Hubunganku sama mbak-mbak mantan pacar pada umumnya sehat-sehat sahaja. Meskipun lebih seringnya adalah beta yang ditinggal nikah duluan, tapi kalau untuk repot-repot sakit hati dan merasa terkhianati, aku seringnya nggak punya waktu untuk itu. Ditinggal pacar itu simpel. Buatku, kalau aku sampai ditinggal gadis, berarti kesalahan ada padaku. Aku yang nggak bisa menjaga kadar kemenarikanku di matanya. Aku juga yang nggak bisa membuatnya yakin kalau aku adalah manusia yang sungguh rugi untuk dilepas begitu sahaja. Jadinya ya kayak ngadu jualan barang. Kalau calon konsumen akhirnya beralih ke produk lain alih-alih produk daganganku, konsumen nggak bisa disalahkan. Akulah yang gagal menjawab ekspektasi pasar.
Dari situ biasanya aku dapat feedback, tentang apa-apa yang harus diperbaiki pada produksi seri berikutnya. Siapa tahu besok konsumen yang kemarin batal beli daganganku akhirnya insyaf, terus kemudian beralih lagi kembali mencicipiku barangku (errr…barangku? Kok kesannya jadi agak gimana ya?).
Ya pokoknya gitu, deh.
Tapi kadang-kadang ada pula hal yang beda perkara. Kalau feedback yang kuterima adalah aku harus mengembangkan produk yang berlawanan dengan visi dan misi pabrikku, aku juga nggak bakal maksa. Anggap saja pangsa pasarnya memang beda, seperti kita nggak bisa maksa fanboy ATI Radeon untuk beralih ke NVIDIA GeForce. Namanya juga fanboy, walaupun produk sebelah nyata-nyata lebih yahud speknya, ya susah kalau mau dipaksa pindah keyakinan. Kata Bangaip, selalu ada pasar untuk apa saja. Maka ya sudah, aku konsentrasi aja sama pasar yang bisa kugarap, yang sejalan sama visi dan misi perusahaanku.
Di suatu senja di musim yang lalu aku makan bareng Mbak Mantan. Nraktir dia berhubung beberapa hari sebelumnya aku sempat minta bantuannya ngumpulin data-data buat kerjaanku. Sempat jahil juga aku waktu mendapati dia sudah datang duluan di tempat kami janjian makan sementara aku baru menyusulnya beberapa saat kemudian. “Aku duduk di sini,” sambil menunjuk kursi di hadapannya, “atau di situ?” tanyaku menunjuk tempat duduk persis di sebelahnya.
“Terserah,” jawabnya.
“Kamu yang bilang terserah, lho,” kataku nyengir sambil langsung duduk di sebelahnya.
Kami makan. Di tengah-tengah acara makan aku kembali iseng. Ini acara makan bareng pertama kami lagi setelah sekian lama. Lama sekali. Aku bilang, “Eh, aku kepengen nanya sesuatu, deh.”
“Apa?” tanyanya sambil tetap ngunyah daging sapi bakar pesenannya.
“Sampai sekarang aku belum tahu apa alasannya kenapa setahun sebelum kamu nikah, kamu ngeblok semua aksesku ke kamu? Ya nomer hape, Wasap, Fesbuk, Twitter, Instagram, Line, Path, pokoknya semuanya, tapi habis kamu nikah tiba-tiba semuanya kamu buka lagi?”
Mbak Mantan menoleh menatapku.
“Kenapa?” lanjutku senyum-senyum.
“Sekali lagi kamu nanya tentang itu, ta’beleh!” responnya dengan mimik serius sambil menudingkan pisau makannya ke arah leherku.
Ah, dasar wanita
Momomomomo modaroooo eh momo gesiyaaa
apa, sih, peh?