It’s Sherlock

It’s Sherlock! Iya, ini memang cerita tentang Sherlock Holmes teranyar sejauh yang aku tau.

Ceritanya kapan hari kemarin aku dolan ke kampus. Bukan buat ngeceng, tentu saja. Lha wong kampus lagi liburan semester, mana ada gadis manisnya di situ. Di situ cuma ada begundal-begundal kampus yang menganggap ruang sekretariat Himakom adalah kantornya sendiri, bosnya dia sendiri, pegawainya dia sendiri juga, dan teman-temannya yang kebetulan sama-sama nongkrong di situ adalah partner bisnisnya. Yeah, masing-masing orang di situ pada mikir kayak gitu, nampaknya. Jadinya ya suka pada sesukanya kalo sudah nongkrong di Himakom, nggak peduli ditegur satpam berkali-kali.

“Ini libur-libur ngapain pada nongkrong di sini? Nambah-nambahin kerjaan saya aja buat ngawasin kalian!” sembur Pak Satpam kesal. Dan untuk menambah khazanah pengetahuan bagi pembaca sekalian, spesies Himakom yang paling disentimeni sama Pak Satpam adalah Septri. Betapa tidak… Hobinya ngerokok, walopun di kampus sudah ada plang dilarang merokok, ditambah gitaran sambil teriak-teriak sember bin ngaco (betul-betul ngaco. Nada yang keluar dari bibirnya suka nggak sinkron sama kunci gitar yang ditekannya) cukupanlah bikin Pak Satpam lupa kalo Allah itu selalu bersama orang-orang yang bersabar. Innallaha ma’a shabirin, Pak.

Maka di kampus kemarin itu aku ke sananya cuma dalam rangka nostalgia saja. Sudah lama nggak jadi mahasiswa, soalnya. Di situ aku ketemu sama Gentho yang alhamdulillah-nya sempat sombong kalo dia baru ndonlot serial baru keluaran tivi Inggris yang berjudul “Sherlock”. “Aku nduwe serial anyar, Joe. Sherlock Holmes. Gelem ngopi ra?” katanya nggaya.

Tentu saja aku mau. Sebagai penggemar Sherlock Holmes aku merasa wajib menonton serial yang baru dikeluarin bulan Juli kemarin ini untuk tayang perdananya. Otomatis baru ada 1 seri yang berada di laptopnya Gentho. Dan setelah kutonton di rumah, langsung saja aku berniat memberikan apresiasi yang tinggi buat serial ini.

Situ penggemar Holmes yang sempat agak kecewa sama film bioskopnya kemarin yang dibintangi sama Oom Downey Jr.? Situ kecewa karena beberapa detail yang terdapat di novelnya tidaklah terdapat di film bioskopnya? Situ kecewa karena Holmes digambarkan terkesan slenge’an? Jika kecewa maka tontonlah serial ini, karena niscaya di serial ini akan sampeyan dapatkan beberapa hal khas Sherlock Holmes sebagai berikut:

1. Tentu saja logat British yang kental sepanjang filmnya berjalan. Ini sangat wajar karena serialnya sendiri memang bikinannya tivi British asli. Asli tanpa dicampur boraks dan formalin. Aku sendiri selalu menganggap kalo logat British itu terdengar lebih seksi ketimbang American English, apalagi Singlish. Yang terakhir ini aku malah hampir nggak paham sama sekali. Lebih baik sampeyan ngajak Lambrtz ngomong aja kalo kepengen ribut pake bahasa Singlish.

2. Sherlock Holmes yang kurus dan tinggi. Kalo di film bioskopnya kemarin si Jude Law yang jadi Dr. Watson malah lebih tinggi dari Sherlock-nya sendiri, di serial ini semua kembali ke khittahnya. Tidak ada Holmes yang atletis gara-gara pemerannya habis main jadi Tony Starks di “Iron-Man”.

3. Karakternya Sherlock Holmes juga mbalik lagi ke novelnya. Beliau nggak nampak slenge’an dan sembrono lagi. Holmes yang ini bakal terkesan jauh lebih dingin dan penyendiri dibandingin versi bioskopnya kemarin. Arogansi dan kesombongannya juga keliatan sekali. Sekali lagi, Benedict Cumberbatch memerankan Holmes dengan lebih bagus ketimbang Robert Downey Jr. :mrgreen:

4. Nikotin? Nikotin juga ada, kok. Jangan khawatir… Di serial ini juga ada adegan Holmes menginjeksikan nikotin dalam dosis yang lumayan besar ke tubuhnya sendiri. Yang nggak ada cuma cangklong tembakaunya saja. Buat yang 1 ini, ada adegan Holmes mengucapkan pledoinya, kok:

Watson: “What are you doing?”

Holmes: “Nicotine patch. Helps me think. Impossible to sustain a smoking habit in London these days. Bad news for brain work.”

Watson: “It’s good news for breathing.”

Holmes: “Oh… Breathing! Breathing’s boring.”

Watson: “Is that…three patches?”

Holmes: “It’s a three-patch problem.”

Nah?

Lalu yang nggak ada lagi adalah kokain. Aku maklum. Mungkin ini sekedar antisipasi aja dari sutradaranya supaya serial bikinannya nggak dibredel sama FPI gara-gara dianggap mengkampanyekan penggunaan narkotika ke segenap lapisan masyarakat 😈

Lalu lagi, setelah segala kelebihan-kelebihan dibanding versi bioskop yang kusebutkan di atas itu, maka apa kelemahan lainnya selain ketiadaan kokain itu tadi? Mustahil tidak ada kelemahan lainnya sama sekali, kan?

Tapi aku sendiri sebenarnya juga bingung. Ada hal yang sangat mencolok di serial ini yang masih bikin aku bingung memutuskan apakah ini sebuah kelemahan atau justru nilai tambah dari serial yang bersangkutan?

Oke! Daripada aku berlama-lama memikirkannya sendiri, silakan kalian – para pembaca – yang memutuskan. Di film ini tidak ada kereta kuda, jalanan London yang suram di malam hari, juga jubah kebesaran sang detektif. Sebagai gantinya disediakan gemerlapnya London, laptop, smart-phone, dan pelacakan lokasi via GPS. Yap! Ini memang bukan Sherlock Holmes klasik dengan mode pakaian pada saat itu, akhir tahun 1800-an. Ini kenakalan detektif kita di era informatika dengan kemampuan deduksi cepatnya yang masih mencengangkan buat kita semua, aku rasa.

Dan yang juga sedikit menggelitik, kalo Holmes di novelnya menggunakan judul “A Study in Scarlet” untuk seri pertamanya, serial tivi ini mengambil judul “A Study in Pink” untuk tayang perdananya. Ceritanya tentu saja diawali dari proses bertemunya Dr. Watson dan Sherlock Holmes.

Kesimpulannya: Secara keseluruhan aku puas dengan kondisi fisik dan karakter Sherlock Holmes yang kudapat di serial ini. Menurutku ini 10 kali lebih baik dari versi film bioskopnya, meskipun sebenarnya waktu aku ngopi film seri ini dari Gentho aku membayangkan bakal menonton bagaimana suramnya jalanan London pas jaman dulu πŸ™‚


20 Comments

So, what do you think?