Kenapa Tidak Pernah Mengajukan Beasiswa?

Konon, entah makhluk mana yang bilang, aku juga lupa dengernya dari siapa, yang namanya tanggung-jawab orang tua terhadap anaknya itu berlangsung sampai si anak menikah. Ini konon lho ya. Tapi walaupun judulnya konon, konon-kononan yang kayak gini ini ternyata juga bisa jadi perkara. Perkaranya adalah bagaimana kalau si anak jebulnya ndak nikah-nikah? Masak mau sampek tuek si anak tetap saja jadi tanggungan orang tuanya? Anak macam apa itu? Tiada tau diri, bisanya cuma ngerepoti orang tuanya sendiri.

Maka daripada konon-kononan yang kayak di atas itu jadi perkara, kita asumsikan saja hal ini cuma berlaku buat orang tua yang anaknya sudah menikah di usia pertengahan 20-an. Atau kalau ternyata lewat umur 20-an si anak belum juga nikah, kita asumsikan juga si anak pada umur segitu itu sudah kerja, sudah bisa punya duit sendiri, jadi tanggungan orang tua ke si anak cuma berlaku sampai dengan si anak menerima gaji pertamanya. Itu saja. Perkara si anak udah nggak nikah-nikah, nggak kerja pulak, itu sudah lain soal. Nggak perlu kita bahas lagi. Beta menolak membahas persoalan sejenis itu. Itu di luar batasan masalah pada kajian ilmiah kali ini.

Jadi, merujuk pada 2 paragraf di atas, tema kajian ilmiah kita pada kesempatan kali ini adalah pledoi kenapa aku dulu nggak pernah ngambil peluang beasiswa, baik yang beasiswa karena prestasi, beasiswa aktif berorganisasi, sampai beasiswa buat yang kurang mampu.

Maka begini… Dari jaman sekolah sampai kuliah dulu aku ini nggak pernah blas yang namanya ngajuin beasiswa ya karena 1 alasan: wong isih mampu mbayar dewe, kok!

Iya alasannya cuma itu, karena toh waktu itu syarat pengajuan beasiswa minimal ber-IPK 2,75 yang mana masih bisa kupenuhi. Bayangkan kalau macam sekarang yang syaratnya adalah 3,25! Tentu aku bakal setengah modar mangap buat memenuhi persyaratan intelektuil tersebut. Tapi tentu saja ada hal-hal lain yang mendasari kenapa aku beralasan seperti di atas barusan itu.

Pertama, ya karena perkara orang tua itu tadi. Sungguh mati aku ini harus bersyukur dengan kondisi keuangan kedua orang tuaku. Mereka mampu membayariku kuliah sampai dengan jenjang S-1. Dan selain kondisi keuangan orang tuaku yang memadai, aku juga apal sama karakter mereka berdua: seandainya saja aku ngambil beasiswa – dan kemudian dapat duit dari situ – babah dan mamakku akan tetap saja mengirimiku duit untuk kuliah. Kata mereka pastilah duit beasiswa itu untuk nambah-nambah uang jajan di Jokja sahaja. Tidak mungkin kutolak. Karena kalau kutolak, bisa ditebak, aku pasti bakal dimarahi. Babahku itu sama (atau bahkan lebih) sombongnya kayak aku. Bisa-bisa dipikirnya aku ini menyepelekan kemampuan finansialnya. “Bapak masih mampu membiayai kamu kuliah,” begitu katanya di suatu senja di musim yang lalu.

Kalau sudah begitu macam mana aku mau mengelak? Maka daripada niat tulus dari si penyelenggara beasiswa tidak terlaksana gara-gara ulah kami bertiga (aku, babahku, dan mamakku, -red.), daripada beasiswa itu salah sasaran, lebih baik aku nggak ikut-ikutan mengajukan, kan?

Di kampusku waktu itu toh masih banyak yang tidak hidup senikmat aku. Taruhlah aku tidak mengajukan beasiswa untuk yang kurang mampu tapi mengajukan untuk yang jalur prestasi, di kampusku tetap saja ada yang berprestasi sekaligus kurang mampu. Pikirku, mereka tetap lebih berhak. Taruhlah aku tidak mengajukan beasiswa untuk yang kurang mampu tapi mengajukan untuk yang jalur keaktifan berorganisasi, di kampusku tetap saja ada yang aktif berorganisasi sekaligus tetap kurang mampu. Pikirku, sekali lagi, mereka tetap-tetap-tetap lebih berhak, soalnya – ya itu tadi – keluargaku masih mampu. Kalaupun orang tuaku ternyata tidak mampu…man, sampeyan – sidang pembaca yang terhormat – ini sedang berhadapan dengan Joe Satrianto. Aku sendiri, memanfaatkan segala potensi yang diberikan Tuhan padaku dan untuk ukuran kebutuhan biaya pada masa itu, masih mampu membiayai kuliahku sendiri – lewat beberapa proyek parttime-ku waktu itu.

Di luar diriku masih banyak yang lebih membutuhkan duit itu ketimbang aku, jadi ya ngapain aku mengusik-usik hal yang memang seharusnya bukan menjadi hakku? Betul bahwa di luar diriku pula tetap ada pula makhluk-makhluk berfinansial mampu yang tega “nilep” jatah bantuan buat manusia lainnya (dengan surat keterangan tidak mampu yang palsu, misalnya), tapi buat apa aku ikut-ikutan, kan? Aku ini makhluk sombong. Supaya konsisten dengan kesombonganku, pantang bagiku menerima hal-hal yang mengesankan ketidak-mampuanku. Lagi pula, kupikir alangkah bagusnya kalau aku bisa mengurangi jumlah makhluk oportunis tak tau adat itu sejumlah seorang lewat sikap dan tindakanku. Karenanya sampai sekarang aku belum pernah menerima duit beasiswa.

Hanya saja aku sadar, sekarang ini aku sudah bukan tanggungan orang tuaku lagi. Malah seharusnya aku yang mulai membalas perhatian mereka dulu. Nggak perlu muluk-muluk, cukuplah kumulai dengan menyuplai pulsa untuk hape mereka dulu sahaja. Karena sudah bukan tanggungan orang tua itulah, dan karena mendadak aku kepengen melanjutkan studiku lagi, serta karena duitku untuk kuliah lagi di luar negeri masih belum cukup, ditambah tau-tau pas aku datang kantor tadi pagi di mejaku tergeletak surat disposisi dari Pak Bos untuk pendaftaran beasiswa ke Australia, mungkin aku bakal mempertimbangkan lagi kali ini untuk ikutan mendaftar peluang beasiswa tersebut.

Yeah, kalo ini tentang Goldcoast, Granada, atau Kyoto, tentu aku bakal berpikir-ulang untuk menolak kesempatan ini :mrgreen:


Facebook comments:

6 Comments

  • christin |

    beasiswa ADS yo mas? semoga sukseeesss! di tempatku kebetulan sekolah lagi itu sifatnya wajib, jadi sekarang aku juga sudah mulai nyari-nyari. kalo kata bosku “ya kalo PNS gini sih lebih enak kok nyari beasiswa… tinggal gimana niatmu aja”

  • christin |

    mwahahaha rencananya begitu mas, mumpung masih punya kartu diskonan kereta di situ *halah* aku 2 tahun lalu ndaftar ADS ditolaaakkk

  • Ardhan |

    payah lho (maksudnya bukan beasiswanya) tapi jujur mengakui mampu. salut teman…. jarang mahasiswa berfikir seperti ini

  • Raffaell |

    Dulu ada temen bekas sopir taksi, paling pantang ngambil beasiswa. Pas aku ngomongin soal beasiswa dia malah kesan nya menghina, tapi penghinaan itu terkena banget di benak ku. Dia bilang, aku aja yang bekas sopir taksi nyekolain anak di internasional skul kok. Kesian lah buat yang ngga mampu, kesempatanya jadi diambil ama kita.

  • oelpha |

    Sama persis alasanku ga pernah ngajuin beasiswa juga selama sekolah masih ditanggung orang tua. Ortuku malah lebih tegas lagi nambahin klausul ga boleh kerja selama kuliah dalam tanggungan mereka. Untung saja perjanjian pembiayaan itu cuma sampai S1. Jadi setelahnya ya aku bisa kerja dan ketika pengen sekolah lagi buat S2, kuajukanlah beasiswa seperti titah kantor.

    Semoga lolos ya Joe..

So, what do you think?