Seharusnya, waktu aku nulis ini, Pak Harto, mantan presiden Endonesa yang kedua kita itu, sudah teruruk sama tanah di Astana Giri Bangun sana. Seharusnya juga dia nggak bakal sempat blogwalking lagi untuk membaca tulisan tentang kekecewaanku kepadanya, juga penghormatan berlebihan yang diterimanya.
Kecewa apa? Oho, iya, aku kecewa sama pernyataan pemerintah Endonesa yang bilang kalo bangsa kita harus berkabung selama 7 hari demi mengingat jasa-jasa simbah kakung kita tercinta tersebut.
Buat apa berlarut-larut dalam kesedihan, menurutku. Buat apa jasa-jasa beliau diingat, sedangkan kejahatan-kejahatan HAM dan ekonominya kita lupakan? Buat apa coba? Buat apa? Buat apa? Buat apa susah? Susah itu tak ada gunanya…nya…nya..nya…
Jadi di rumah aku langganan koran Seputar Indonesia yang aku tahu di grup perusahaan penerbit koran tersebut, si Bambang anaknya simbah menjabat sebagai salah satu komisarisnya. Sejarahnya kenapa aku memutuskan untuk menyisihkan 50 rebu rupiah sebulan ya cuma gara-gara berita bal-balannya di koran itu banyak. Setiap liga di Eropa hampir tiap hari diulas di koran itu, makanya aku langganan.
Nah, di koran itu entah kenapa banyak sekali dimuat SMS-SMS dari pembaca yang bernada simpati kepada simbah kakung sejak awal simbah kakung mulai sakaratul mawut, aeh, sakaratul maut. Jarang sekali aku mbaca SMS yang bernada untuk tetap tegas terhadap tindakan hukum kepada simbah. Entah gara-gara si Bambang jadi salah satu komisarisnya atau bagaimana, beta juga tiada tahu-menahu.
Rata-rata semua SMS yang aku baca di koran itu mengajak seluruh rakyat Endonesa untuk memaafkan segala kesalahan simbah gara-gara simbah dianggap sebagai presiden yang paling berhasil dalam membangun Endonesa. Jindal mereka!
Memang jindal!
Kenapa jindal?
Ya itu, SMS yang aku baca rata-rata kelanjutan isinya adalah membandingkan era kepemimpinan simbah dengan kepemimpinan yang sekarang. Jaman simbah enak, kata mereka, harga-harga murah, apa-apa gampang didapat, sedangkan jaman sekarang semuanya serba mahal dan susah. Iya, sih, aku akui. Bahkan angkringan tempatku nongkrong sekarang jarang nyediain gorengan tempe lagi dengan alasan harga kedelai lagi mahal.
Tapi mbok ya mereka sadar, gitu. Jangan cuma berorientasi kepada hasil. Mbok ya sekali-kali berorientasi kepada proses. Harga-harga yang dulu murah itu mbok ya disadari kalo hasil dari ngutang sana-sini. Akhirnya juga, kepemimpinan era setelahnya simbah jadi kelimpungan susah berkutik gara-gara ditinggalin utang dengan jumlah bermilyar-milyar dollar. Harga murah itu, kan, gara-gara Endonesa kebanyakan ngutang, dan harga mahal sekarang ini, kan, gara-gara Endonesa harus mulai membayar utang-utangnya. Mau terus-terusan hidup (keliatan) mewah tapi semuanya hasil ngutang? Nehi! Nehi, setidaknya buatku.
Apa, sih, bangganya bisa ngajak cewek kencan berdua dengan mobil hasil minjem, pakaian dapat belas kasihan teman sekampus, duit minjem sana-sini? Kencan gengsi model gitu sebisa mungkin kuhindari. Nggak ada kebanggaannya. Justru aku malah makin jumawa kalau ada gadis manis berjilbab yang mau duduk di boncangan Alfa (tanpa Romeo) bututku, makan di trotoar pinggir jalan, sambil sekali-sekali menolak pengamen yang menyodorkan kotak recehnya. Artinya, cewek cakep tersebut mau kencan sama aku bukan karena limpahan materiku, tapi karena aku memang ngganteng pol-polan meskipun kere.
Jadi, masih mau bangsa ini hidup enak dari hasil ngutang?
Ternyata mental rata-rata manusia di Endonesa masih pada goblok. Dan, insya Allah, aku yakin kalo mereka-mereka yang goblok dan berpikir model gitu bukanlah seorang blogger yang konsisten, hohoho!
Tadi siang aku sempat ngobrol-ngobrol di angkringan depan kampusku bareng Luthfi. Dia bilang, simbah mungkin memang semprul, tapi apa jasa-jasanya dalam membangun Endonesa nggak layak buat dijadikan pertimbangan kita untuk memaafkannya?
Aku balik nanya, jasa yang mana? Kalo simbah membangun Endonesa, ya itu bukan jasa. Itu memang tugasnya, wong dia itu presiden, kok. Presiden ya tugasnya adalah memimpin bangsa ini untuk membuat rakyatnya hidup tentram. Beda kalo misalnya simbah itu orang biasa-biasa aja dan bukan presiden tapi dia mampu menyumbang sesuatu buat Endonesa, itu baru layak disebut berjasa besar. Tapi ini lain, wong simbah kita itu memang presiden, kok.
Sama aja kayak kalo misalnya aku dibayar buat jadi kaptennya Liverpool, posisiku sebagai penyerang sayap kanan. Kemudian di suatu pertandingan aku mencetak gol, ya itu bukan jasa. Aku, kan, memang dibayar sama Liverpool untuk menunaikan pekerjaan itu. Aku layak dicaci kalo tugasku nggak beres. Tapi kalo kemudian ada yang berterima-kasih kepadaku, anggap saja itu sebagai basa-basi, ajang pengakraban personal. Ucapan terima kasih bukanlah sesuatu yang wajib untuk kuterima setelah aku mengerjakan pekerjaanku. Yang wajib kuterima dari Liverpool adalah gaji yang mereka janjikan kepadaku. Lain perkaranya kalo aku sukarela memperkuat Liverpool tanpa bayaran. Ketika mereka cuek atas prestasiku mengangkat nama mereka, barulah aku layak untuk misuh, “Bajingan kabeh! Ra nduwe toto-kromo. Wis diewangi tekan koyo ngene, yo ra sowan ngucapke maturnuwun!”
Kebaikan bukan sesuatu yang harus dibicarakan, kan? Ketika tangan kananmu berbuat baik, tangan kirimu jangan sampai tahu. Tapi tetap saja, kesalahan adalah sesuatu yang harus dipertanggung-jawabkan.
Lagi pula, bicara tentang maaf-maafan, aku jadi beranggapan kalo orang-orang yang mengajak kita memaafkan simbah itu nggak punya rasa empati. Mereka bisa dengan enteng ngajak yang lain buat maafin simbah ya gara-gara mereka nggak pernah secara langsung dirugikan sama simbah. Mereka nggak pernah berurusan sama simbah sampai harus berkorban sedemikian rupa. Orang-orang dekat mereka nggak ada yang jadi korban peristiwa Malari, Tragedi Perawan Pantai Sampur, atau Trisakti. Mereka juga bukan individu-individu seperti Mukhtar Pakpahan yang pernah jadi tahanan politik di eranya simbah, atau setidaknya mereka, kan, juga bukan jandanya orang yang pernah disia-sia hidupnya sama simbah, kayak misalnya Ratna Sari Dewi yang bereaksi keras ketika ada yang berinisiatif untuk mengajak bangsa ini memaafkan simbah kakung kita itu.
Dan, bicara lagi tentang maaf-maafan, terakhir ini aku kutipkan komentar dari bekas kakak kelasku, Mas Narpati, berikut ini:
Yang berhak memaafkan adalah yang menjadi korban kebijakan-kebijakan di masanya, yang mengalami masa diskriminasi, yang hak-haknya disangkal oleh para PNS di masa beliau.
Eyang gak pernah punya dosa denganku, untuk apa aku harus memaafkan dia?
Tapi aku punya kawan-kawan yang jadi korban Eyang.. Kalau aku mengatakan ‘memaafkan Eyang’, atau mendoakan Eyang, berarti aku munafik, berlidah dua. Mengatakan saya ‘memaafkan Eyang’ atau ‘mendoakan Eyang’, berarti perasaan saya tidak sensitif terhadap kawan-kawan saya.
Aku sendiri, kemarin pas simbah diopname memang sempat berdoa supaya simbah bisa sembuh. Bukan apa-apa. Aku berharap simbah sembuh supaya dia masih sempat mempertanggung-jawabkan dakwaan dunia yang ditimpakan padanya. Mampus tanpa sempat menjawab apa-apa, kok ya rasanya kurang seru buat drama kehidupannya simbah kakung kita yang tercinta itu.
Ning yo saiki kabeh wis kelakon. Segala yang berasal dariNya maka akan kembali kepadaNya. Mungkin saja besok kita berdua bakal jadi tetangga di neraka, Mbah. Tidak amin!
Kekekekeee… Aku jadi ingat entrynya mas Herman Saksono yang Memaafkan Hitler. 😛
tapi nyet mbuh. simbahku seng mbiyen pernah melu mbah harto selamaa beberapa tahun nek tak kon nyritakke soal pak harto ra tau gelem. mbuh lah,,
SEUPAAKATT!!!
Urusan memaafkan itu sangat personal.. sangat sangat personal (dengan penekanan berulang-ulang) ..
Justru tanpa sebuah sejarah yang jelas tentang beliau ini sampai meninggal,.. pemuda-pemuda masa depan Indonesia malah kelimpungan puyeng-puyeng.. gamang, bingung ga tahu cerita mana yang bener mana yang salah…
Goenawan Lee:::
ternyata aku kurang blogwalking, gun. aku baru nyadar setelah baca komenmu, hahaha
sigit:::
anu, itu mungkin karena simbahnya sampeyan memegang falsafah jawa secara teguh, mikul nduwur mendem njero 😀
leksa:::
ahaha, terimakasih atas keseupaakattannya
hohoho… eyang kakung saya termasuk yang jadi korban si ‘eyang’ juga.. tapi entah apa beliau termasuk yang memaafkan atau tidak. saya belum mudik ke tlatah karanganyar.
btw, mas joe, ‘zonder’ itu kan artinya ‘tanpa’, nah kok saya bingung ngartiin judulnya ya..
ngono, mas? *garuk-garuk sambil ngupil*
yayaya…saya maapken kesalahanmu joe.. 😛
chriz:::
iya. mau mampus ya mampus aja. nggak usah pake hari berkabung selama 7 hari. ternyata sampeyan pinter juga, mbak 😆
cK:::
sapa? saya? saya salah apa? belum juga jadi presiden. nanti aja maafnya kalo saya sudah jadi presiden, kekeke
Bagus itu, artinya opini semacam ini tidak cuma saya rasakan sendiri, tetepi juga dirasakan ornag lain.
Lhah saya tetep ngarep seminggu
berkabung ini jadi libur nasional aja sekalian hehehe,.. *ngarep biar bisa gak bolos buat jalan-jalan*
wmmm….kamu usia berapa sih waktu Soeharto jadi presiden kok kayaknya tahu betul semua fakta2 kesalahan Soeharto?? kalo punya bukti kasihkan aja ke jaksa agung…kalau cuma dari katanya-katanya orang nanti jadi fitnah lo
Herman Saksono:::
ohoho, terima kasih, mas. ole!
alle:::
saya sebenernya juga, le. biar masa KRSan diperpanjang, gyayayaya…
Anak:::
coba masuk ke halaman profil saya, terus tahun masa kejadian dikurangin tahun ketika saya lahir. nanti ketauan kok saya ada di usia berapa, hahaha…
yang lain, saya diceritain sama eyang kakung plus ibu saya. jadi mau bilang kata2nya sesepuh2 saya itu itu bakalan jadi fitnah? hah? hah? hah?
@diary
Apa, sih, bangganya bisa ngajak cewek kencan berdua dengan mobil hasil minjem…
Alhamdulillah.. setujuw banget ini. setelah 9 tahun, akhirnya bisa bonceng ‘calon’ ibu-ne anak-anak pake Macan dari nabung 1000perak per jam. he..he..
@diary
…Itu memang tugasnya, wong dia itu presiden, kok.
Lah nek GURU, masa’ jadi :
Pahlawan Tanpa Tanda TUGAS… nyambung ra seh…
Saya sepokat semua sama tulisan ini (kecuali masalah boncengan aja.. hihihi).
Hmm.. ada satu lagi..
Menurut saya, secara tidak langsung seluruh manusia yang tinggal di Indonesia dari jaman simbah naik jabatan jadi presiden sampe detik ini, kena getah nya simbah semua.
Jadi memaafkan simbah, terserah mau maafin apa ndak (seperti dikatakan; balaslah dengan setimpal, tapi sebaik2nya tindakan adalah memaafkan), ya berlaku untuk yang semua kena getah. 😀
Wallahualam bi showab..
sampean pancen wangun dadi mhswa ugm dab..
hohoo.. Setubuh, salah setuju ding.. menurutku, klo dulu kita hidup enak, barang2 serba murah.. tapi siapa coba yg bikin krismon di awal tahun 98? hohooo.. klo sekarang mau hidup enak lagi gampang aja, tinggal utang lagi aja.. biar ntar anak cucu kita yg bayar, kayak sekarang ini..
lagi dan lagi masih menurut aku, khasus mantan presiden soeharto ini harus tetap dilanjutkan.. dengan harapan agar semuanya jadi jelas.. nggak kabur kayak sekarang, ntar lama-lama ilang deh kasusnya. nantinya klo memang mantan presiden soeharto dinyatankan bersalah, harusnya warisnya bisa memberikan kompensasi untuk menebus kesalahannya, daripada ditagih ama Allah..
oh joe, kantinMilan nek dibuka nggo IE view e mawut.. koe nek nganti2 html e ojo ngawur.. didandani boll..
Yo wis to… Toh sekarang Si Eyang sudah menghadap Yang Kuasa… Udah gak punya urusan di dunia yang fana ini (kecuali urusan perdata kali ya?)
hoHOho..
Setuju Mas Joe..
Daripada kita berpura-pura jadi bangsa yang kaya tapi ngutang semua mending jadi bangsa yang sederhana dan bermartabat.. hidup New Endonesia!!!!
Tenang ae mas Joe..
Walaupun simbah kakung Harto bisa lolos dari jerat keadilan di dunia, keadilan akhirat sudah menanti beliau untuk segera diadili dengan seadil-adilnya..
Hidup Keadilan!!!!
mas joe, bicara kontroversi almarhum pak harto memang ndak ada habisnya. kalo kita lihat penampilannya sebelum ajal menjemputnya, ternyata masih banyak juga pengikut setianya. maklum, mantan orang penting. mudah2an saja bangsa kita bisa mengambil hikmah dan pelajaran berharga dari almarhum.
Joe, aku barusan kasih komentar soal makam Soeharto di blog orang. Disitu aku bilang kalo presiden yg mempersiapkan makamnya secara istimewa pastilah bukan presiden yg baik.
Ketika kecil dulu (duh ketahuan kalo skrg dah tua) ntah kenapa aku benci banget sama pembangunan Astana Giri Bangun. Mengingatkanku sama Fir’aun (raja2) Mesir.
Sindrom minder ingin diperlakukan spt raja2 Jawa yg dimakamkan di Imogiri ‘kali ya? 🙂 Sok tahu saya….
Saya mengerti tradisi raja Jawa dimakamkan di Imogiri, atau tradisi suku2 tertentu di Indonesia yg dimakamkan di tempat2 tinggi. Tapi ini, orang Jawa – bukan ningrat kok ya pengen spt raja.
Mungkin perlu diingatkan soal Bung Hatta yg hanya ingin dimakamkan di TPU saja. Walaupun tentu, setelah kematiannya org2 lalu membangun makamnya dgn lebih baik.
Sorry Joe, jadi panjang (nggak duwe blog soale)…. Aku juga sebel soal pemerintah kita terlalu berlebihan dgn kematian Soeharto ini
Weleh, Joe! Muantabsss tulisanmu! wkwkwkw…
Asem,,,aku kalah cepet..
Iki efek dari menunda sesuatu…
Yo wes,,,komentar wae!!
Setuju!!!
Aku setuju kabeh kecuali bab ngganteng pol-polan :p
huahahaha….
begitulah MNC (media nusantara citra),mana pernah bisa kritis sama orang-orang cendana sana…lha,bikin MNC juga hasil ngutang…
tapi saya merasakan jasa si mbah lho mas…lha saya bekerja di TV yang dibikin dari ngutang,saya harus trima kasih sama si mbah dong?
oia,soal awal dan akhir:
“Tapi mbok ya mereka sadar, gitu. Jangan cuma berorientasi kepada hasil. Mbok ya sekali-kali berorientasi kepada proses”
inget sama satu ayat di quran’:
“Dan sesungguhnya akhir itu lebih baik daripada awal”
Dhuha ayat 4
hasil akhir yang dinilai….
jadi kalo hasil akhirnya jadi semrawut begini bisa saya simpulkan bahwa kepemimpinan si mbah itu gagal…
tul ga?iya kan….
Mas IWåNT:::
lho, ya ndak nyambung. kan tugas sama jasa itu memang beda 😛
Santi:::
itulah fleksibelnya hukum islam menurut saya. manusiawi gitu; kalo memang ga tahan, boleh dilampiaskan meski tetap aja ada penyelesaian yang lebih baik 😀
detnot:::
mbok pancen wangunnya diganti jadi pancen ngganteng 😆
vcrack:::
hari gini pake IE???
Adhi P:::
iya, sih, meskipun agak ga seru juga. yang skrg saya sesalin ya reaksi pemerintah sama sebagian rakyat indonesia yang masih bermental orientasi hasil. itu aja.
galihyonk:::
hidup endonesa!!!
sawali tuhusetya:::
semoga, pak. amin. tapi sebenernya yang lebih saya sesalkan adalah ketidakmampuan sebagian masyarakat bangsa ini dalam bertindak sesuai proporsi aja. setidaknya menurut saya
bsw:::
oh, ndak pa-pa. kemon, bikin blog sendiri aja. aseek lho, bisa misuh sepuas2nya
imsuryawan:::
lha, saya kan memang ngganteng…
Aday:::
ah, ente cuma iri aja sama tampang beta 😛
andrisihebat:::
hahahaha “akhir” yang sebenernya kan masih jauh, ya mas.
akhir dari sebuah fase yang dinilai sebagai apa2 murah dan enak itu yang saya sesalkan prosesnya 🙂
hidup orde baru…!!!!
hidup militerisme… !!!!
reformasi membuat orang menjadi sok ….
sok ber HAM…..sok anti KKN…
munafik…!!!!
belajar KKN itu sudah dimulai sejak masuk kuliah,… diteruskan dengan pelanggaran HAM kecil2 an..
saya ingin tahu,sejauh mana kalian bisa tetap beridelaisme seperti itu….!!!
lha kok pada s7 smua, kagak seru nih…
yawes talah, gak pa pa seh ‘jasa’ne dikenang2, mo 7 hr atopun 7 abad, nggak ngefek.
resiko orang bikin salah, sebanyak apapun jasanya, sekali aja bikin salah apalagi fatal, ya tetep bakal bikin orang sakit ati, gak trima dll
kita sih mudah aja maapin tapi katanya cak nun, orang mo maapin tuh kudu tau apa dulu kesalahannya, lha kalo kesalahan2nya gak kita tau apanya yang mo dimaapin…??
bisa aja tuh acara usut mengusut masalah perdata dll diterusin, mumpung anak2nya masih ngumpul n tampak jelas di langit biru bening, halah…
–>>> jenderal
belajar KKN…pelanggaran HAM, kalo belajar pasti ada yang ngajarin. lah, kayaknya yang ngajarin tuh yang perlu dibasmi, lha kita sebagai orang yang belajar biasanya masih polos, jadi ngikut aja apa dilakuin ‘guru’2 qt. dah jadi budaya uey, bukan sejak kuliah tapi jaman es em a juga dah ada….
syukur deh masih punya idealisme, jadi punya gambaran menuju situasi yang lebih ideal…
kalopun 7 hr, bln ato tahun lg idealisme kami dah mati, saya harap sih ada generasi2 baru yang masih punya idealisme…
jenderal:::
belum pernah jadi tahanan politik atau diculik ya, mas?
wew, sayang banget orde baru sudah lewat
o ya, saya, sih, dibanding HAM lebih mendukung KAM, kewajiban asasi manusia. menurut saya, ketika kewajiban asasi tiap2 manusia sudah ditunaikan, maka otomatis tidak akan ada lagi pelanggaran hak asasi
noe:::
yep, itu dia masalahnya: fatal 😀
Senengnya ada yang ngewakilin buat ngejelentrehin apa yang nyumpek di ati soal euforia media massa njejelin kita ama berita sedha-nya sang mbah yang overrated ituh.
Joe emang top deh..
(Tapi gw tetep kurang sepakat tentang “ngganteng pol-polan” itu. Berasa overrated juga hehehe…)
Gw gak setuju kata2 Nganteng pol2an….
Yah semoga aja simbah bisa akrab sama pakde adolf hitler disono….
bukan cuma tetangga joe, kowe mesti dibakar satu tungku (Tidak Amin juga)
Udah, maafkan aja. 😆
hehehe..kesian juga yah si mbah. yah bagaimana pun setiap perbuatan harus dibayar dengan pantas..nggak bisa cuma pake ‘maaf’
btw yang bilang ngganteng2 iku sangat overrated.. 😛
Setuju buanget!!!!
aku yo gak seneng banget tuh ma si mbah. banyak buanget orang2 yg bisa gampang bilang si mbah tuh presiden yg terbaik di Indo dan memuji2nya. alesannya jg karena zaman si mbah dulu gak ada demo2an jadi tentram.
mbuhlah, tapi yg jelas aku gak suka banget ma tuh mbah.
semua yang terjadi….biar tejadi..di syukuri aja! …sukur….sukur….sukur…..