Fesbuk ini makin lama makin menjengkelkan. Betapa tidak, timeline-ku penuh dengan share-share-an berita geblek yang nyinggung kebencian antar golongan. Awalnya, sih, lucu. Aku suka geli sendiri ngeliat banyaknya orang bahlul di Endonesa ini, mulai soal demo-demoan November dan awal Desember kemarin, sampai gosip soal air mineral cap Equil, boikot Sari Roti, dan Metro TV. Hanya saja segala yang berlebihan itu memang nggak baik. Lama-kelamaan jadilah aku eneg sendiri.
Seorang sejawat yang lagi kuliah di Leicester bahkan mengingatkanku soal keeneganku. Katanya, “Jangan terlalu dipikirin, Mas Joe. Nyabun dulu aja.”
Semprul!
Tapi pada beberapa kondisi saran beliau memang jitu. Setelah nyabun biasanya pikiranku jadi plong, bebas dari hawa nafsu. Cuma tiap buka Fesbuk lagi, eee…tolol-tolol ini rupanya masih berkeliaran. Jadinya ya lumayan repot juga. Masak iya aku harus nyabun 5 kali dalam sehari? Dalam seminggu berapa istri orang yang harus jadi bahan fantasi kalau macam begini?
Maka jelas, sejitu-jitunya saran buat nyabun, akhirnya aku lebih milih melampiaskan kekesalanku buat nulis di sini. Daripada numpuk di sanubari, bisa-bisa aku malah jadi korban penyumbatan pembuluh darah di otak, kan? Seenggaknya dengan nulis di sini kalian bisa tahu betapa aku kesal sama kalian, setan! Seenggaknya juga, kalau kalian tahu aku ini kesal sama kalian, kalian bakal sungkan buat nodong traktiran ke aku kalau nanti kita ketemu.
Dengan begitu duit jatah nraktir kalian bisa kukonversi buat beli ebook di Google Play yang akhir-akhir ini jadi hobiku.
By the way, kampret juga ini Google Play. Koleksi ebook-nya makin banyak yang bermutu, which is tidak baik untuk kelangsungan rekening bank-ku. Lha sekali ngintip bisa 5 ebook kebeli sekaligus, je…
Oke, kita kembali ke kekesalanku.
Pada intinya kekesalanku berawal dari ketidak-habis-pikiranku terhadap 2 tipe homo sapiens. Dan karena ribut-ribut di media sosial akhir-akhir ini dikarenakan perdebatan soal agama, ketidak-habis-pikiranku jelas dikarenakan cara 2 jenis manusia ini dalam memandang ajaran agama. Islam, dalam hal ini.
Ada 2 tipe manusia yang memandang agama sebagai hal radikal yang harus ditempuh. Yang 1 mati-matian bersemangat menjalaninya, yang berikutnya adalah yang muak terhadapnya. Buatku, yang pertama adalah orang blo’on, pun yang kedua adalah manusia dengan level kebegoan yang start-up, aeh, setaraf. Bagai 2 sisi koin dengan nilai nominal “goblok”, sisi mana pun yang kulihat tetap saja adalah wujud dari koin goblok yang sama.
Dalam pandanganku, mereka berdua ini sama-sama belum khatam kitab suci, malas atau malah nggak pernah ngaji, sama-sama masih di level syari’at, belum sampai hakikat apalagi ma’rifat. Apa parameternya? Parameternya ya itu tadi, sama-sama menganggap ajaran Islam adalah sesuatu yang kaku, nggak fleksibel, yang harus diterapkan sebagaimana apa yang tertulis di kitab sucinya.
Bedanya ya cuma di bagaimana mereka menyikapinya. Gerombolan pertama menganggap isi kitab suci harus diperjuangkan mati-matian sebagaimana bentuk tekstualnya, sementara geng berikutnya berpendapat bahwa teks tersebut adalah hal yang tolol sekaligus penganutnya adalah kaum barbar pengikut ajaran yang brutal. Maka jadilah Alqur’an Surat Al Maidah ayat 51 muncul sebagai polemik. Yang 1 berpendapat Pak Gubernur Basuki harus diganyang karena dianggap melecehkannya, yang 1 lagi berkesimpulan ayat tersebut adalah ayat intoleran, cuma bisa bikin keributan.
Intinya, kalau boleh menganalogikan dengan pernyataannya Rudolf Otto, 2 pihak ini sama-sama memandang Islam dari sisi tremendum-nya aja. Fascinans-nya? Lupa. “Lupa” itu sudah bahasa halus, lho, kalau nggak mau kusebut sebagai “malas dipelajari”. Islam dipandang melulu dari sisi syari’at-nya yang mengerikan, sementara aspek hakikat dan ma’rifat-nya – yang intinya adalah kasih sayang bagi seluruh semesta – nggak disentuh sama sekali.
Aku punya beberapa sejawat yang mengonversi keyakinannya, baik yang menggantinya ke agama sebelah ataupun yang mengubahnya dengan tidak menjadikan agama manapun sebagai jalan hidupnya. Saat ini mereka juga sama posisinya. Sama-sama di golongan yang kedua.
Lucunya, ada teman yang dulunya malah di golongan pertama. Yang kuingat, waktu jaman sekolah dulu dia hobi sekali menceramahiku dan beberapa teman lainnya yang rajin bolos jam pelajaran agama. Tidak jarang juga ketika ngobrol dengannya aku mendapati beberapa ejekan darinya untuk umat agama sebelah. Seingatku pula, kawan yang 1 ini juga mudah tersinggung ketika ajaran agama kami dijadikan bahan guyonan oleh teman lainnya. Waktu itu aku sempat kepikiran, wah, besok-besok sejawat yang 1 ini bakal jadi aktifis Islam radikal. Jangan dekat-dekat, ah. Nanti aku dikhotbahinya pula kalau dia tahu aku suka nongkrong bareng anak-anak ekskul teater buat minum arak tiap habis pentas
Sekarang aku geli sendiri kalau ingat penilaianku dulu itu terhadapnya, sodara-sodara.
Sekarang – entah karena alasan apa – yang bersangkutan sudah mengonversi keyakinannya. Agama yang dulu sering diejeknya sekarang berbalik dipeluknya. Ini lucu-lucu ironis. Bukan, bukan ironis karena aku nggak terima ada yang murtad dari agamaku. Bukan itu. Ini ironis karena yang tadi dipeluknya sekarang ganti diejeknya. Pindah ke manapun ternyata kelakuan dasarnya nggak jauh beda. Makanya aku geli.
Ada pula kenalan yang lain, yang dulunya sekeyakinan tapi sekarang beda karena berkesimpulan kalau Islam adalah agama yang nggak kenal kasihan, keras, kaku, nggak fleksibel, dan intoleran. Teman yang ini mengaku hobi membaca – sama sepertiku yang selalu mengaku-aku hobi membaca – dan menulis puisi. Maka sehubungan dengan kegemarannya, sempat pula beliau iseng kutanya, “Sudah pernah baca tulisan-tulisannya Mustofa Bisri? Atau Emha Ainun Nadjib?”
Tapi jawabannya adalah belum pernah. Ini lagi-lagi lucu-lucu ironis, yang lagi-lagi bukan ironis karena aku nggak terima ada yang murtad dari agamaku. Ini ironis buatku karena ini jadi kayak ada manusia sepantaranku yang mengaku penggemar sepakbola, yang nggak tau siapa itu pemain sekaliber Mursyid Effendi dan pelatih selegendaris Rusdy Bahalwan, jejak emas apa yang mereka tinggalkan untuk sepakbola Endonesa kala itu.
Pantas sahaja.
Dan masih ada saja ironi lain yang tercipta. Kali ini tentang diriku sendiri. Sehubungan dengan kekesalanku, sewaktu ngumpul di warung kopi kapan hari kemarin aku dan kumpulanku sempat mbahas soal polemik yang diawali pernyataannya Pak Basuki ini. Tentu kami tidak membahas masalah teks ayat kitab suci.
Tempat nongkrongku ini bukan tempatnya berdiskusi tentang azbabun nuzul-nya sebuah ayat, bagaimana kondisi sosial masyarakat di tempat dan di masa ayat tersebut turun, nasikh-mansukh-nya, dan arti turunan kata dalam bahasa Arab. Pokoknya kami nggak membahas hal-hal yang mungkin masih perlu ditelaah lagi oleh tipe manusia pertama dan kedua yang kusebut tadi. Berkelas dikitlah. Kami cuma membahas dari sudut pandang politiknya, kira-kira ada apa di balik polemik ini?
Saat itu tiba-tiba Oom Jens menyodorkan sebuah buku padaku. “Sudah pernah baca ini?” katanya sambil menyodorkan buku berjudul “Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia”. Buku yang ternyata belum pernah kubaca, yang membuatku sempat ternganga. Betapa tidak, nama-nama yang tertera ambil bagian dalam penyusunannya adalah Abdurrahman Wahid, Ahmad Syafii Maarif, dan A. Mustofa Bisri.
Ironis karena buku itu belum pernah kubaca. Lebih ironis lagi karena yang menyodorkan buku itu adalah Oom Jens, teman nongkrong yang justru beragama Kristen. Apa-apaan ini? Seorang yang mengaku beragama Islam diajari tentang Islam oleh seorang Kristen? Ironis betul. Mwahahaha… π
Tapi kemudian aku memaklumi diriku sendiri. Kabar burungnya (yang jelas bukan burungku atau burungnya Oom Jens), buku ini sempat beredar untuk kemudian ditarik lagi. Konon gara-gara isinya cukup sensitif. Hanya saja yang sudah terlanjur beredar tentu saja nggak bisa diapa-apakan, kan? Makanya aku beruntung akhirnya bisa membaca buku ini.
Selain sensitif, beberapa gosip di luar sana juga menyebut buku ini nggak ilmiah. Ada yang menyebut buku ini sangat subyektif, ada pula yang bilang, beberapa narasumber yang diklaim terlibat dalam penyusunannya mengaku kalau mereka aslinya nggak tahu apa-apa. Wajar, sih… Kalau sudah mbaca isinya kita pasti bakal paham kenapa banyak pihak yang akhirnya bilang, “Eh, saya nggak tahu apa-apa, lho. Jangankan dibayar, dilibatkan aja juga kagak. Yakinlah sumpah!”
Gimana enggak, buku ini menulis tentang latar belakang dan afiliasi kelompok Islam garis keras di Endonesa dengan kelompok-kelompok garis keras lainnya di luar negeri, misalnya Ikhwanul Muslimin dari Mesir. Buku ini juga mengupas agenda dan cita-cita Wahabi Arab Saudi tentang fundamentalismen Islam untuk diterapkan di seluruh dunia, juga metode-metode yang digunakannya. Luar binasanya, buku ini juga nggak malu-malu menyebut nama-nama sebangsa Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), sampai juga Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai gerombolan yang perlu diwaspadai kepengen memaksakan berdirinya negara Islam di Endonesa, yang notabene mengancam kebhinnekaan di republik ini.
Di sisi lain, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah – sebagai ormas Islam moderat – dituliskan mengalami kerepotan pula sehubungan dengan infiltrasi mereka. Muhammadiyah bahkan dikisahkan sudah menerbitkan Surat Keputusan Pengurus Pusat (SKPP) Muhammadiyah yang isinya melarang dan mengingatkan bahwa partai politik – dengan agenda politiknya, meskipun membawa cap Islam – adalah tetap partai politik. Politik adalah sebuah perkara yang bukan cita-cita Muhammadiyah. SKPP tersebut bahkan nyata-nyata menyebutkan nama PKS, gara-gara Muhammadiyah merasa kader-kader PKS yang menyusup ke Muhammadiyah berusaha menguasai Muhammadiyah dalam rangka memperlancar agenda politik mereka.
NU mengeluhkan banyak masjid-masjidnya yang dikuasai oleh kelompok radikal ini. Modusnya adalah dengan menyusup pelan-pelan, ikut aktif di kegiatan NU sampai akhirnya dipercaya menjadi pengurus, minimalnya takmir masjid, dan kemudian memasukkan rekan-rekannya untuk mengubah budaya NU menjadi budaya yang mendukung cita-cita mereka.
Pendeknya, apapun akan mereka lakukan untuk mendirikan negara yang berdasarkan syari’at Islam, entah dengan cara radikal menentang sistem pemerintahan di republik ini (HTI) ataupun dengan menyusup lebih dahulu untuk menguasai perlahan-lahan dari dalam (PKS).
Sayangnya, apapun yang dicita-citakan oleh ormas-ormas radikal ini, semuanya hanya di level syari’at, bukan penegakan Islam secara hakikat. Inilah yang kemudian dikhawatirkan akan menimbulkan bentrok antar golongan di Endonesa, termasuk potensi bahaya yang ditimbulkan oleh berlakunya perda-perda yang berlandaskan syari’at Islam. Pada gilirannya, aturan dengan kesan keras dan kaku akan menimbulkan imej Islam sebagai agama yang tidak humanis, jauh dari kasih-sayang untuk seluruh alam semesta.
Tidak lupa juga buku ini menulis tentang kerancuan di tubuh MUI dan mengapa MUI bisa seperti sekarang ini: mudah mengobral fatwa. MUI sudah dikuasai agen-agen radikal ini, soalnya. Misalnya, wakil-wakil MUI dari Muhammadiyah atau NU yang ada di situ tidaklah murni mewakili 2 ormas tersebut, melainkan ya agen-agen yang sudah menyusup lebih dahulu ke dalam 2 ormas itu. Mereka “dipilih” oleh tandem mereka sendiri yang sudah lebih dulu ada di MUI. Makanya nggak heran kalau pandangan-pandangan MUI akhir-akhir ini suka bentrok dengan pandangan tokoh-tokoh sepuh dari NU juga Muhammadiyah π
Tambahan lainnya, sayap-sayap ormas radikal ini juga sudah masuk ke institusi pendidikan. Lewat kelompok-kelompok kajian kalau di universitas, atau lewat kegiatan kerohanian Islam (rohis) kalau di sekolah-sekolah. Makanya, walaupun eneg, aslinya aku nggak heran dengan 2 jenis makhluk di awal tulisanku ini. Lha, kalau sejak muda dicekoki tema-tema kaku dan radikal macam begitu, pilihan buatmu ya cuma 2: ikut-ikutan jadi nggak fleksibel atau lama-lama muak dengan sendirinya. Nggak kaget aku…wong dari kecil sampai sekarang ngajimu itu cuma sebatas level syari’at melulu, sih.
Dalam hal ini aku bersyukur gede di Denpasar. Aku jadi nggak kenal dengan kegiatan rohis. Aku juga diuntungkan dengan privilege-ku. Pendidikan formal pertama yang kuterima adalah sebagai kader Muhammadiyah, ngaji di sore hari yang kulakukan dikawal sama guru ngaji dengan latar belakang NU, gedean dikit aku lebih suka genjrang-genjreng mainan gitar di lobi kampus ketimbang nggabung dengan kegiatan-kegiatan keagamaan. Paling pol aku cuma terlibat kalau ada urusan bakti sosial atau ada temen yang minta bantuan bikin dekorasi buat acaranya (pernah dengan rokok nyelip di bibir, rambut gondrong semiran pirang ala Mamiek Podhang, anting di telinga kiri, dan celana jeans robek di dengkul, aku motong-motongin gabus di tempat mereka ngumpul. Besoknya teman yang ngajak aku diprotes teman-teman seorganisasinya. Kehadiranku nggak direstui, hahaha). Jadilah sampai sekarang aku masih terfilter bahwa kalau mau bicara Islam, ya ayo kita bicara soal hakikat, hakikat, dan hakikat.
Soal sayap radikal di kampus ini, ada cerita geblek tentang temanku lainnya. Suatu hari sejawat tersebut pernah cerita ke aku, pengen gabung dengan sayap ormas yang dimaksud. Selang seminggu kemudian aku ketemu dia lagi di lobi kampus. Basa-basi busuk, bertanyalah aku, “Gimana di sana? Seru?”
“Seru apanya? Aku keluar,” jawabnya.
“Lha?!” aku kaget. “Baru juga seminggu. Kenapa?” tanyaku.
“Masak aku disuruh mbunuh bapakku.”
“Lho, lha, piye tho?”
“Lha, masak aku nggak boleh ngerokok. Aku arep mateni bapakku dhewe opo piye?” tanyanya retoris.
Aku ngakak. Temanku itu asli Temanggung. Bapak-ibunya petani tembakau. Soal rokok yang diharamkan di organisasi tersebut, terang aja bikin dia jadi misuh-misuh. Daripada kena sanksi dan dikeluarkan, mending dia duluan yang keluar sendiri.
Balik lagi ke buku ini.
Perkara buku ini disebut subyektif, sebenarnya aku setuju. Aku ngerasa banget betapa gemesnya penulis buku ini sama gerakan Islam radikal. Beberapa kalimatnya menunjukkan hal itu secara kuat. Mungkin segemes aku sama kalian, baik yang membuat imej Islam ini menjadi buruk ataupun kalian yang menyalah-pahami Islam lewat kelakuan sekelompok oknum radikalnya. Beberapa cerita bahkan diulang-ulang beberapa kali untuk menguatkan kesan bahwa kelompok garis keras ini memang sebegitu semprulnya. Nggak heran kalau kemudian banyak pihak yang nggak suka dengan buku ini. Lha, siapa, sih, yang suka dibilang penjahat, tukang bikin onar? Sama tho kayak kalian. Kalian juga nggak suka, kan, kubilang goblok?
Maka walaupun aku juga merasa kalau buku ini subyektif, aku bersedia menerima subyektifitas tersebut. Setidaknya lewat buku ini aku merasa tetap ada pihak yang berusaha menunjukkan bahwa Islam tidaklah seperti Islam yang dikenal oleh 2 tipe begajulan di atas. Islam tidaklah keras dan kaku seperti apa yang mereka rasa. Islam bahkan tetap membuka ruang diskusi untuk pihak yang merasa kalau Islam tidaklah membuka ruang diskusi. Rahmat untuk seluruh semesta itu memang bukan slogan pura-pura belaka.
Akhirul kalam, kepada yang terhormat 2 jenis makhluk blo’on yang kumaksud sebelumnya, bacalah buku dalam format elektronik ini. Supaya apa? Selain supaya pikiran mampet kalian itu sedikit ada celahnya, ini juga supaya aku nggak merasa percuma karena aku sudah menyediakan link download-nya π
Waduh, bukunya kayaknya seru. Ini beneran udah ditarik dari peredaran, Mas? Padahal saya tipe yang lebih suka baca buku fisik.. *ngomong gitu sambil klik download*
Ngomong-ngomong, saya enaknya manggil Mas atau manggil Om? .__.
beneran atau enggaknya, sih, saya nggak tau. makanya saya tulis kalo itu masih gosip. buku fisik ya? kalo pake e-reader juga nggak tertarik? π
umur saya baru 23, kok. jadi mau panggil nama pun juga ga masalah. hahaha