampe masa di mana adik-adik U-19 kemarin ini berada di usia emasnya sebagai atlit sepakbola.

Demikian, terima kasih, dan salam olahraga! Aye!



Notice: Undefined index: darkSite in /home/satchd01/public_html/diary/wp-content/plugins/facebook-comments-for-wordpress/facebook-comments-display.php on line 75

Notice: Undefined index: includeFbJsOldWay in /home/satchd01/public_html/diary/wp-content/plugins/facebook-comments-for-wordpress/facebook-comments-display.php on line 107

Facebook comments:


Notice: Undefined index: darkSite in /home/satchd01/public_html/diary/wp-content/plugins/facebook-comments-for-wordpress/facebook-comments-display.php on line 178

Notice: Undefined index: hideFbLikeButton in /home/satchd01/public_html/diary/wp-content/plugins/facebook-comments-for-wordpress/facebook-comments-display.php on line 179

Notice: Undefined index: faces in /home/satchd01/public_html/diary/wp-content/plugins/facebook-comments-for-wordpress/facebook-comments-display.php on line 184

Notice: Undefined index: v1plusv2 in /home/satchd01/public_html/diary/wp-content/plugins/facebook-comments-for-wordpress/facebook-comments-display.php on line 194

Notice: Undefined index: hideWpComments in /home/satchd01/public_html/diary/wp-content/plugins/facebook-comments-for-wordpress/facebook-comments-display.php on line 58

6 Comments

So, what do you think?