2 minggu yang lalu, saat mau sarapan sehabis menaruh tas di kubikelku, aku dipanggil sebuah orang dari arah belakangku. “Mas, mau ke mana? Sarapan? Gua ikut!”
Aku menoleh, menjawab dengan isyarat gerakan kepala yang kurang-lebih artinya adalah “come on”. Dan, orang yang memanggilku itu – sebut saja – Bobong Syaifullah, anak kuliahan yang lagi magang di kantorku, sebiji biro jasa detektif negeri sipil.
Bobong Syaifullah bukan anak dari unitku. Dia kebetulan ditempatkan di unit untuk kasus-kasus sejenis kasus di komiknya “Detektif Kindaichi” – bunuh-bunuhan – sementara aku jelas lebih elit lagi, dong. Unitku ngurusin kasus-kasus kayak di komiknya “Q.E.D.“, jenis kasus yang berhubungan dengan angka dan matematika.
Tiap mau pergi sarapan aku selalu ngelewatin unitnya si Bobong Syaifullah ini. Kuakui, orang di unitnya lucu-lucu, sementara di unitku pemikir kelas berat semua. Maka aku malah heran, kenapa, oh, kenapa aku malah ditaruh di situ sama si bos? Kadang aku malah mbatin, aku ditaruh di situ sebagai joker, biar unitku nggak stress melulu.
Tentang unitnya Bobong Syaifullah, karena di situ orangnya lucu-lucu, aku jadi sering mampir ke situ, sering ngobrol dan ngakak-ngakak sama mereka. Sesekali kalo ada kasus yang lagi dirasa buntu, kami ke pojokan dekat pantry buat ngerokok bareng. Alhasil aku merasa lebih bebas untuk berekspresi dengan orang-orang di unitnya Bobong Syaifullah ini, jadi lebih akrab sama mereka, sampai akhirnya aku jadi sering direwelin pula sama si Bobong Syaifullah.
Bobong Syaifullah ini tipikal anak muda masa kini, anak muda yang hidupnya diisi dengan keluhan-keluhan, seakan di dunia ini cuma problematika hidupnyalah yang paling berat. Tipikal manusia yang selalu berusaha mencari simpati orang untuk dirinya dengan cara yang – yeah – buatku tiada elegan. Tiap ada yang cerita tentang suatu hal, Bobong Syaifullah juga seolah tak mau kalah. Dia pasti menimpali cerita itu dengan cerita sejenis darinya. Hebatnya, di setiap ceritanya, rata-rata dia adalah tokoh utamanya yang selalu dirundung duka, tetapi dengan ketabahan dan kekuatannya, dia masih bisa berdiri di hadapan kami sampai dengan hari di mana dia sedang bercerita ini.
Hebat sekali, kan? Maka nggak jarang ketika kebetulan Bobong Syaifullah sedang nggak ikutan ngerokok, kami justru membahas segala polahnya Bobong Syaifullah
Bobong Syaifullah juga hobi banget pengen keliatan pintar dan berwawasan luas. Cuma sayangnya dia salah pilih lawan bicara. Kadang – saking semangatnya bercerita – mungkin dia lupa kalo dia sedang tidak bicara dengan teman-teman kampusnya (yang entah apa judul kampusnya. Dia cuma bilang kalo kampusnya hanyalah kampus etekewer), melainkan dengan gerombolan detektif-detektif elit yang jauh lebih senior daripadanya, baik untuk urusan usia juga untuk urusan pengalaman.
Salah satu kekonyolannya di saat awal-awal perkenalan kami yang paling kuingat adalah kata-katanya ketika dia bercerita tentang salah satu kerabatnya. Waktu itu dia bercerita sangat semangatnya, seolah-olah dia membawa hot news, dengan berkata, “Tetangga rumah gua punya pengalaman yang lebih gila, Mas. Dia tuh lulusan Harvard. Gila dah pokoknya. Lu tau ga, Mas, Harvard itu universitas terbaik di Amerika…”
Yang langsung aja dipotong sama bapak-bapak yang lagi baca koran di sampingku, “Yaelah, Bob…anak esde juga tau kali Harvard itu apa. Ga usah lu kasih tau kita-kita juga udah ngerti.”
Kontan si Bobong Syaifullah langsung mingkem. Ceritanya nggak berlanjut
Lainnya lagi, waktu aku sama si bapak pembaca koran itu lagi ngobrolin tentang filmnya Habibie sama Ainun, tau-tau si Bobong Syaifullah datang. Sekonyong-konyong dia nimbrung obrolan, memotong obrolan kami sesuai kebiasaannya, dengan lagi-lagi seolah dia tau banget siapa itu Habibie. Katanya, “Habibie itu memang hebat banget. Tapi lebih hebat lagi kalo teknologinya dia udah kepake beneran…”
Kali ini aku yang kalap. “Lhah, ke mane aje lu? N-250, terus N-2130, CN-235, itu semua pesawat garapannya Habibie kalee… Udah sejak 20 tahun yang lalu dia bikin pesawat,” slantapku dengan logat macak Tangerang Selatan.
“Oh…” si Bobong Syaifullah lantas terdiam. Tampangnya waktu itu bener-bener tipikal tampang orang sok tau yang kena batunya. Sejurus kemudian dia baru berujar, “Ya gua baru tau juga kali, Mas.”
Begitulah si Bobong Syaifullah. Kerjaannya motong omongan, hobinya selalu kepengen nggak keliatan kalah dari orang lain.
Tapi aku juga nggak habis pikir, kok ya bisa-bisanya dia berpikir bahwa sangat besar sekali kemungkinannya siapa tahu kami-kami ini nggak tahu Harvard dan Habibie itu apa dan siapa, kemudian dia memutuskan untuk membagi pengetahuannya itu kepada kami? Ah, apapun itu terima kasih untuk niat baikmu, Bob. Hahaha.
Besok-besoknya aku baru diceritain sama abang-abang di pantry perihal si Bobong Syaifullah. Si Bobong Syaifullah itu statusnya anak magang titipan, bawaan dari sodaranya yang juga kerja di kompleks gedung yang sama denganku.
Dan pagi itu kembali aku terjebak di lift dengan segala ocehan mengeluhnya si Bobong Syaifullah. Kali itu Bobong Syaifullah ngeluh, dia merasa dianak-tirikan di unitnya karena tidak diajak rapat weekend akhir tahun di Tanjung Lesung. Dengan muka dipasang sok tabah dia bilang, “Padahal, Mas, sebelum di unit ini, kalo di tempat abang gua, gua selalu diajak tuh. Mungkin tiap unit di sini kebijakannya beda-beda ya?”
Aku cuma diam, memandangnya sambil tersenyum. Lagipula untuk apa kujawab, toh dia sudah merasakan sendiri jawabannya, kan?
Bobong Syaifullah kembali melanjutkan, “Tapi yang bikin gua kesel, kemarin, kan, gua tanya ke Bu Bariyah, ‘Bu, maaf, mau tanya, rapat besok saya diajak nggak?’ Eeeh…lu tau apa jawabannya ga, Mas?”
Aku masih diam. Aku cuma memainkan kepalaku yang berarti isyarat “go on”.
“Dia bilang sambil ngomel, Mas, ‘Kamu itu siapa? Kamu tau nggak statusmu di sini itu apa? Kamu itu cuma magang, cuma tamu. Seenaknya aja nanya-nanya diajak atau nggak.’ Gitu, Mas. Jelas gua kesel, dong. Ngomong baik-baik apa, sih, susahnya?”
Lift terbuka. Sambil berjalan ke kantin kali ini aku bilang ke Bobong Syaifullah, “Lha, kamu juga aneh-aneh. Ini, kan, akhir tahun. Kamu tau posisinya Bu Bariyah itu apa, kan? Dia lagi ribet sama target-target yang dibebanin ke dia, eee…kedatangan kamu yang nanyain sesuatu yang sebenarnya nggak penting buat dia, jelas aja dia sewot.”
“Tapi apa susahnya, sih, jawab baik-baik? Gua, kan, nanyanya juga baik-baik. Pak Ableh aja, yang jabatannya lebih tinggi dari Bu Bariyah, ngomong baik-baik ke gua, ‘Bob, maaf ya, kali ini kamu nggak usah ikut dulu, soalnya nggak enak kalau unit dibiarin kosong nggak ada yang jaga.”
Kami duduk. Setelah memesan es teh manis dan seporsi rawon kujawab keluhan gebleknya si Bobong Syaifullah ini. “Bob, semua itu tergantung mood. Mungkin Pak Ableh waktu ngomong ke kamu kemarinnya habis menang togel. Lha, kalo Bu Bariyah? Bulan-bulan kayak gini jelas mood-nya susah enaknya. Ini bulan ribet buat dia. Coba, deh, sekali-sekali kamu mikir dari sudut pandangnya Bu Bariyah, jangan dari sudut pandangmu melulu,” kataku.
Bobong Syaifullah hendak menyela. Tapi aku yang lagi dapat angin mana mau distop begitu saja. Setelah memberikan isyarat kepadanya untuk tetap diam, kulanjutkan, “Lagian kamulah yang aneh. Coba pikir, Bob, sorry to say ya, statusmu, kan, magang, bukan honorer, bukan juga pegawai tetap. Aturannya rapat akhir tahun itu cuma boleh diikuti sama pegawai tetap. Honorer boleh, kalau dibutuhkan. Sementara buat yang magang kayak kamu ya nggak wajiblah buat unit untuk ngajak kamu.”
Bobong Syaifullah kayaknya nggak tahan kuceramahi. Dia memotong, “Tapi di unit gua yang dulu aja gua selalu diajak, Mas.”
“Lho, anggap saja itu bonus. Aturan bakunya, sih, kamu nggak diajak. Kalo kemudian kamu malah diajak, bukan mau bilang unitmu dulu nggak ikut aturan ya…tapi ya anggap aja itu kebaik-hatian dari unitmu. Itu bonus untukmu. Dari awal kamu nggak punya hak untuk minta diajak. Jadi, justru aneh kalo kamu menanyakan dan meminta sesuatu yang bukan hakmu ke Bu Bariyah. Terang aja dia sewot. Maka, untuk apa kamu mengeluhkan sesuatu yang bukan hakmu?”
Bobong Syaifullah ini memang sedikit menyebalkan (kalo nggak mau dibilang sangat). Sejauh yang kukenal, dia getol betul memperjuangkan (sesuatu yang dianggap sebagai) hak-haknya, padahal kerjaannya sering ngaco. “Iya tuh, Dit, disuruh fotokopi dokumen aja salah melulu. Sekalinya bener, eh, dia malah belagu nawarin bantuan ke gua, ‘Perlu saya translate-in sekalian ga, Mbak?’,” kata mbak-mbak yang seunit sama Bobong Syaifullah waktu kugodain supaya minta tolong ke Bobong Syaifullah aja buat mbantuin dia nganalisis kasus baru yang datang bertumpuk-tumpuk. Eh, ujung-ujungnya si mbak malah curhat tentang performa kerja si Bobong Syaifullah.
Ah ya, aku lupa bilang, si mbak yang curhat sama aku itu lulusan Inggris. Inggris beneran, bukan Inggris-inggrisan apalagi Inggris yang sejenis kecap itu. Tentu adalah sebuah ketidak-tahu-dirian ketika si Bobong Syaifullah menawarkan bantuan translate dokumen mengingat kalo ngobrol sama aku aja, dan kalau aku kebetulan kelepasan nyebutin kata-kata (sok) bijak dalam bahasa bule itu, Bobong Syaifullah selalu bertanya, “Artinya apa, Mas?” 😆
Balik lagi ke obrolan kami.
“Bob, aku sekarang malah jadi penasaran sama jalan pikiranmu,” kataku sambil makan. “Menurutmu hak sama kewajiban mana yang harus didahulukan?”
“Hak,” sahut Bobong Syaifullah menjawab yakin. Dengan cepat pula.
Aku mendelik. Kaget. Terdiam. Dengan tatapan heran kupandangi wajah Bobong Syaifullah. Sumpah, aku kaget betul waktu itu.
“Eh, salah ya, Mas?” tanyanya.
Aku tetap diam. Dalam hati aku bertanya, kok, bisa-bisanya homo sapiens macam ini lolos magang di biro tempatku kerja? Mungkin aku juga, sih, yang salah. Harusnya yang kutanyakan ke Bobong Syaifullah ya antara kewajiban dan hak mana yang harus didahulukan, bukan bertanya antara hak dan kewajiban mana yang harus didahulukan. Kalau yang kutanya yang terakhir, ya memang benar ketika Bobong Syaifullah menjawab “hak” dengan lantang
“Kewajiban, Mas. Kewajiban duluan yang harus didahulukan, baru meminta hak. Gitu, kan, Mas?” kata Bobong Syaifullah pada akhirnya.
“Bob, aku nggak tau ya, tapi mungkin ini adalah sebuah generation gap. Jamanku sekolah dulu aku masih dapat mata pelajaran Budi Pekerti. Eramu pelajaran itu sudah nggak ada lagi. Jadi aku bisa paham kenapa cara berpikirmu seperti itu…”
“Budi Pekerti itu PPKn bukan, Mas?”
“Bukan. Budi Pekerti lebih ke norma, tentang bagaimana kita bersikap dan memperlakukan orang lain, juga tentang mendahulukan kewajiban ketimbang menuntut hak. Sekarang, apa pernah kamu menunjukkan beresnya pekerjaanmu ke Bu Bariyah?”
“Nggak, sih, Mas. Kayaknya gua selalu aja dinilai salah. ”
Aku nyengir. Aku tau tentang itu, kok. Kalau cuma 1-2 orang yang menilai kerjaannya ngaco, bolehlah itu disebut sentimen pribadi. Lha tapi ini testimonialnya ada banyak, je 8) Maka kulanjutkan ceramahku, “Bob, aturannya kerjaan beres dulu baru kamu boleh menanyakan hakmu. Tapi ini, hakmu pun bukan, ditambah lagi kerjaanmu juga dinilai belum memuaskan. Menurutmu kamu pantas po ucluk-ucluk datang ke Bu Bariyah terus nanya diajak atau nggak?”
“Tapi Pak Ableh…”
“Stop it. Kita nggak bicara dalam konteks Pak Ableh. Kita bicara tentang dirimu. Ini yang bikin aku rada nggak cocok dengan kampanye HAM, hak azasi manusia. Ini yang bikin aku nggak sreg dengan penyebutan Kementerian Hukum dan HAM.
“Selalu saja hak azasi yang dikampanyekan, Bob. Orang-orang sadar nggak sadar diajari menuntut haknya sambil melupakan kewajibannya. Kenapa bukan KAM, kewajiban azasi manusia, aja yang dikampanyekan? Kenapa bukan itu yang diperjuangkan untuk ditegakkan? Kamu lihat, jalanan Jakarta macet, motor berlomba-lomba menerobos traffic-lite, tapi begitu macet mereka emosi, klakson berbunyi dari kanan dan kiri. Goblok betul! Sudah tau macet, sudah tau sama-sama nggak bisa gerak, apa gunanya nglakson-nglakson? Apa dipikirnya kalo sudah nglakson lalu jalanan jadi lancar sendiri?
“Orang-orang kayak kamu, Bob, orang-orang yang di level bawah sadarnya cuma tau menuntut haknya aja yang bikin negara ini kaco. Tapi aku paham, kamu nggak salah. Sistem yang salah selama inilah yang bikin orang-orang secara nggak sadar jadi punya pola pikir seperti pola pikirmu.”
Bobong Syaifullah – sungguh mati – cuma memandangku. Tapi entah dia paham dengan omelanku atau tidak, aku nggak peduli. Aku tancap aja terus 😈
“Bob, seandainya yang rutin dikampanyekan itu kewajiban azasi, dengan sendirinya ketika semua orang melaksanakan kewajibannya maka tidak akan ada itu yang namanya pelanggaran hak. Nggak ada. Demo buruh? Nggak bakal ada. Ketika buruh melaksanakan kewajibannya dan bos-bosnya melakukan hal yang sama pula, nggak bakal ada ribut-ribut. Yang sekarang ini terjadi adalah masing-masing pihak kepengen haknya dipenuhi terlebih dahulu baru kemudian bicara kewajiban – itupun kalau ada waktu.
“Jadi, ambil rokokku. Silakan. Aku tau kamu nggak bawa rokok dan kepengen minta. 1 rokok’an, setelah itu kita kembali ke ruangan. Aku banyak kerjaan.”
Bobong Syaifullah nyengir. “Makasih, Mas,” katanya sambil mengambil sebatang Djarum Super-ku.
Tapi kemudian aku makin tau, terima kasihnya itu ya untuk rokokku, bukan untuk omelanku. Karena apa? Karena hari-hari setelahnya, sampai dengan saat ini, aku masih saja mendengar keluhan yang senada dari mulutnya. Bagusnya, sekarang kalau dia ngeluh aku sudah bisa menimpali keluhannya dengan berkata, “Bob, kita sudah pernah mbahas tentang ini. Kalau kamu berharap aku bakal memberikan tanggapan berbeda sekadar buat membesarkan hatimu, maaf-maaf saja, jawabanku nggak pernah berubah.”
*print*
*kirim ke Bobong*
Pas pembagian genepan pas ora teko mungkin wonge..
BTW, rodo ra nyambung, mosok Pak Ableh karo mbok Bariyah disandingke Bobong, mbok usrok opo ucrit ngono kan pas..
Duh, fokus saya kok malah membayangkan Bu Bariyah ini… 🙄
oelpha:::
kamu kirim ke bobong pun saya sangsi dia bakal ngerti maksud dan arah tulisan saya 😈
moonray:::
tadinya mau saya kasih nama Singomenggolo Jalmowono, eee…tapi nanti takutnya pelakon2 di sini terlalu unyil-minded. ketok lawase le nulis, mengko 😛
Amed:::
jangan kha~wa~tir~, yang ini ndak jualan gadogado, kok. dan bukan ibu2 madura juga