Kucingnya Kana di Antara Para Kawula dan Ksatria

Kucingnya Kana, keponakanku, nggak pulang 2 biji. Untungnya sekarang kucing-kucing kampung di sekitaran rumah pada hobi nongkrong di terasku berhubung Kana sering banget bersodaqoh makanan kucing ke mereka tanpa membeda-bedakan. Jadi Kana nggak nyadar kalau 2 kucingnya nggak pernah balik. Tapi dari 5 kucing aslinya yang dirawat sejak kecil, sekarang kucingnya Kana cuma sisa 3 ekor. Yang seekor hobinya memang nomaden, kadang pulang ke rumah, kadang nongkrong di warung depan kompleks rumah sampai berhari-hari sambil main gaple.

Alhamdulillah, mainnya nggak pakai taruhan duit. Jadilah kucing masa kini itu belum pernah memberatkan Kana secara finansial, minta duit buat modal judi. Kalau iya, ya celaka. Kana itu baru kelas 1 esde, belum punya penghasilan sendiri. Otomatis kalau Kana diributin masalah duit, ujung-ujungnya pasti dia bakal mengoperkan tanggung-jawab itu ke aku selaku pakdhenya. Memang makin aneh aja kelakuan kucing-kucing jaman sekarang ini. Entah siapa yang ngajarin mereka main gaple, coba?

Aku sendiri sempat curiga, kok, si Baggio sama Gascoigne nggak pernah keliatan lagi? Yang rutin ada di rumah cuma Hagi dan Stoichkov. Jorge Campos, sih, memang nggak usah dipikirin. Ya dia inilah yang hobinya keluyuran buat nantangin kucing-kucing lain tanding gaple itu tadi. Jadilah aku tiap pagi sambil berangkat kantor sering tolah-toleh kanan-kiri buat nyariin, di manakah gerangan keberadaan Baggio dan Gascoigne?

Oh ya, aslinya aku nggak hafal nama kucing-kucingnya Kana. Aneh-aneh aja akronimnya, soalnya. Jadilah aku ngarang-ngarang nama kayak di atas itu. Lagipula namanya keren. Masing-masing dari mereka, kan, legenda di tim nasional bal-balan negaranya.

Sampai pada suatu hari, si bibi ngabarin ke mamakku. Berdasarkan gosip-gosip antar asisten rumah tangga di kompleks kami, Baggio dan Gascoigne sebenarnya sudah almarhum sejak lama. Pelakunya tetangga di depan agak ke samping rumahku. Tetangga yang rumahnya sering banget ngadain acara nongkrong-nongkrong dengan kumpulannya nyaris tiap hari sampai pagi, tetangga yang nggak punya cukup garasi sampai-sampai 3 biji mobilnya – termasuk mobil jatah kantornya – makan jalan kompleks setiap kali parkir, tetangga yang kalau aku pulang lembur maka teman-temannya akan buru-buru meminggirkan barisan motornya yang menghalangiku masuk ke rumahku sendiri. Pendeknya, tetangga yang masa gitu, deh!

Kata si bibi, seperti yang disari-patikan oleh mamakku saat malam-malam pas aku pulang dari pabrik, Baggio dan Gascoigne sudah lama terlindas oleh roda salah 1 mobil tetanggaku itu. Bajigurnya, pelaku tidak pernah mengabarkan soalan itu ke keluargaku. Baggio dan Gascoigne, lagi-lagi dikutip dari bibi, langsung dikubur begitu saja – tanpa dimandikan, dishalatkan, dan dikafankan – untuk menutupi jejak kesalahan mereka.

Kontan aku bersungut-sungut. Kuminta ke mamak supaya Kana nggak usah dikasih tau sahaja. Biarkan Kana menyangka kucing-kucingnya memang pergi atas kesadaran pribadi untuk jadi TKI di luar negeri, malu sama diri mereka sendiri karena setiap hari kerjanya cuma nungguin jatah makanan kucing dari Kana.

Aku jelas mangkel dengan perilaku tidak bertanggung-jawab seperti itu. Mau ngamuk tapi, kok, ya rasanya kurang elok. Ini tetangga di kompleks sendiri, apalagi mereka juga punya anak-anak di mana Kana juga sering main bareng mereka. Ditambah, mas-mas yang tinggal di situ badannya gede, kayak kingkong. Kalau aku sampai dipiting sama beliau, piye jal? Aku juga mangkel karena menurutku mereka jelas-jelas tau kalau kucing-kucing yang dilindasnya itu adalah kucingnya Kana. Aku menolak kemungkinan bahwa mereka menyangka kucing yang dilindasnya adalah kucing liar. Lha wong Baggio dan Gascoigne itu punya kalung di lehernya, kok; penanda bahwa mereka ada yang memelihara.

Aku sering berpikir tentang perilaku pengecut manusia yang kabur dari masalah yang seharusnya dihadapinya. Apa, sih, penyebab orang-orang seperti mereka suka sekali melakukan tindakan tinggal gelanggang colong playu seperti itu, sementara di sisi lain ada manusia yang mau sadumuk bathuk sanyari bumi ditohi pati? Aku suka bertanya-tanya, mindset apa yang membentuk masing-masing pola pikir macam itu?

Siang ini akhirnya aku menemukan analoginya. Aku sekarang ini lagi nyelesaiin buku “Suluk Sang Pembaharu”, buku keempat dari 7 serinya “Suluk Abdul Jalil”, cerita tentang Syaikh Abdul Jalil alias Syaikh Siti Jenar. Ada 2 paragraf yang tiba-tiba mengingatkanku soal tragedi gugurnya Baggio dan Gascoigne. 2 paragraf itu menulis tentang 2 perilaku kontras oknum manusia:

Uraian Syaikh Abdul Malik Israil tentang latar nilai-nilai yang membentuk Nabi Musa a.s. dan Bani Israil benar-benar menyadarkannya akan kekeliruan itu. Ya, ia menyadari bahwa sejauh ini ia selalu menganggap kawula Caruban Larang adalah manusia-manusia yang sama dengan dirinya. Padahal, sejak lahir hingga dewasa ia dibentuk oleh nilai-nilai ksatria di istana Pakuan Pajajaran yang menanamkan keagungan, kemuliaan, keberanian, kegagahan, ketabahan, kemenangan, dan prinsip dharma ksatria. Sementara itu, para kawula sejak lahir hingga dewasa dibentuk oleh nilai-nilai budak yang akrab dengan kerendahan diri, ketidakberdayaan, kepengecutan, ketertindasan, kekalahan, dan tak kenal prinsip dharma.

Dengan kesadaran itu Sri Mangana pada gilirannya menyadari betapa sesungguhnya Abdul Jalil, putera asuhnya, sang penggagas masyarakat ummah, pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan dirinya. Ya, Abdul Jalil sejak kecil dididik di Padepokan Giri Amparan Jati sebagai putera kuwu Caruban. Alam pikiran dan jiwanya dibentuk oleh nilai-nilai keberanian, kejujuran, keagungan, kemuliaan, kesucian, ketabahan, kemenangan, dan prinsip dharma seorang mujahid. Dalam pergulatan mencari jati diri, Abdul Jalil telah membuktikan diri sebagai pribadi yang tabah dan tidak kenal menyerah. Ah, kata Sri Mangana dalam hati, ternyata anak itu juga keliru seperti aku; menilai alam pikiran dan jiwa kawula seakan-akan sama dengan dirinya.

Dari situ aku sadar, aku juga keliru. Selama ini aku menganggap bahwa setiap manusia seharusnya punya parameter yang sama denganku soal tanggung-jawab dan tingkah-laku, tapi nyatanya tidak seperti itu. Pola didikan dalam keluarga dan interaksi dalam komunitasnya ternyata berpengaruh membentuk mindset manusia. Bukan soal salah dan benar, tapi soal boleh dan nggak boleh, karena setiap manusia kupikir tahu mana yang benar dan yang salah. Cuma saja boleh dan nggak boleh adalah cerita lain.

Manusia tahu hal mana yang benar. Perkaranya, boleh-nggaknya hal yang benar itu tidak dilakukan, itu pengaruh keluarga dan komunitasnya. Manusia juga tahu soalan mana yang salah. Hanya saja, boleh atau nggaknya hal yang salah itu dilakukan, sepenuhnya itu bentukan lingkungan terdekatnya. Contohnya ya soal ngelindas kucing di atas itu tadi. Si pelindas pasti tahu bahwa hal yang benar adalah datang ke Kana, minta maaf, tapi toh tidak dilakukannya karena – boleh jadi – menurutnya mendatangi Kana itu boleh untuk tidak dikerjakan. Kabur dari masalah itu salah, tapi itu boleh dilakukan dalam rangka menghindari beban tanggung-jawab, apalagi jika bentuk tanggung-jawabnya adalah menyatakan penyesalan di depan manusia yang berumur sangat jauh lebih muda.

Ada manusia yang dalam kondisi apapun mengharuskan tindakan ksatria, ada manusia yang menghalalkan kepengecutan. Masing-masing tergantung siapa panutannya, pengaruh yang diterimanya, dan memori yang membentuknya sejak masa kecil. Kalau dibesarkan di keluarga dan lingkungan ksatria, bermental ksatrialah dia, sementara jika dibesarkan di dalam komunitas pecundang, pecundanglah mereka.

Dengan begini barulah aku sekarang bisa memahami omelan mamakku waktu aku kecil dulu setiap aku bikin ulah di sekolah yang bikin malu beliau. “Ingat, kamu itu raden!” kata mamakku, “Kamu tahu nggak, apa artinya raden? Kamu itu wajib jadi panutannya orang lain,” yang kemudian selalu dilanjutkan dengan falsafah keradenan yang dijunjung oleh keluarga besarku bahwa, seorang raden ini harus begitu, raden itu nggak boleh begini, dan bla-bla-bla-bla lainnya.

Aku juga paham dengan kekhawatiran eyang-eyangku dulu yang selalu wanti-wanti soal teman dekat lawan jenis anak-anak, keponakan-keponakan, dan cucu-cucunya. Bagiku dulu mereka hanyalah orang-orang konservatif yang belum bisa menerima era globalisasi sehingga selalu menekankan soal bobot-bibit-bebet bagi calon pasangan anak-turunnya. Bah! Arogan sekali menghitung nilai seorang individu berdasarkan derajat keluarga besarnya, batinku kala itu.

Tapi siang ini aku bisa paham, mereka, orang-orang tuaku mungkin khawatir jika anak-turunnya mendapatkan pasangan dengan pola pikir yang tidak bisa menyesuaikan dengan pola pikir ideal keluarga kami. Mungkin mereka khawatir jika mindset tentang dharma yang kami miliki harus ternoda dengan mindset kelas 2 dari makhluk-makhluk oportunis yang tidak memahami teladan seorang ksatria.

Akhirul kalam, memang perihal di atas tidak bisa dipukul rata. Tidak semua orang berperilaku seperti pelindas kucingnya Kana. Tapi di sisi lain, tetaplah sebuah kenyataan pula bahwa masih banyak manusia yang memiliki kecenderungan bertindak macam pelindas kucingnya Kana. Dihadapkan dengan kenyataan seperti itu, siang ini aku terpaksa harus menerima bahwa setiap manusia adalah sama hanyalah sebuah kata-kata yang sifatnya utopia belaka. Manusia, nyatanya, berbeda-beda perilakunya, persis seperti perbedaan alam pikiran antara para kawula dan kaum ksatria.


So, what do you think?