…buat orang awam.
Bicara tentang drama musikal, sesungguhnya aku tiadalah pernah menonton pagelaran teater dengan format drama musikal. Pentas teater yang biasa kutonton ya yang umum-umum saja, yang nggak pake acara pelakonnya nyanyi-nyanyi di panggung. Itu pun kebanyakan aku nontonnya cuma gara-gara ada temenku yang kebetulan jadi aktornya, seperti misalnya si Gentho yang memang aktif jadi aktor teater via komunitas teaternya yang berjudul La Gientis.
Tapi sebenarnya – sejak kecil – aku nggak begitu jauh dari dunia panggung. Bahkan dengan naifnya aku merasa kalo aku ini adalah orang panggung, yang suatu saat harus kembali lagi ke panggung. Jaman esde dulu, pas acara perpisahan, untuk pertama-kalinya aku naik panggung. Jadi emsi, yang akhirnya berlanjut terus sampai jaman lulus dari kehidupan sebagai mahasiswa.
Aku juga punya adik semata wayang yang kebetulan waktu jaman esemanya bergabung dengan ekstra kurikuler Teater Angin-nya SMAN 1 Denpasar. Dari situ aku jadi sering nongkrong pula dengan teman-teman adikku itu. Jaman dulu, biasanya sehabis anak-anak teater itu pada manggung, dengan tidak tau malunya aku ikutan pesta pasca manggungnya mereka yang diisi dengan minum-minum arak Bali.
Dari situ aku jadi akrab dengan dunia mereka. Sempat pula muncul wacana dari A’ang, sang ketua teater, kalo selepas esema kuliah kami nggak ada yang becus, aku bakal diajaknya bikin grup lawak dengan trio A’ang, Dwitra, dan aku. Nama kedua yang ta’sebut barusan akhirnya memang memilih dunia seni peran sebagai jalan hidupnya. Mungkin namanya memang tidak terlalu ngepop bin ngetop. Tidak setenar Raam Punjabi. Tapi, beberapa film-film dokumenter yang disutradarainya sejauh ini sudah sukses meraih penghargaan dari mana-mana.
Tentu saja… Tentu saja aku turut bangga teman nongkrongku dulu bisa melakukan sesuatu yang menurutku dahsyat, dengan harapan kalo besok dia bikin film action aku bakal ditawari peran sebagai jagoan utamanya
Dan kelanjutannya, bicara tentang drama musikal, akhirnya hari Sabtu kemarin ini, untuk pertama kalinya, aku memutuskan menonton pagelaran drama musikal dengan judul “Hanoman the Ultimate Warrior”di Tennis Indoor Senayan.
Tiketnya lumayan mahal menurutku. Rp. 200.000 terpaksa kukeluarkan dari ATM-nya Bank Mandiri untuk mendapatkan selembar tiket kelas perunggu yang memaksaku duduk di sisi kanan panggung. Tentu saja ada harga ada rupa. Namanya juga kelas paling murah, ya aku jelas tidak bisa mendapatkan pandangan yang mengenakkan. Semuanya serba terbatas.
Tapi tak mengapa. Pandangan yang sempit tiadalah jadi persoalan. Yang penting aku bisa nonton salah satu tokoh wayang favoritku ini dipentaskan kisah hidupnya. Ya, aku memang suka sama cerita wayang. Dari kecil aku sudah dijejali cerita wayang dari eyang-eyangku, oom-oomku, juga orang tuaku sendiri. Aku dididik dengan teladan-teladan ideal seorang ksatria utama, seperti pengabdian Patih Suwanda, loyalitas Adipati Karna, kerelaan Gatotkaca, dan tentu saja dongeng hebat tentang keberanian Raden Senggana membakar Alengkadiraja. Wayang terakhir yang kusebut tadi lebih populer dengan sebutan Hanoman, si kethek putih, sowan taman Shinta dijak mulih…konangan Indrajit lan patih, ning Hanoman ora wedi nggetih!
Format drama musikal memang membuatku jadi penasaran. Bakal seperti apa pentas kali ini? Bakal seperti apa jadinya lakon cerita wayang yang disesuaikan dengan taste orang-orang Jakarta, yang setauku lumayan awam dengan cerita wayang?
Ditambah lagi pementasan kali ini menggandeng pelakon-pelakon (yang konon katanya) dari Broadway sana, apa jadinya lakon ini kalo dimainkan sama orang-orang bule yang – menurut penilaianku – pastilah tidak terlalu mendalami karakter dari tiap-tiap tokoh pewayangan, terutama pewayangan ala Jawa?
Maka menontonlah aku. Dan hasilnya?
Wow, memang pertunjukan yang spektakuler. Tata lampunya sungguh wah jika harus dibandingkan dengan pementasan wayang orang di panggung Sriwedari di Solo sana. Musiknya pun modern. Dengan penampilan orkestra yang menyajikan musik dengan genre yang didominasi rock, untuk sebuah drama musikal, sisi musikalnya sungguh sangat menghibur. Penampilan Piyu, gitarisnya Padi, yang didapuk jadi Batara Chandra ketika naik panggung dengan kostum wayang sambil melakukan solo gitar memang cukup mengejutkan. Ini sebuah modifikasi yang sukses untuk sebuah pementasan cerita wayang. Benar-benar out of the box!
Dan karena faktor pelakon bule itu tadi, pertunjukan kali ini pun didominasi dengan dialog dalam bahasa bule. Hanya sesekali terjadi dialog dalam bahasa Indonesia. Lebih jarang lagi dialog yang menggunakan bahasa Jawa, bahasa yang jamak digunakan dalam pertunjukan wayang orang.
Lalu bagaimana aksi panggungnya? Oho, sangat menghibur, dong. Menggandeng atlit-atlit wushu untuk adegan perkelahian memang sebuah keputusan yang jitu. Permainan tombak dan pedang ala gerakan wushu menjadi sebuah hiburan yang tersendiri pula. Pendeknya, ini adalah sebuah pertunjukan yang kaya cita-rasa, yang membuat penonton memberikan applaus meriah setiap berakhirnya babak, dan terutama ketika akhir pementasan…kecuali aku!
Ya, kecuali aku!
Sekali lagi, kecuali aku.
Sumpah! Aku sama sekali nggak bertepuk-tangan sepanjang pertunjukan. Dari awal sampai akhir aku blas nggak tepuk-tangan. Aku cuma bersedakep, menyilangkan tangan di depan dada saat penonton lain bertepuk-tangan dengan meriah di akhir acara.
Aku terganggu. Aku terganggu dengan pementasan kali ini, terutama dari segi drama dan jalan ceritanya. Untuk sebuah drama musikal, buatku pentas ini cuma menghibur dari sisi musikalnya saja. Dramanya? Sabar dulu, John… Perjalanan masih jauh.
Bukan apa-apa, sih… Tapi bahkan ketika babak pertama dibuka dengan adegan perselingkuhan antara Batara Surya dan Dewi Indradi, istri Resi Gotama, ibu dari Dewi Anjani, Subali, dan Sugriwa, atau dengan kata lain adalah neneknya Hanoman, aku sudah terganggu dengan aktor bule yang memerankan Batara Surya itu tadi. Dalam penilaianku, ini aktor, kok, ya aktingnya mengganggu sekali tho? Dia kayaknya canggung berdiri di panggung. Bahasa tubuhnya kaku sekali. Kesannya dia cuma maju-mundur di panggung tanpa tau bagaimana harusnya dia memainkan perannya. Aku curiga, jangan-jangan ketika di panggung pun isi kepalanya sedang berusaha mengingat-ingat dialog apa saja yang harus diucapkannya. Maka untuk sebuah pertunjukan yang digadang-gadang mau dibawa tur keliling dunia, buatku ini adalah sebuah pembukaan yang fatal.
Aku malah jadi su’udzon, saat itu tanpa tau siapa, sih, pemeran Batara Surya ini, aku langsung menarik kesimpulan: kalopun dia benar bule yang biasa manggung di Broadway, jangan-jangan di panggung Broadway pun dia biasanya cuma kebagian peran figuran, entah jadi pohon atau cuma jadi batu. Pokoknya kacrut sekali, dah! π
Hal kedua yang bikin aku kecewa adalah jalan ceritanya. Buatku yang dari kecil terkondisikan untuk menghafal pakem cerita wayang, terutama pakem Pustakarajapurwa, jalan cerita pentas kali ini sungguh mengganggu. Gangguannya, kalo diibaratkan, bukan sekedar macam kerikil di jalan lagi, tapi sudah berupa palang sepur yang membuat pengguna jalan mau nggak mau harus berhenti.
Jadi begini… Pentas kali ini memang menceritakan tentang kisah Hanoman, tapi bukan sepak-terjang Hanoman ketika menjadi panglima perangnya Ramawijaya sewaktu menyerbu Alengka, melainkan lebih ke cerita masa mudanya Hanoman ketika masih di Kahyangan, sebagai anak Batara Guru, saat belum ditugaskan turun ke bumi untuk membantu menghancurkan angkara-murkanya Dasamuka.
Dalam cerita wayang Jawa, masa remaja Hanoman memang boleh dibilang tidak terlalu detail diceritakan. Jadi hal ini sangat memungkinkan buat siapa pun mengolah dan mengimprovisasi cerita tentang masa muda Hanoman dengan sesukanya, karena toh cerita detailnya memang tidak dikenal.
Tapi, meskipun boleh diolah, yang namanya improvisasi cerita ya jangan juga dibuat terlalu kebablasan sampai melanggar pakem, kan? Analoginya, kalo situ penggemarnya Sherlock Holmes, situ pasti bakal kecewa kalo ternyata ada novel tentang Holmes – bukan bikinan Sir Arthur Conan Doyle – yang dibikin dengan menyalahi pakem yang sudah ditetapkan sama pengarang aslinya. Iya, kan? Begitulah yang terjadi dengan novel tentang kisah masa tua Holmes yang dikarang-karang oleh Mitch Cullin. Situ – jika memang penggemar fanatiknya Holmes – pastilah bakal kecewa ketika mendapati fakta bahwa cinta sejatinya Holmes bukanlah Irine Adler.
Begitu pula dalam “Hanoman the Ultimate Warrior” ini. Di pentas ini dikisahkan kalau terdapat kakak-beradik penguasa Gua Kiskenda, Mahesasura dan Jatasura, yang bermaksud mengganggu stabilitas Kahyangan. Ditambah dengan patihnya, yaitu Lembusura, mereka bertiga menjadi trident Gua Kiskenda melabrak Kahyangan. Sampai di sini ceritanya masih betul. Kisah tentang Mahesasura-Jatasura menyerbu Kahyangan ini memang terdapat dalam cerita pewayangan.
Tapi cerita jadi ngaco ketika dalam usahanya mengkudeta kekuasaan para dewa itu akhirnya Lembusura menculik Dewi Anjani sebagai sandera yang bukan Sand(e)ra Dewi. Hanoman yang ketika itu masih muda langsung sahaja mendapat mandat dari para dewa untuk sendirian menyerbu Gua Kiskenda, membebaskan ibunya, dan membinasakan trio tukang bikin masalah itu.
Dan, yeah, namanya juga lakon utama, cerita selanjutnya bisa ditebak. Lembusura mati, kemudian menyusul Mahesasura dan Jatasura. Ketiganya disikat sendirian sama Hanoman. Hanoman menang, Anjani bebas, pentas berakhir, dan seluruh penonton bertepuk-tangan memberikan applaus…kecuali aku!
Ya, kecuali aku!
Sekali lagi, kecuali aku.
Preklah, batinku. Mana ada ceritanya Hanoman menghabisi Mahesasura dan Jatasura? Hanoman itu tidak sempat bertemu dan mengenal mereka berdua. Karena apa? Karena, eh, karena sebelum Hanoman dewasa, penguasa Gua Kiskenda itu sudah diluluh-lantakkan oleh kedua pamannya, Subali dan Sugriwa.
Betul. Memang betul bahwa Mahesasura dan Jatasura mengacau Kahyangan. Dan itu disebabkan karena Mahesasura menuntut kepada dewa untuk menyerahkan Dewi Tara, putri Batara Indra, sebagai istrinya. Batara Indra menolak, dan perang pun terjadi. Tapi duo ini sungguh sakti, mereka tidak bisa mati selama salah satu dari mereka masih bernafas. Kalo Mahesasura mati, asal Jatasura masih hidup dan melompati mayat saudaranya itu maka Mahesasura bakal hidup kembali, begitu pula sebaliknya.
Para dewa akhirnya menunjuk Sugriwa dan Subali, 2 ksatria-pertapa berwujud kera, sebagai jagoannya. Duet maut melawan duet maut. Maka kedua ksatria kera itu berangkat ke Gua Kiskenda, dengan dijanjikan bahwa siapa yang berhasil membinasakan musuh dewa lebih dahulu maka diperbolehkan memperistri Dewi Tara.
Sugriwa maju duluan, menyerbu masuk ke Gua Kiskenda sendirian. Tapi seperti halnya para dewa, lama-lama Sugriwa kehabisan tenaga menghadapi musuh yang tidak ada matinya. Maka meloncatlah ia keluar gua diiringi ejekan dari Mahesasura dan Jatasura, para dewa saja tidak mampu menghadapi mereka apalagi cuma 2 ekor kera.
Giliran Subali tiba. Tapi dia lumayan miris juga. Saking pesimisnya maka dia berpesan ke Sugriwa, adiknya, “Wa, lihatlah aliran genangan air dari dalam gua ini. Kalo misalnya nanti kamu melihat warna merah yang mengalir, itu artinya mereka yang matek. Tapi waspadalah kalo yang mengalir nanti berwarna putih. Itu artinya akulah yang mampus. Maka kalo itu yang terjadinya, tutuplah mulut Gua Kiskenda ini. Buat mereka berdua tidak bisa keluar lagi mengacau dunia.” Dan sambil mengeluarkan teriakan menantang, menyerbulah Subali sendirian ke dalam Gua Kiskenda.
Di dalam, Subali mengamuk sejadi-jadinya. Semua kesaktian yang dia punya diobral dengan semena-mena. Tapi lagi-lagi duet maut musuhnya ini memang susah meregang nyawa. Mati, hidup lagi, mati lagi, bangun lagi, tidur lagi, banguuun…tidur lagi. Pokoknya nggak ada kapok-kapoknya. Nyaris saja Subali putus asa sampai akhirnya dia sadar, kalau keduanya tidak bisa dibunuh bergantian, maka kenapa tidak dibunuh berbarengan? Jadi, dalam 1 kesempatan, kedua kepala kakak-beradik itu dicengkeramnya, dan dengan kekuatan luar biasa 2 kepala itu saling diadu. Bruag! Kedua kepala itu pecah berantakan. Kedua pemilik kepala itu pun mati tanpa bisa hidup lagi. Darah yang berwarna merah menggenangi tanah Gua Kiskenda…bercampur dengan warna putih, warna benak mereka berdua. Subali menang, dia terduduk lemas kecapekan.
Sementara, Sugriwa yang berjaga di luar gua menganga tidak percaya. Genangan yang keluar dari dalam berwarna merah bercampur putih. Itu berarti musuh tewas, tapi Subali, kakaknya, juga mati. Sambil sesenggukan dikeluarkannya kekuatannya. Mulut gua ditutupnya dengan batu yang luar biasa besarnya. Selanjutnya melesatlah Sugriwa ke Kahyangan. Terisak-isak, melaporlah dia kepada Batara Indra.
Batara Indra turut berduka. Tapi janji tetaplah janji, apalagi ini janji dari para dewa. Jadi meskipun Subali-lah yang membinasakan Mahesasura dan Jatasura, Sugriwa bukan berarti tidak punya jasa. Dan berhubung Subali sudah tiada, maka Sugriwa-lah yang dinikahkan dengan Dewi Tara.
Setelah beberapa hari memulihkan tenaga kembali, Subali meraung marah. Bajingan! Pintu gua ditutup oleh adiknya. Maka bagaimana dia bisa melenggang keluar? Ini pasti akal-akalan adiknya untuk mengklaim hadiah dari dewa, pikirnya.
Dasarnya Subali memang sedikit (kalo nggak mau dibilang banyak) lebih sakti dari Sugriwa, apa yang dibangun oleh Sugriwa pastilah bisa dihancurkan oleh Subali, dan apa yang ditutup oleh Sugriwa pastilah bisa dibuka oleh Subali. Maka batu yang menutup mulut Gua Kiskenda pun ambrol diterjang amukan Subali. Dalam sekejap mata pula Subali melesat ke Kaendran, istana Batara Indra, berniat mengadukan tindak penipuan yang dilakukan adiknya sendiri.
Tapi, oh, tapi begitu di Kaendran dia melihat Dewi Tara sedang berasyik-masyuk dengan Sugriwa, meledaklah marahnya. Sugriwa yang baru saja mau mengucapkan pledoinya jadi tidak sempat berbuat apa-apa. Beliau yang terhormat yang masih menyandang predikat temanten anyar itu langsung dihajar habis-habisan. Sugriwa bukannya tidak melawan. Tentu saja dia melawan, dan hasilnya Kaendran jadi berantakan.
Tapi, oh, tapi lagi, seperti yang ta’bilang tadi, hari itu Subali sedang jadi lakon. Maka lama-kelamaan, akhirul kalam Sugriwa pun dijadikan sansak hidup, dipiting, dibanting, dan diseret-seret. Untung aja jaman itu belum ada sepeda motor. Jadi ya nyeretnya nggak pake sepeda motor. Coba saja kalo sudah ada, ya entah bagaimana jadinya nasib Sugriwa…
Untung beribu untung, meskipun telat (macam pulisi India) Batara Indra segera turun-tangan. 2 anak kera itu dilerai segera. Atas pertimbangan dan masukan dari berbagai pihak, juga setelah Subali mendengar pembelaan diri dari adiknya, dengan legawa Subali merelakan Dewi Tara. “Lebih baik saya kembali bertapa sahaja. Siapa tau dapat wangsit nomor togel tembus 4 angka,” katanya. Bahkan, Gua Kiskenda yang sekarang sudah kosong diusulkannya pula supaya Sugriwa bisa diangkat jadi raja di sana. “Sudah berani menggagahi anak gadis wayang ya sebaiknya jangan lagi diajak menggelandang keluar-masuk hutan, Wa. Nanti dipikir sama wayang lain, mentang-mentang wis tau ngrasakke, saiki wedok’e disio-sio nasibe,” ceramah Subali lagi.
Begitulah. Dengan demikian Sugriwa hidup mulia. Hemat tenaga, tugas diselesaikan kakaknya, dapat Dewi Tara, ealah…ketambahan pula jadi raja.
Maka berdasarkan shohibul hikayat di atas, kejadian Mahesasura-Jatasura itu sudah lama sekali dituntaskan sama Subali, oomnya Hanoman. Alhasil akunya ya jadi gemes aja ketika menonton drama musikal ini. Ditambah si pelakon Batara Surya nan kampret yang sepanjang pertunjukan berakting dengan kualitas yang – menurutku, lho – layak dilempari botol Akuwa (baca: Aqua, bego!), komplit sudah kekecewaanku malam itu. Orang-orang yang sudah kelamaan tinggal di Jakarta bolehlah memberi 2 jempol pada pertunjukan garapannya Mirwan Suwarso ini, tapi buat orang yang tau kalo nama pertapaannya Hanoman itu adalah Kendalisada dan gelarnya setelah madeg pandita adalah Resi Mayangkara, pertunjukan kemarin itu adalah pementasan dengan naskah yang lumayan fatal.
Maka tidak heranlah ketika aku nyampe di rumah adikku langsung meledek, “Gimana? Sudah ta’duga kamu pasti kecewa. Itu tontonan buat orang Jakarta, soalnya.”
Atau sebaiknya kuikuti saja sarannya Oelpha, kalo mau nonton pentas wayang orang di Jakarta, nonton saja Wayang Orang Bharata di bilangan Pasar Senen sana?
Atau aku harus lari ke hutan belok ke pantai?
batuk yang tibatiba mendera semakin menguatkan niat saya untuk tidak (jadi berangkat) menonton pertunjukan itu tp setidaknya garagara drama musikal (goblok) itu, lapaknya yang termasyur paman patih arya sumandono jadi up(to)date lagi.. :v
Ada yang kecewa berattttt…
Udah bikin woro-woro mau nonton dengan menggandeng anak gadis orang.
Pake ngambek gak ni? π
Artinya mas udah expert, mungkin bakat terpendam π
ipeh:::
alasan saja kamu, saripah. bilang saja tiada uang. habis perkara π
bidadari bandel:::
siapa yang ngambek? gadisnya?
Raffaell:::
terkubur, lebih tepatnya. dan yang namanya mbongkar kuburan itu konon bisa kualat. makanya sampe sekarang tetap di situ2 sahaja π
Waha.
Ini ulasan keroso banget gemes nya.
Matur suwun Mas joe.
Besok2 lanjut nonton wayang wong di senen aja wis.
Hampir aja beli tiketnya. Keraguan menghinggapi di saat-saat terakhir, disusupi rasa curiga bahwa pagelaran kali ini adalah “tontonan buat kaum urban”.
Tenan to… Heheh…