Ini Semua Demi Kamu, Di!

Pernah ngerasain mengagumi seseorang tapi cuma bisa kita lakukan dari jauh? Aku pernah dan bahkan masih. Aku menyukai seseorang tapi rasanya, kok, ya dia itu jauh dari jangkauanku. Mau mendekati secara frontal, ealah…aku sungkan. Ada banyak faktor yang ternyata menjadi kendala. Lingkungan yang berbeda, gaya hidup yang berlainan, sampai juga faktor keterbatasan finansial yang membuatku nggak mungkin melakukan pendekatan yang intensif, semuanya akhirnya cuma bisa menghasilkan sebuah kekaguman dari jarak jauh. Sangat jauh, malahan.

Aslinya aku ini nggak terlalu fanatik sama musik jazz. Buatku musik jazz itu semacam musik aseek sendiri, yang cuma bikin nikmat pemainnya. Pendengarnya nggak bisa ngikutin arah musiknya bakal ke mana saking banyaknya improvisasi dalam musik jazz. Tiap kali “terpaksa” nonton konser jazz aku malahan nggak enjoy, soale aku seperti harus mikir buat ngikutin ritme musiknya. Untung saja keterpaksaan pas jaman-jaman esema dulu itu aku nggak harus keluar duit. Biasanya aku dibayarin karena memang ditugasin buat ngeliput pas aku masih jadi wartawan bohong-bohongan.

Tapi itu nggak berarti aku anti sama musik jazz. Jazz buatku masih sama dengan aliran musik lainnya. Kalo pas ada yang cocok di kuping, ya otomatis aku jadi suka, terutama buat musik jazz yang kadar jazznya masih ringan. Maka jadilah aku masih suka ndengerin – misalnya – “So Much in Love”-nya Sheena Easton, “All I Am”-nya The Heatwave, atau “Night Birds”-nya Shakatak. Aku dulu juga sempat punya kasetnya Michael Frank, Fourplay, sampai yang jazznya agak ngefunk kayak Level 42.

Dan Sabtu malam kemarin aku nonton konser UGM Mandiri Jazz 2008 di Grha Sabha Pramana. Nyari tiketnya minta ampun susah setengah mampus. Dari H-10 tenyata sudah habis gara-gara, konon, diborong calo. Dengan penuh perjuangan aku berulang-kali harus telepon-teleponan dan SMS-an sama si Bram yang juga kepengen nonton konser itu. Aku juga bolak-balik berusaha nyari calo yang siapa tau aja beliau-beliau itu masih mau berbelas-kasihan dengan cuma menaikkan harga tiketnya sedikit saja. Y!M-ku harus online terus-terusan buat mengikuti perkembangan kemungkinan penjualan tiket terbaru dari sejawat-sejawatku yang berarti pulsa Starone kampretku harus kesedot terus. Celakanya sampai siang hari sebelum konser aku belum dapat tiket.

Hanna yang sempat nawarin tiketnya buat kubeli sebelumnya berubah pikiran. Dia nggak jadi njual tiketnya ke aku gara-gara aku dinilai telat memberikan konfirmasi ke dia. Makin bingunglah aku. Itu artinya aku terancam nggak bisa menikmati wajah gadis cantik yang selama ini cuma bisa kukagumi dari jauh secara langsung. Yeah, malam kemarin itu, yang didapuk jadi emsi acara jazz-jazzan itu sama panitianya memang gadis yang bikin aku terpesona sejak jaman esema, Diandra Paramitha Sastrowardoyo.

Tentu saja demi Dian aku pantang menyerah. Pokoknya entah bagaimana caranya aku harus bisa masuk ke Grha Sabha Pramana. Sempat juga kepikiran kalo misalnya aku tetap nggak dapat tiket maka aku bakal nyamar jadi crew artis-artisnya. Alhamdulillah tiba-tiba Budi datang via Y!M membawa kabar gembira. Temannya ada yang jadi calo. Semangatku sempat membara sesaat sampai akhirnya aku dikasih tahu sama Budi kalo temannya yang calo kampret itu dengan kejamnya menaikkan harga tiketnya ada yang sampai 4 kali lipat. Yang aslinya 50 ribu dijualnya 200 ribu. Dasar bajingan mereka. Aku patah semangat. Dian ternyata memang tak terjangkau, sodara-sodara.

Aku terpaksa jadi harus menikmati ejekan-ejekan dari sejawat-sejawat di Y!M-ku. Afie, misalnya. Meskipun cuma memegang tiket kelas festival, dia dengan nggayanya bilang ke aku, “Udahlah, Mas. Nanti ta’ceritain aja Dian Sastro kayak gimana.” Ayu juga bolak-balik ngingetin sambil ketawa-ketawa supaya aku cepet-cepet nyari tiket meskipun aku yakin kalo dia sepenuhnya sadar bahwa kemungkinanku bisa dapat tiket hampir tidak ada. Si Agung malah menyarankan supaya aku nyamar jadi wartawan koran kuning aja, semacam koran Meteor, pokoknya asal bisa masuk.

Aku balik nanya, “Meteor yang mana? Meteor Garden atau Meteor Pegasus?”

Aku kalap. Aku jadi nekat. Akhirnya lewat sebuah pemaksaan yang ta’bubuhi unsur mengemis aku berhasil membujuk Hanna buat merelakan tiketnya ke aku. Hanna bahkan tetap ikhlas untuk tidak memakan riba meskipun aku sendiri sudah nawarin kalo harga tiketnya mau ta’tambahin 10 ribu. Aku cuma diwanti-wanti buat nggantiin dia njemput Lutfi yang sebelumnya sudah janjian sama dia untuk nonton konser itu barengan juga sama Firsti. Hore! Akhirnya aku dapat sebiji tiket kelas VIP A dengan harga normal, 50 ribu. Ini berarti, oh, Dian, entenono tekoku…

(Pengumuman! Si Bram akhirnya nggak jadi ikutan berjuang nyari tiket gara-gara nyerah duluan. Saber juga membatalkan niatnya buat nonton gara-gara dibikin ilfil sama satpamnya Fakultas Ekonomi. Dia diusir dan nggak boleh masuk ke FE gara-gara cuma pake sandal pas mau nyoba-nyoba nyari tiket di ticket box di situ. Memang, sih, aturannya di FE mahasiswanya nggak boleh kuliah pake sandal apalagi sandal jepit kayak di Ilmu Komputer. Tapi mbok ya besok-besok satpam-satpam di situ itu diajari buat mbedain implementasi peraturan yang untuk mahasiswa sama yang untuk pengunjung. Apalagi kalo sang pengunjung itu niatnya mau ikutan ngerame-ngeramein acara yang diprakarsai sama institusinya. Wooo… Dasar satpam geblek! Nggak tau apa kalo pembeli itu adalah raja?)

Sorenya aku mandi dengan hepi. Setelah dandan aku segera nggeblas njemput Lutfi dan habis itu langsung menuju (bekas) kampusku buat ngumpul dulu sama yang lain. Setelah semuanya komplit, berangkatlah aku demi memperjuangkan cintaku.

Tapi, oh, tapi ealah… Ternyata tiket yang berjudul VIP A itu duduknya di balkon. Panggungnya memang terlihat jelas dari situ, sound yang masuk ke kuping juga lumayan aseek. Tapi ya artinya Dian tetap saja jauh dari aku. Kamera digital punya adikku yang kubawa buat nyolong-nyolong fotonya Dian seakan tiada berguna. Zoom-nya nggak kuat, John! Dasar memang nggak jodoh, aku terpaksa kembali cuma bisa menikmati wajah ayu bidadariku itu dari kejauhan. Kejauhan yang benar-benar jauh, menurutku. Bayangkan saja, kami 1 ruangan tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Merana sungguh merana… Nantinya aku malah bertambah gelo ketika Rieka Roeslan dan Dian menantang 1 orang penonton cowok untuk ikutan njoget di panggung bareng mereka sambil ngikutin irama jazznya Idang Rasjidi. Manalah mungkin aku nekat meloncat dari balkon? Aku bisa mampus dalam keadaan masih perjaka kalo gitu caranya.

Maka daripada aku terus-terusan cerita tentang kegeloanku yang nggak habis-habis, lebih baik aku cerita aja tentang gimana konser jazznya sendiri.

Oke, jadi acara malam itu dibuka dengan penampilan 2 emsi, Dian dan Butet Kartaredjasa. Sayangnya pujaan hatiku itu jadi keliatan agak bloon dan nggak siap buat mbawain acara gara-gara dipasangin sama raja monolog Endonesa. Beberapa kali Dian keliatan harus mikir sesaat buat nanggapin celotehannya Butet yang semaunya itu. Dian jadi benar-benar keliatan garing walaupun, ah, dia tetap saja cantik.

Pertunjukan pertama diisi oleh Trisum yang menurutku adalah jiplakannya G3 dalam versi Endonesa. Soalnya kalo kapan tahun kemarin itu Trisum tampil dengan format 3 gitaris, Dewa Budjana, Tohpati, dan Balawan, maka sekarang Balawan lenyap dan digantikan Donny Suhendra. Kondisi ini mirip dengan G3 di mana posisi Joe Satrianto Satriani dan Steve Vai tidaklah tergantikan. 1 orang gitaris bolehlah masuk dan keluar dengan sesukanya, tapi 2 yang lain haruslah tetap di situ. Bedanya kalo G3 mainnya ngerock, Trisum kemarin mainnya ngejazz meskipun jazznya masih ringan. Malah justru bagus, kok. Aku jadi bisa menikmatinya.

Trisum juga sempat main 2 lagu bareng Rio Febrian yang bikin mereka nggak cuma menampilkan pertunjukan instrumen thok.

Habis Trisum manggung, kembali Dian dan Butet naik ke panggung. Dan tetap saja… Zoom kameraku nggak kuat!

Selanjutnya tampillah Idang Rasjidi & Friends. Berat, Bol! Jazznya benar-benar berat. Akibatnya tiap kali mereka mainin lagu, aku malah berharap supaya lagunya cepat-cepat selesai. Aku benar-benar nggak bisa enjoy, soale. Apalah nikmatnya nonton konser musik kalo aku nggak bisa ngikutin irama musiknya. Keadaan baru agak membaik waktu Idang Rasjidi tampil bareng Rieka Roeslan. Setidaknya ada vokalnyalah meski aku tetap nggak kenal lagunya. Pun Rieka juga punya inisiatif buat bikin komunikasi 2 arah sama penontonnya.

Dan keadaan semakin membaik ketika Rieka digantiin sama Glenn Fredly. Meskipun Glenn nggak nyanyiin lagu-lagunya sendiri, setidaknya aku bisa ngikutan nyanyi waktu dia nyanyiin “Yogyakarta”-nya KLa Project atau juga “Just the Two of Us” dalam versi jazz.

Selesai Glenn, selesai juga acara malam itu. Maka apa yang kudapat dari acara malam itu hanyalah sebuah pelajaran berharga, jangan pernah memaksakan diri untuk menonton sebuah pertunjukan yang nggak ada jaminan kalo aku sendiri bakal ngerti isinya hanya gara-gara ada sedikit iming-iming pemanis di acaranya. Selain buang-buang duit, kalo pemanisnya nggak berhasil kudapatkan, yang ada cuma perasaan hambar. Jadi kayaknya lebih baik aku kembali ngelamunin Dian Sastrowardoyo sambil ndengerin lagu-lagunya Didi Kempot aja, dah.

Saben wayah lingsir wengi
Mripat iki ora biso turu
Tansah kelingan sliramu
Wong ayu kang dadi pepujenku…


Facebook comments:

25 Comments

  • yang punya bramantyo.com |

    Ralat jon..
    Saiya bukan menyerah gara2 g kebagian tiket..
    Tapi menyerah karena :
    1. Trisum bukan pemain utamanya
    2. Saiya kena masuk angin di hari-H nya

    Demikian keterangan ini saiya buat sesuai dengan kondisi sebenarnya. Jika ada kesamaan nama, tempat, dan hubungan sebab akibat, itu hanyalah kesengajaan belaka.

    BR//Bram

  • fie |

    hehehe…

    gak apa2 lah Jon, jangan nggresulo wae, ada syukur2nya gitu loh pengompasanmu ke hanna berhasil, πŸ˜€

    eh, tapi nek menurutku yang mencuri perhatian malam itu gak cuma dian koq, malah drummernya Trisum, si Echa kui yang kuuueren puooolll, bisa menetralisir polusi pandangan di panggung gara2 fenomena “the DS Exchange” (dian sastro disubstitusi jadi Donny Suhendra :-)) )..

    totally CLASSY show!

  • omoshiroi_ |

    “Bayangkan saja, kami 1 ruangan tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Merana sungguh merana”

    mangnya bang joe mau berbuat apa? Hayyoo…..

  • dewa |

    kowe neng ngendi je,Joe?? aku yo tiket VIP A πŸ™‚ untung aku niate ra ndelok Dian soale bakal kecewa (ra koyo sing neng tipi,wingi kuru banget) hahahaha… beruntunglah orang botak yang joget bareng dia itu. Coba kalo hostnya Asmirandah πŸ˜€

  • Pras |

    Kok kalo aku malah gak menikmati pas yang maen Trisum yo..??
    Kalo pas yang maen Indra Rasjidi & Friends, apalagi pas featuring Rika Roeslan, aku lebih menikmatinya…
    Artinya, selera jazz saya lebih berat daripada sampeyan ki..??? Hwehehehehehe….

    Aku awalnya emang gak terlalu niat pengen nonton. Eh, tau2 ada temenku nawarin tiket… Yo wis, tak samber wae… Cuma, dapetnya yang Festival B.

  • monorawx |

    jazz tu bukannya enak didengerin neng cafe yo..
    hoho…

    nek konser rock kan bs ngangguk2, joget2
    nek jazz??

    πŸ˜€

  • Yang Punya Diary |

    baobaz:::
    kalo kamu benar2 mencintai sesuatu, zan, maka kamu tidak akan pernah bisa melupakannya. dan itulah yang terjadi padaku πŸ˜†

    lambrtz, farid yuniar:::
    yayaya, besok kalo punya duit aku ta’beli leica yang slr

    fie:::
    classy opo? wong kowe yo ngeluh pas si idang manggung, tho?

    astri:::
    aku sudah hidup di tempatmu hidup skrg selama 19 tahun, tri! 😈

    omoshiroi_:::
    mau ngajak salaman, cipika-cipiki, terus foto bareng. terus juga, kalo bisa dapet sehelai rambutnya, bakalan ta’bawa ke dukun pelet πŸ˜›

    dewa:::
    hohoho, aku malah ra tau pengen karo asmirandah kie. aku wingi neng e-12

    Pras:::
    seleraku tetap sama dian sastro, sih, soale

    wib:::
    iya, kuping setan, setan!

    monorawx:::
    bisa nonton dian sastro.
    nek neng cafe aku malah senenge ndelok akustikan. entah jazz, entah rock, entah apa, yang penting akustikan πŸ˜€

    chris:::
    apanya yang mau diiriin? wong aku juga nggak bisa ngapa2in sama si dian πŸ™‚

  • afie |

    hahahah. DIan-e emang rada garing waktu jadi MC..sayang….:D makane mas Joe segala sesuatu yang berlebihan tu ndak baik…

    πŸ˜€

  • yudi |

    haha nice story, gpp joe, yang penting kan liat Dian bukan dengerin jazz πŸ˜€

    btw enyway just info : PG ternyata juga pernah gabung G3 loh, satriani ko ga pernah gabung racer x hehe :mrgreen:

  • Harya Bima |

    emmm,
    gak enak juga ya kalau nonton gak tau arahnya kemana.
    Tapi Jazz yang tahun ini yang kemarin Mei, lebih enak.
    Semua musicnya.
    Terutama Maylaffayza. πŸ™‚

So, what do you think?