Awas spoiler! Antum sudah ana feringatkan.
Sebagai mantan calon pemain timnas bal-balan Endonesa, kapan hari kemarin aku dapat undangan kehormatan buat nonton pertunjukan perdananya “Garuda 19” di bioskop. Tapi supaya kalian, duhai pembaca nan budiman, tiada iri dan heran, bagaimana ceritanya, kok, aku sampai bisa dapat undangan kehormatan, baiklah…aku ceritakan sahaja kalau aku dapat undangannya dari Oelpha, yang Minggu besok ini mau kawin itu, yang kebetulan kenal sama penulis skenarionya film terbesut, aeh, tersebut.
Sempat molor dari jadwal pemutarannya yang jam setengah 10 malam, akhirnya aku masuk ke gedung bioskop juga sekitar jam setengah 11-an. Diawali dengan sedikit sambutan basa-basi dari Oom Andibachtiar Yusuf selaku pak sutradaranya, setelahnya film pun dimulai yang dibuka dengan adegan adu penalti pas final Piala AFF lawan Vietnam kemarin ini yang berakhir dengan kemenangan Endonesa 7-6.
Habis itu diputar pula video klip “Hati Garuda”-nya Letto sebagai soundtrack-nya film ini. Kemudian adegan dilanjutkan dengan monolognya Yazid yang sedang tidur-tiduran di atas perahunya yang mengapung di tengah laut. Yazid menyukai sepakbola. Sangat. Bahkan Yazid berkata, walaupun besar di laut, kecintaannya ada di darat, karena di darat terdapat permainan terindah di dunia: sepakbola. Dan setelahnya cerita pun bergulir.
Seperti yang paling-paling sudah bisa kalian tebak, oh, pembaca, film ini menceritakan tentang timnas U-19 Endonesa, di mana Coach Indra Sjafri berjibaku mengumpulkan anak-anak muda dari seluruh penjuru Endonesa untuk dikumpulkan menjadi punggawa tim nasional kita. Di awal-awal film, adegan difokuskan pada proses berburu dan meramu itu sendiri, yang pada akhirnya ditemukanlah Muhammad Sahrul Kurniawan dari Ngawi untuk mengisi posisi bek, Yabes Roni Malaifani dari Alor, pengidola Ronaldikin Ronaldinho Gaucho nan hobi memamerkan dribelnya layaknya idolanya, dan tentu saja Labio Yazid Randuala dari Konawe Selatan. Ketiganya pada akhirnya diangkut Coach Indra untuk pemusatan latihan di Jokja, bergabung dengan pemain dengan VO2max paling yahud sak timnas Endonesa, El Capitan Evan Dimas.
Ah ya, khususon tentang Yazid, di awal film aku sendiri sempat bingung, ini siapa? Aku nggak pernah nemu namanya dalam daftar pemain timnas U-19. Ada juga pemain bola bernama Yazid yang kukenal ya legendanya Prancis itu, yang karir bolanya ditutup dengan tragis. Iya, Yazid yang itu. Yang nama komplitnya adalah Zinedine Yazid Zidane. Maka kuanggap saja Yazid ini sekadar bumbu pemanis film, seorang tokoh imajiner yang pengennya didapuk sebagai pasangan emasnya Evan Dimas. Jadi, kalau Evan Dimas itu Tsubasa Ozora maka Yazid adalah Taro Misaki.
Selanjutnya dalam film ini juga kebejatan PSSI seolah diblejeti. Induk organisasi sepakbola kita itu dikisahkan mengulang kebiasaan lamanya, such as nunggak bayaran hotel, ngebon gaji staf timnas, sampai lupa nyediain logistik buat prajurit Garuda. Entah benar, entah pula tidak, Coach Indra sampai nebok celengannya sendiri buat membiayai latihannya anak-anak Garuda itu. Kampretnya PSSI, di film ini Coach Indra – yang diperankan sama Mathias Muchus yang kumis palsunya bikin geli itu – malah bilang, “Tidak elok berhitung sama negara,” sewaktu diwanti-wanti sama istrinya via telepon seputar kondisi keuangan keluarganya sendiri yang terancam gara-gara ulah PSSI.
Di sini aku bersyukur, yang jadi Coach Indra bukan Wahyu Sardono. Seandainya yang jadi Coach Indra itu Mas Wahyu, nggak mungkin ada respon bijak macam di atas. Yang ada malah jawaban, “Insyaallah, Bos!”
“Insyaallah apa, hayawww?”
“Insyaallah kita bangkrut!”
π
Tapi walaupun penuh nasionalisme ala Coach Indra, film ini bukan tanpa cacat. Kekurangan yang paling mencolok buatku adalah gara-gara syuting yang di Jokja itu sendiri. Sebagai warga Sleman tentu saja aku nyaris apal semua sudut kota Jokja (kecuali gang-gang mblusuk di daerah Pasar Kembang). Adegan latihannya timnas yang memakai Stadion Pancasila sempat menjadi 1 cacatan tersendiri buatku.
Dikisahkan timnas U-19 terusir dari latihannya sendiri gara-gara lapangannya mau dipakai sama timnas senior buat latihan juga. Yang junior akhirnya ngalah sama seniornya. Mereka milih pindah sambil lari sejauh 5 kilometer ke Alun-alun Kidul buat latihan. Di situ mereka ketemu sama anak-anak esema yang lagi make lapangannya. Anak-anak itu ditanya, sudah berapa lama mereka main? Kalau sudah lama, mbok ya gantian. Mereka mengiyakan. Tidak lupa mereka juga ditanya, dari esema mana?
Jawab salah satu dari mereka, “Piri.”
Blaik!
Ini cacat!
Sungguh, ini cacat!
Sejak kapan anak-anak Piri bisa langsung disuruh pergi baik-baik tanpa pertumpahan darah terlebih dahulu? π Buat penonton Jakarta mungkin ini bukanlah hal yang janggal. Tapi buat yang pernah tinggal lama di Jokja dan paham peta tawuran antar sekolahan di sana, ini adalah adegan yang menggelikan. Piri itu seperti Suzuran-nya Jokja, John
Lalu, gara-gara nunggak hotel, timnas U-19 terpaksa terusir ke hotel yang lebih murah. Proses perpindahan ini seharusnya cukup membuat kita bersimpati karena pasukan Garuda itu sampai pindah hotel dengan jalan kaki saking nggak disediakan transportasi sama PSSI. Hanya saja adegan awal jalan kakinya mereka kedapatan oleh mataku melewati Plengkung Gading. Dengan begitu kuasumsikan bahwa hotel tempat awal mereka menginap ada di dekat-dekat daerah situ.
Lho? Lha? Ha, tadi latihannya di Pancasila, nginep di dekat Plengkung Gading, lha, terus pas diusir sama timnas senior akhirnya latihannya di Alun-alun Kidul. Ngeri betul…tega benar PSSI ini! Jadi tiap hari anak-anak Garuda itu disuruh jalan kaki dari Plengkung Gading buat latihan di Pancasila? Ini berarti nginep di daerah selatan, disuruh latihan di daerah utara, nggak disediain transport pula! Buatku ini agak nggak masuk akal. Tapi kalaupun itu benar, memang kampretlah sudah PSSI ini! π
Berikutnya, saat adegan klimaks versus Korea Selatan, pas laga terakhir Kualifikasi Piala Asia U-19, Endonesa dikisahkan unggul 1-0 terlebih dahulu. Kemudian Korea menyamakan kedudukan setelah salah sebiji pemainnya sukses melewati lini belakang Endonesa. Terlihat jelas adegan di filmnya bahwa situasinya bukanlah bola mati. Pelatih dan penonton pada tegang. Yabes, yang keluarganya di kampung sudah tidak sabar menyaksikan permainannya, akhirnya dimasukkan ke lapangan oleh Coach Indra. Tukang dribel ini sukses mengacak-acak barisan bek Korea sampai akhirnya Capitan Evan mencetak gol penentu kemenangan. Skor berakhir 2-1 untuk Endonesa.
Hah?
2-1?
Sebentar…seingatku skor kemenangan Endonesa lawan Korea Selatan itu 3-2, deh. Dan yang perlu diingat pula, kedua gol Korea itu lahir dari situasi bola mati, bukan lewat proses giring-menggiring bola. Awur-awuran ini filmnya.
Lalu ke mana dan bagaimana dengan Yazid? Sehubungan monolognya di pembuka film, seharusnya Yazid punya peran yang lumayan dominan, dong, di laga klimaks. Iya, kan?
Tapi sayangnya nggak begitu.
Seperti yang kubilang tadi, bahwa aku belum pernah nemu nama Yazid di daftar anggota Garuda Jaya, di film ini Yazid diceritakan mengalami cidera bahu sebelum timnas berlaga di Kualifikasi Piala Asia U-19. Yazid harus beristirahat total selama 6 bulan dan akhirnya pulang kampung ke Konawe Selatan. Emosi Yazid sewaktu menerima vonis itu seharusnya jadi adegan mengharukan. Dipaksa harus berhenti setelah tinggal sedikit lagi meraih mimpi memang menyakitkan. Yazid dipeluk erat oleh Coach Indra yang kehabisan kata-kata.
Maka saat menonton rekan-rekannya berlaga via layar kaca di udiknya bersama keluarganya, adik Yazid berkata, “Seharusnya kakak juga ada di sana.”
Jawab Yazid, “Mereka kakak-kakakmu juga.”
Yeah, seharusnya itu memang adegan yang mengharukan. Dan kayaknya penonton lain di bioskop malam itu bisa mendapatkan feel-nya. Tapi sayangnya tidak denganku. Tidak karena Yazid cuma divonis 6 bulan tidak boleh main bola, sementara aku kenal dengan sangat baik sama 1 anak yang karir sepakbolanya buyar seumur hidup gara-gara vonis kelainan fungsi hati. Sama seperti Yazid yang terganjal di detik-detik akhir, anak ini juga terhenti saat tinggal berangkat sebagai bagian dari Perseden U-14 untuk mengikuti Piala Djamiat Dalhar, turnamen U-14 nasional, yang kebetulan pas edisi kali itu menjadi turnamen U-14 kelas nasional terakhir gara-gara sama PSSI tidak pernah diadakan lagi sampai detik ini. Bedanya, kalau Yazid cuma disuruh berhenti 6 bulan sahaja, anak ini seumur hidupnya tidak diizinkan menjadi atlit sepakbola profesional. Nanti kalian ta’kenalkan sama anak itu kalau kebetulan kita pas ngaca plus sisiran bareng
Secara keseluruhan film ini cukup ditonton di rumah sahaja, tidak perlu sampai bela-belain ke bioskop. Mau donlot bajakannya juga boleh. Terserah situ. Tapi itu dosa. Kalau besok masuk neraka ya jangan ajak-ajak beta. Scene yang menurutku meloncat-loncat membuatku kurang bisa menikmatinya. Ceritanya jadi nggak mengalir mulus dan halus. Jadinya malah kayak nonton semi dokumenter sahajalah ini film, kayak nonton channel NatGeo ketimbang nonton HBO.
Akhirul kalam, yang membekas dari film ini – sekali lagi, buatku – ya cuma video klip dan lirik lagu “Hati Garuda” dari Letto yang cukup membuat gemuruh di dada. Entah kenapa di lagu ini aku dapat banget rasa nasionalismenya Letto. Akibatnya, beberapa hari belakangan, lagu ini kusetel saban pagi.
Inilah langkah kami tak berhenti
Menatap matahari menaklukkan mimpi
Seperti batu karang yang berdiri
Suara kami lantang seperti genderang perang
Yang membelah kebuntuan
dan membawa kita menuju kemenangan
Berikan semua jiwa dan raga
Hati Garuda siap berlaga
Berikan semua yang kita punya
Hati Garuda akan bisa terbang tinggi ke angkasa raya
Lihat keringat kami tak berhenti
Dengarkan janji kami…
Lalu siapa lagi yang berani
Jika bukanlah kami yang meneruskan mimpi
Tuk membuatnya terjadi dan menjadi bukti dari keteguhan hati
Dan tentu saja gemuruh di dada itu tadi bisa juga sangat dipengaruhi oleh video klipnya. Stadion Pancasila terekam beberapa kali di situ. Maka alasan kenapa aku sangat menyukai lagu ini jadi bisa ditebak. Yeah, semuanya karena aku merindukan bau rumput Stadion Pancasila, stadion kebanggaan Gadjah Mada, tempat di mana aku pernah menjejakkan kaki, berlari, dan menggiring bola di atasnya.
Yeah, aku kangen kampus, aku rindu Jokja.
Tuh kan.. Emang pas banget ngajak dirimu nonton ini film. Jadi bisa dapet sisi lain cerita yg aku belum tau sebelumnya. Tapi kok kamu nggak bawa bukumu yang tersohor itu? Aku kan pengen baca-baca juga..
sudaaaah…sana kawin dulu. enak, kok. sakitnya cuma bentar. sungguh! π