Jaman kuliah sarjana dulu aku punya temen cewek namanya Anggi. Anaknya pinter (setidaknya lebih pinter ketimbang kuartet Yosepin, Yanto Ucup, Saber, dan Bongkre yang lulusnya injury time), nilai mata kuliahnya nyaris A semua (IPK totalnya nggak perlulah ta’sebut karena khawatir menyinggung SARIP: Suku, Agama, Ras, dan Indeks Prestasi), padahal – menurut pengakuan yang bersangkutan sendiri – kerjanya cuma main game online. Mbuh waktu kecil beliau ini dipakani apa sama orangtuanya. Mungkin dedak sama kroto. Nggak mungkin nasi. Lha, wong buktinya aku dan 4 karakter di atas yang makannya nasi nyata-nyata kalah pinter dari dia, meskipun kami juga sudah njajal mencontoh pola hidupnya. Ikutan rajin main game online, misalnya.
Suatu hari, dalam sebuah kesempatan menjelang ujian sebuah mata kuliah di akhir semester (aku lupa, waktu itu apa ya mata kuliahnya? Pokoknya itung-itungan, antara Kalkulus atau Matematika Disko, eh, Diskrit), kami rame-rame ngumpul di bunker bawah tangga kampus yang dengan bangganya dinamai sebagai Sekretariat Himpunan Mahasiswa Ilmu Komputer. Pura-puranya kami belajar. Betapa tidak pura-pura, karena ketimbang nggarap soal-soal latihan, aku sendiri toh lebih milih buat bikin contekan rumus di kertas yang bakal kulipet kecil-kecil, saat Anggi tiba-tiba kudengar nyeletuk, “Duh, kalau sampai dapat D berarti harus kuulang semester depan, deh!”
Kontan kami semua mengangkat kepala dari buku dan catatan masing-masing, kemudian menoleh ke Anggi. Aku yang sering dicap mengejek lebih cepat ketimbang bayanganku sendiri mendapat kesempatan pertama untuk melempar respon. “Orang macam kamu mana mungkin dapat nilai D, Nggi,” semburku rodo mangkel. Iya, aku memang kurang sreg sama jenis manusia yang suka merendahkan diri sambil ninggiin mutu macam begitu.
“Ho’oh. Nggak mungkin kamu sampai dapat D,” sambung Bayu Pepe, perjaka berambut ikal, bergigi jarang asli dari Mojosongo, Solo.
“Kalau kamu dapat D, lha kita dapat apa?” Protes pemuda tambun dari Glagahsari berjudul Yosepin.
Anggi bingung diserang macam demikian. “Lho, eh…lho, eh…” kata Anggi, “Siapa yang bilang D?”
“Lha itu tadi. Katanya mau ngulang kalau dapat D?”
“Aku nggak bilang D, kok,” jawab Anggi lagi.
“Lha terus?”
“Kubilang, aku bakal ngulang lagi kalau sampai dapat B. B, Mas. Be-e, B!”
Selanjutnya kontan kami makin mengumpat. Semprul! Di sini dapat C aja sudah syukuran makan-makan di angkringan, ini ada makhluk yang sudah dapat B, lha, kok, malah mau diulang?
Tapi sejujurnya aku malah suka. Bukan. Bukan suka sama Anggi-nya. Waktu itu aku sukanya sama temennya Anggi, namanya Ayu. Yang kumaksud, aku suka sama homo sapiens dengan “kesombongan” macam Anggi itu. Itu lebih menyenangkan dalam konteks pertemanan ketimbang berkawan sama orang yang kalau mau ujian suka bilang, “Aduh, aku belum siap,” atau, “Aduh, aku nggak bisa,” atau lagi, “Aduh, kayaknya nilaiku bakal jelek,” tapi tahu-tahu begitu hasil ujiannya diumumin, eee…nilainya tinggi. Malahan yang paling tinggi. Gomblis!
Bukan apa-apa, yang model begini ini cuma bakal bikin kita mingkem-mingkem dengki, sementara kalau sama yang satunya, yang suka sesumbar apa-apa dianggap gampang, begitu nilai yang bersangkutan ternyata tewas dengan gemilang, setidaknya kita masih bisa bilang, “Sukurin! Kemarin kamu mecicil, sih. Kakehan polah. Banyak lagak.” Dengan demikian setidaknya aib teman bisa kita jadikan hiburan.
Yeah, aku ini memang senang melihat teman senang, tapi aku lebih senang lagi kalau melihat teman susah.
N.B. Tentang hasil ujiannya Anggi, bisa ditebak, akhirnya yang bersangkutan dapat nilai A. Itulah mengapa ke depannya aku lebih suka kalau dapat tugas kelompok barengan dia. Anggi yang bikin analisisnya, aku yang bikin coffeemix atau sirupnya.
Temen di kampus juga ada yang model gini mas. Wahaha.
Bukan latar belakang dari jurusan ekonomi.
Anak teknik yang nyasar ke jurusan ekonomi.
Tiba-tiba dapet pertanyaan dari dosen dan satu angkatan ga ada yang bisa jawab.
Terus si anak teknik ini disuruh maju dan hasilnya BENER!
Semua geleng-geleng kepala.
Karena dia ngitung pake rumus ala ala ilmu teknik bukan ekonomi.
Tapi hasilnya bener. Gempar satu angkatan langsung. Whahahaha!!!
Langsung dia diberi julukan: “fulan si penemu rumus …”
#ngakak…
saya waktu kuliah juga penemu. penemu bolpoin dan tip-ex. kadang nemu duit 500-an rupiah juga. lumayan…jaman itu bisa dipake beli djarum super sebatang