Akibat terlalu sibuk kuliah, aku baru tahu kalo tanggal 16 November kemarin ternyata diperingati sebagai International Day for Tolerance. Yang beginian memang seringnya suka luput dari pengamatanku. Hal ini tentu saja ada sebab-musababnya. Yang pertama, karena Sherlock Holmes ternyata tidak tahu mana yang benar antara geosentris dan heliosentris. Katanya, yang kayak gituan nggak ada mangpa’atnya, nggak banyak membantunya dalam memecahkan suatu perkara. Jadi ta’amini saja pendapat idolaku itu: Apa gunanya memahami sesuatu yang nggak jelas tujuan dan paedahnya dalam hidup kita?
Yang kedua, aku nggak terlalu peduli dengan simbol dan cap diri yang sekadar berkutat di kulit luar. Buatku, menghayati atau tidaknya seseorang dalam bertoleransi tidak ditentukan dari tau-enggaknya yang bersangkutan kalo Hari Toleransi Internasional itu jatuh tanggal berapa. Seberapapun getolnya aku membangun brand kalo aku ini orang yang menjunjung tinggi toleransi, toh pada akhirnya hakikat kelakuankulah yang bakal menentukan nilai diriku di mata orang lain. Percayalah. Buktinya, aku selalu bilang ke orang-orang kalo aku ini manusia brengsek yang hobi nggedabrus, tapi nyatanya sedikit sekali jumlah spesies manusia yang benar-benar mau percaya. Uwahahaha…
Cuma saja beberapa hari terakhir ini kondisinya memang lagi cocok. Hari Toleransi Internasional ini jadi menarik buat kusinggung gara-gara beberapa perkara soal ribut-ribut di Endonesa, mulai dari Demo 411 tanggal 4 November kemarin yang disusul dengan ledakan bom di gereja di Samarinda sana, sampai juga soal orang-orang Rohingya. Yang terakhir ini memang bukan di Endonesa, sih, tempatnya. Tapi ya gitu itu…orang Endonesa itu, kan, suka ambil bagian untuk urusan semacam yang terakhir ini.
Di timeline media sosialku berserakan ucapan duka-cita sekaligus sumpah-saripah, eh, sumpah-serapah. Beberapa oknum yang ada di friendlist-ku bahkan ada yang mulai coba-coba nyari kambing hitam, soal (si)apa yang harus disalahkan dalam tragedi kemanusiaan ini. Pola yang jamak kulihat adalah mereka mencoba menyuarakan keprihatinannya dengan modal lagu “Imagine”-nya John Lennon. Lagu yang menurutku punya cita-cita yang bagus, yang sayangnya tidak disertai landasan argumen yang pas, ngasal, dan terkesan nyari gampangnya:
Imagine there’s no heaven
It’s easy if you try
No hell below us
Above us only sky
Imagine all the people living for today
Imagine there’s no countries
It isn’t hard to do
Nothing to kill or die for
And no religion too
Imagine all the people living life in peace, you
You may say I’m a dreamer
But I’m not the only one
I hope some day you’ll join us
And the world will be as one
Imagine no possessions
I wonder if you can
No need for greed or hunger
A brotherhood of man
Imagine all the people sharing all the world, you
Betul-betul lirik yang inspiratif, kan?
Tentu saja ini lirik yang sangat menginspirasi, setidaknya untuk beberapa sejawatku. Gara-gara lirik di atas itulah aku jadi suka geli kalo ngobrol sama mereka. Bagi mereka, agama dengan konsep surga dan nerakanya, negara, serta harta-benda adalah penyebab segala huru-hara di muka bumi ini. Pokokmen setiap ada ribut-ribut, gampanglah ditebak apa penyebab utamanya. Malah ada juga sejawat yang saking sinis dan yakinnya bahwa, agama itu cuma bisa bikin hidup jadi kacau, lantas yang bersangkutan selalu memproklamirkan dirinya sebagai “seorang ateis yang dulunya Muslim”. Lucu aja ngeliatnya. Apa, sih, urgensinya ngasih tau ke orang-orang kalau “sekarang kita ini ateis, TAPI dulunya kita ini orang Islam, lho…”? Supaya keliatan sebagai bekas Muslim yang rebel, gitu? Ha, terus kalau keliatan rebel memangnya kenapa? Keren po?
Yang kayak gitu, buatku, ya kesannya murahan aja. Semurahan orang yang bilang, “Dulu, sih, saya Kristen. Tapi sekarang saya Muslim, dong.” Aku nggak bisa untuk tidak menilai pernyataan macam demikian sebagai ego buat meninggikan yang 1 sambil meledek yang lainnya, yang pada gilirannya ledekan akan berbalas ledekan untuk kemudian berubah jadi ribut, berantem, lantas tawur massal. Dalam hal ini, menurutku, almarhum Mbah Surip masih jauh lebih berkelas. Mbah Surip toh cuma kepengen RT, RW, Carik, Lurah, dan orang-orang lainnya tahu kalau dia sekarang sudah ganteng dan sudah sembuh.
Yeah, maka tentu saja kesimpulan bahwa agama adalah sumber ketidak-damaian jelas salah. Ateis pendukung Persib Bandung yang nyinyir tentang Persija Jakarta juga bisa jadi sumber masalah, kok. Soalnya bukankah sudah jamak kalau di isme apapun pasti ada trouble maker-nya, sewajar tiap klub sepakbola pasti ada hooligan gobloknya? Khususon di beberapa sejawatku itu, mereka lupa, agama pula yang mendasari jalan hidup orang-orang model Mamak Teresa, Dalai Lama, Paus Fransiskus, Ahmad Syafii Maarif, Ajahn Brahm, atau Gus Mustofa Bisri.
Lalu negara. Situ yakin kalau setiap perang antar negara itu penyebabnya adalah keberadaan masing-masing negara itu sendiri? Enggak juga! Apa sampeyan pikir Perang Troya itu terjadi cuma gara-gara keberadaan 2 bangsa an sich, Sparta dan Akhaia? Kalau iya cuma seperti itu, lalu perannya Mbak Helen apa, dong? Atau coba inget masa muda ente. Jaman dulu itu, kalau malah bukan sampeyan sendiri, ada nggak teman sampeyan yang berantem gara-gara rebutan cewek? Cuma saja, berhubung nggak pada tempatnya kalo kita bilang bahwa, wanita adalah sumber bencana, apa lantas jadi logis kalo teman sampeyan yang berantem itu kita sebut berantemnya gara-gara sengketa perbatasan antar 2 negara?
Lagian, situ beneran pengen nggak ada perbedaan negara lagi di dunia ini? Bah, macam Hizbut Tahrir aja klean ini jadinya. Maunya cuma ada 1 tata-kelola pemerintahan sahaja untuk seluruh dunia 😈
Harta-benda? Yakin? Kira-kira kalau ada mamak-mamak rese’ yang nyerobot antrian di depan kasir, apa yang bikin kita mangkel? Belanjaannya yang lebih banyak bin lebih mahal dari belanjaan kita atau kelakuannya yang nyerobot antrian?
Itulah, John… Itulah makanya kubilang sebenarnya liriknya Oom Lennon itu awur-awuran belaka. Kita ini jadinya suka menimpakan kesalahan ke pihak yang sebenarnya netral-netral aja. Sepakbola, Helen of Troy, teman cewek yang jadi idola waktu kita esema, sampai dengan mesin kasir, sebenarnya semua itu hal yang netral, yang nggak pada tempatnya untuk disalah-salahkan kalo kebetulan ada tawuran. Begitu juga dengan agama, negara, serta harta-benda.
John, perihal kelakuan oknum umat beragama yang hobi cari ribut, suka memaksakan penafsiran agama versinya ke orang lain, ngancem sana-sini, aku sudah kenyang memprotes perkara model gituan. Di mataku, bangsat mereka semua itu! Dari pertama kali aku ngeblog, kelakuan mereka sudah sering kucacat. Sampai aku bosen sendiri, malahan. Iya, bosen gara-gara dari 2006-an sampai sekarang, kok, ya hal yang kukeluhkan itu nggak banyak berubahnya. Makanya, mbok ya situ kasian sama sahaya. Masak sudah akunya harus prihatin sama oknum umat beragama yang hobi ngaco, eee…sekarang ketambahan lagi harus maklum sama kelakuan blo’on kalian yang hobi menyalahkan sesuatu tidak pada tempatnya?
1 jenis manusia goblok aja sudah menjengkelkan, masak iya Endonesa ini harus ketambahan manusia goblok macam kalian lagi? Kalian itu sebenarnya sama aja gobloknya dengan oknum umat beragama yang suka bikin aksi teror: Sama-sama belum khatam baca kitab suci. Bedanya tipis, cuma sekadar yang 1 menggunakan agama, sementara yang 1 lagi menyalahkan agama. Obyeknya sama-sama agama.
Tolong, dong, kalian ini kritis sedikit. Jangan nggak adil gitu. Kalo sama Mario Teguh aja kalian bisa kritis, kenapa sama John Lennon kalian nggak bisa berbuat hal yang sama? Padahal baik si Teguh maupun si Lennon, mereka berdua 11-12, lho. Mereka sama-sama bermasalah dengan istri dan anak pertamanya. Eh, tapi bukan itu poinnya, ding. Yang jelas, jangan cuma gara-gara yang ngomong itu John Lennon, sebagai fans yang baik dan benar maka kalian harus mengamini semua perkataannya. Jangan gitulah. Jangan jadi orang brengsek yang suka menimpakan kesalahan ke pihak yang tidak bersalah.
Dude, yang namanya manusia, mereka bakal selalu punya alasan untuk berantem. Sekalipun di bumi ini sudah nggak ada konsep hak milik, negara, ataupun agama, akan selalu ada alasan untuk tawuran selama manusia masih punya kepengenan. Jadi kalau memang kita punya cita-cita tinggi seperti John Lennon, pengen meniadakan kelaparan, gampang… Mulai sekarang mari kita berusaha untuk membasmi apapun yang bisa menyebabkan rasa lapar, supaya kita nggak punya keinginan lagi untuk makan, yang mungkin lirik lagu “Imagine”-nya Lennon lebih cocok kalo diganti jadi “Imagine there’s no stomach. I wonder if you can. No need for greed or hunger…”
Lha, buktinya Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) datang ke Nusantara lak aslinya juga cuma gara-gara kepengen nyari rempah-rempah, kan? Urusan apa, jal, yang menyebabkan penjajahan di seluruh dunia kalau bukan karena urusan perut dan sekitarnya?
Maka akhirul kalam, sodara-sodara, tanpa kesadaran untuk memetakan apa yang sebenarnya menjadi masalah dan apa aslinya kebutuhan kita, selama itulah aku juga bakal bilang, yang pemimpi itu bukan cuma John Lennon. Seperti kata beliau sendiri, “You may say I’m a dreamer, but I’m not the only one,” kalian semua yang setuju sama celotehnya adalah sama-sama pemimpi yang naif. Soalnya kalau kita tetap bersikeras kepengen melenyapkan sesuatu supaya tercipta ketenangan di dunia ini, ya yang harus dilenyapkan adalah keberadaan spesies homo sapiens sendiri. Karena apa? Karena, eh, karena soal menciptakan perdamaian ini bukanlah tentang apa yang harus dihilangkan, melainkan tentang apa yang harus ditumbuhkan.
Nah, selamat Hari Toleransi Internasional. Ingatlah untuk tetap eling lan waspada, jangan naif, serta pokokmen imagine there’s no human who have stomach 😛
Karena John Lennon adalah dewa… Bagi para penggemarnya.
padahal saya juga dewa, tapi kok ndak ada yang percaya kata2 saya ya? apa gara2 penggemar saya baru sedikit?
Aku penggemarmu..
cuma kamu sama si Kimi sih ya jelas kurang banyak, selain juga kurang bondafid
Dasar manusia.. gak ada puasnya.. hahahahaha