Lantai di unitku ngendon di kantor sejak kapan hari kemarin kedatangan agen cabutan baru. Sebenarnya nggak baru-baru banget, sih. Sudah lama juga agen ini ada di kantorku. Hanya saja dia didinaskan di unit lain, di gedung sebelah, dan tentunya di lantai yang bukan lantai unitku. Jadinya mungkin lebih tepat kalau agen yang baru masuk di tempatku ini disebut agen baru tapi lama. Lebih tepat lagi kalau kita mau menyebutnya dengan panggilan “Mas Mat”, karena memang itulah namanya.
Mas Mat ini bukan agen lapangan seperti aku. Maka bisa ditebak kalau Mas Mat tidaklah menyandang lisensi untuk membunuh sepertiku, lisensi dengan kode 00 di depan nomor urut identitas keagenan sebagaimana yang lazimnya kita kenal. Adapun dengan tambahan 00 di depan nomor urutku, identitas keagenanku sendiri adalah 007 3/4.
Mas Mat ini agen administratif. Tugasnya spesifik sekali: memastikan ruangan selalu bersih dan bikin kopi. Jadi buat pantry lover macam aku, keberadaan Mas Mat sangat membantuku, mencegah aku bengong sendirian waktu lagi ngerokok di seputaran pantry. At least aku jadi ada teman ngobrolnya.
Suatu waktu, pas kenalan pertama kali, Mas Mat bertanya, di mana aku tinggal? Basa-basi biasalah. Tentu saja aku tidak boleh bicara jujur sehubungan dengan profesiku. Bisa celaka nanti kalau melalui proses yang tanpa disengaja tempat tinggalku diendus pihak musuh. Jadi ya cuma beberapa komandanku saja yang boleh tahu kalau aku aslinya tinggal di sebuah apartemen di bilangan Kemayoran. Selebihnya aku selalu bilang ke orang-orang kalau aku tinggal di daerah Ciputat, termasuk kepada Mas Mat itu tadi.
Elhadalah…begitu mendengar kata “Ciputat”, Mas Mat langsung nyambung. Dia bilang kalau dia menghabiskan masa esemanya di salah satu esema milik yayasan swasta di situ. Dia juga cerita betapa indahnya masa esemanya, betapa kompaknya rekan-rekan seperjuangannya. Sering Mas Mat dan teman-temannya cabut dari kelas pas jam pelajaran, bolos, nongkrong, kemudian begitu jam bubar sekolah mereka langsung bergerombol menyatroni sekolahan lain buat diajak ribut. Buku yang dibawanya buat menuntut ilmu cuma sebiji buku tulis yang diselipkan di saku belakang celana esemanya. Selebihnya rombongan Mas Mat ini lebih akrab dengan gir motor dan kunci inggris, padahal sekolahnya bukanlah sekolah menengah jurusan otomotif. Heran juga aku jadinya 😈
Mas Mat cerita tentang betapa serunya masa-masa itu, sampai pada suatu ketika…
Sebiji laporan investigasi selesai kugarap. Aku memutuskan buat ke pantry dulu buat nyari kopi dan ngerokok. Mas Mat ada di situ, sedang mungutak-atik hapenya. Dia bertanya ke aku, niatnya ngajak ngobrol tentang kondisi politik bangsa ini yang akhirnya berujung pada wacana kenaikan harga BBM.
Mas Mat ngeluh. Ngeluh tentang betapa tingginya biaya hidup yang nantinya bakal jadi tanggung-jawabnya buat menafkahi istri dan anaknya, sementara menurut pengakuannya gajinya tidaklah seberapa. Masih di bawah standar UMR Jakarta, katanya.
Kutanya, kenapa bisa begitu?
Kata Mas Mat, sebenarnya bayaran dari kantorku sudah sesuai dengan UMR, hanya saja bayaran yang segitu itu ternyata masih dipotong lagi sama agensi pihak ketiga yang menempatkannya bekerja di kantorku. Mas Mat bilang, agensi inilah yang nggak beres. Main potang-potong tanpa memperhitungkan biaya hidup yang harus dikeluarkannya. Pokoknya, pendek kata, maunya Mas Mat, ya seharusnya agensinya tidaklah berlaku seenaknya. Jangan semena-mena sama orang kecil, sungutnya.
Mendengar ceritanya, otomatis aku jadi gatal juga. Hampir saja aku berbicara kalau saja aku tidak ingat sedang berbicara dengan siapa. Konon, jangan menggurui orang yang lagi emosi dan kena masalah, apalagi sampai kelepasan mengeluarkan solusi yang sungguh jitu. Jangan pernah. Sekali lagi, jangan! Semakin jitu solusi yang kita berikan, justru semakin tersinggunglah dia. Sebagai dukun curhat tugas kita cumalah mendengarkan. Tidak perlu bagi kita untuk memberinya wawasan tambahan, atau kita justru akan dicap sombong.
Kenapa?
Ya karena semakin kita mencoba untuk memberi solusi, yang bersangkutan justru akan semakin merasa direndahkan. Masalah rumit buat dia, kok, bisa-bisanya jadi nampak sepele buat kita? Maka dari itu, semakin simpel solusi yang kita berikan, semakinlah dia merasa intelektualitasnya dilecehkan. Problem krusial buat dia haruslah nampak krusial juga bagi kita, supaya kita dinilai memiliki rasa empati, tenggang-rasa, dan tepa-selira. Kita harus menunjukkan bahwa kita sama bingungnya dengan dia, terutama saat yang bersangkutan mulai mengeluarkan kalimat pamungkas tanpa Bambang-nya: “Coba, saya mesti gimana lagi?”
Tadinya, sih, aku mau mengambil contoh dari kasus teman-temanku, yang tidak puas sama gaji di tempatnya bekerja, yang mereka rasa tidak sesuai dengan beban kerja dan kapasitas otaknya, yang kemudian memilih cabut dari kantor lamanya, yang lalu mencari pekerjaan baru sesuai dengan kualifikasi yang diinginkannya. Tapi tentu saja tidak bisa begitu karena ini kasus yang pada dasarnya memang sangat berbeda parameternya.
Teman-temanku itu manusia biasa, soalnya. Beda sama Mas Mat. Kehidupan masa remaja teman-temanku tidaklah sebergejolak masa mudanya Mas Mat. Teman-temanku itu taunya kalau sekolah ya berarti ada tanggung-jawab moril kepada orang yang sudah membiayai sekolahnya. Cara menunjukkannya ya dengan belajar yang benar supaya nantinya bisa lolos tes masuk di perguruan tinggi yang bagus, supaya nantinya lagi ijazah sarjana mereka bisa diperhitungkan untuk mencari pekerjaan dengan gaji yang layak sesuai dengan maunya mereka. Sebagian lagi, teman-temanku yang tidak berniat bekerja di bawah orang lain, memanfaatkan masa-masa abegenya untuk belajar tentang banyak hal di luar institusi pendidikan formal. Masing-masing dari mereka berusaha menyiapkan bekalnya sendiri-sendiri, supaya nanti bahagia atau tidak bahagianya hidupnya tidaklah ditentukan dari kenaikan harga BBM, tidak mengandalkan mukjizat dari pihak ketiga.
Orang-orang macam itu, orang-orang yang berusaha menentukan value yang dimilikinya sendiri itu, mana bisa dijadikan pembanding pada problemnya Mas Mat. Masalah Mas Mat ini sungguh pelik. Ini kasus yang boleh jadi belum pernah dihadapi oleh orang-orang yang di sekelilingku. Kami ini konservatif. Kami ini taunya ya hidup itu sudah seharusnya memang begitu, yang melakukan sesuatu akan memiliki nilai lebih ketimbang yang tidak melakukan sesuatu.
Maka begitulah. Sampai sekarang aku belum bisa menemukan caranya bagaimana membantu Mas Mat keluar dari masalah hidupnya. Pertama, karena aku belum pernah ada di posisi itu, kedua, juga karena teman-teman dekat di sekitarku juga belum ada yang pernah di posisi itu. Aku harus berkaca pada contoh kasus yang mana, coba? 😈
Jadi bagaimana, sidang pembaca ada yang tahu caranya? 😉
Ada 9 anak dalam 1 rumah. Ingat, cuma mereka yang ada di rumah.
Si A lagi nyetrika,
Si B lagi nonton tv,
Si C lagi masak,
Si D lagi tidur2an,
Si E lagi mandi,
Si F lagi main catur,
Si G lagi dengerin radio,
Si H lagi dandan,
Nah si I lagi ngapain coba?
Baca dengan teliti! Buktikan bahwa Anda jenius.
Main catur
Mat, mat, mat, mat kamerane mat!
@raharjo, Siswo, Anonim:::
do oot. muwinggat!!! 👿