“Fear the fury of a patient man.”
– Nicholas Mario Wardhana, kandidat Ph.D. dari NTU
Kapan hari kemarin mendadak aku dapat wangsit. Ya, namanya aja manusia linuwih…orang-orang kayak aku ini kadang-kadang memang suka dapat pencerahan di waktu dan dengan cara yang tidak disangka-sangka. Kampretnya si pencerahan ini memang agak nggak tau adat. Malam menjelang libur, seenaknya aja beliau itu hadir tanpa diundang.
Perbuatan tersebut jelas sangat merugikan. Merugikan karena apa? Karena setiap kali dapat pencerahan otomatis aku butuh waktu buat merenung, kemudian merumuskannya dalam bahasa yang enak serta mudah dicerna untuk dibagikan kepada umat manusia. Kampret, kan? Lha, ketimbang waktuku kupakai buat merenung, bukankah alangkah bijaknya jika waktuku itu kupakai buat baca komik “One Piece”, kan, sodara-sodara? Betul tidak?
Tapi tiada mengapa… Buat kalian, duhai pembaca yang budiman, tidak mengapa waktuku kupakai buat merenung, dan kemudian kubagikan hasilnya untuk kalian. Hitung-hitung sebagai ladang amal, buat ngumpulin pahala, supaya besok aku bisa masuk surga.
Jadi ceritanya begini… Waktu itu aku ada janji ketemuan dengan seorang kolega sesama pengabdi negara. Dia penyidik administratif, sementara aku ini detektif. Di hari H-nya sejak pagi aku sudah wanti-wanti sama orang kantor kalau maksimal jam 1 siang aku mesti cabut, mau ada meeting penting sama kolega. Sangat penting soalnya aku dijanjiin bakal ditraktir donat, yang entah donat model apa aku masih nggak yakin. Bisa jadi itu donat adalah Donatello-nya Kura-kura Ninja atau Roberto Donatdoni yang bekas gelandangnya AC Milan. Yang jelas orang di kantor nggak masalah, toh kerjaan yang jadi tanggung-jawabku memang sudah harus rampung jam 12 siang.
Memang betul. Jam 12 kerjaanku selesai. Aku juga nggak perlu cemas kalau mendadak disuruh merevisi kerjaanku karena feedback dari kerjaanku itu baru bisa kuterima paling cepat 2 hari kemudian. Yep, aku sudah siap berangkat. Hujan sudah reda. Jadi aku nggak perlu repot-repot naik motor sambil gedombrangan pakai jas hujan. Aku tinggal menunggu konfirmasi dari kolegaku itu, tentang jadi-tidaknya kami ketemuan.
Tunggu punya tunggu, lha, kok nggak ada pesan masuk 1 pun ke hapeku. Kucek imel, yang masuk terakhir masih imel dari Mbak Mantan seputar kinerja ekspor-impor Endonesa dengan Turki, Cina, dan Uni Eropa. Ya wislah, kali aja beliaunya yang ngajak janjian kebetulan lagi ada sedikit hambatan. Kupilih tidur siang di kantor, di pojokan dekat pantry, sampai dengan jam setengah 3 sore, saat hapeku bunyi, mengabarkan kalau dia ngajak meeting-nya diundur ba’da maghrib. Sori, katanya, tadi hapenya sempat mati. Oke, kuiyakan saja, soale kebetulan juga porsi traktiran donatnya dijanjikan bakal ditambah. Mungkin kali ini tambahannya adalah donat yang ngetop sebagai legendanya Napoli: Diego Armando Maradonat.
Kuputuskan pulang ke rumah dulu, sekalian buat maem berhubung sejak pagi aku memang belum maem. Cuma kemasukan kopi susu, air putih, ngemil kacang bawang, plus tidak lupa setengah bungkus lintingan mbako. Tadinya siap-siap buat makan besar, sih, soalnya. Eee…lhadalah! Jebul sampe rumah nggak ada nasi. Adanya cuma kue pukis. Ya sudahlah, kuembat seadanya sahaja lalu nggeblas ngelanjutin tidur.
Jam setengah 6 sore aku sudah bangun. Niatnya siap-siap cabut setelah mandi jebar-jebur yang biasanya jarang kulakukan di jam segitu itu, sambil nunggu konfirmasi meeting. Nyaris jam 7 ada SMS masuk ke hape. Yang bersangkutan nanya, sekalian malam aja gimana? Soalnya tau-tau beliau tadi ketangkep sama temen-temennya buat diajakin minum-minum. Nggak masalah, sahutku. Toh besoknya juga libur. Menjelang libur biasanya aku jadi makhluk nocturnal, makin malam makin berbahaya, apalagi kalau bulan purnama. Maklumlah, namanya juga keturunan manusia Planet Saiya.
Tapi walaupun meeting-nya diundur, aku tetap memutuskan ke Gren Endonesa (GE), tempat di mana kami janjian. Daripada tengak-tenguk nunggu di rumah, alangkah cerdasnya kalau aku nunggu saja di tempat kejadian perkara, sekalian bisa ke Gramedia-nya GE, siapa tau ada beberapa biji serial “Long Hu Men” baru yang bisa dibaca, sebagaimana kebiasaanku tiap bulannya: nunut baca di Gramedia.
Nongkrong di Gramedia sampai lewat jam 9, ada SMS lagi dari yang bersangkutan. Dia minta maaf. Dia ternyata capek dan nggak bisa nyusul aku ke GE, begitulah katanya. Pendeknya, ketemuan batal!
Syetan alas, batinku! Lha tau gitu, kan, mending aku genjrang-genjreng main gitar di rumah seharian, kurekam, kemudian kuaplot buat pamer di Instagram. Lumayan, pastinya bakal banyak gadis yang tersepona, eh, terpesona kalau ngeliat aku main gitar sambil nyanyiin “While My Guitar Gently Weeps”-nya The Beatles atau juga “Takut Sengsara”-nya Meggi Z. Fixlah hari itu aku kena tipu 3 kali!
Beliau bilang, aku marah aja juga nggak pa-pa karena memang beliaunya salah. Wah, ini justru makin kurang ajar. Kemaki, sungutku dalam hati.
Lha bagaimana tidak kemaki, jal? Sudah mbatalin janji, sekarang aku malah “disuruh”-nya buat marah aja. Nggak pa-pa, katanya.
Tapi kadang memang repot juga jadi orang yang selalu mencoba berpikir logis dalam setiap situasi bin kondisi. Saat normalnya homo sapiens lain bakal marah-marah kalau ketanggor kondisi yang mirip sama kondisiku barusan, aku jadinya malah mikir, apa untungnya aku marah? Apa yang bakal kudapat kalau aku marah? Sampai seberapa efeknya buat yang bersangkutan kalau aku marah?
Sayangnya, jawaban yang kuterima dari central processing unit-ku adalah: tidak ada sama sekali. Yang ada aku malah menguntungkan posisinya. Lak tobat tenan tho? Kita sudah dirugikan, kita masih juga disuruh buat menguntungkan yang bersangkutan. Yang begitu itu malah bikin beliaunya bahagia bukan buatan, macam bandar yang ketawa ngakak waktu Piala Super Eropa, Atletico Madrid ketemu sama Chelsea.
Lha, bahagia bagaimana, Mas Joe? Wong dimarahin, bakal dimaki habis-habisan, kok, malah bahagia?
Lha ya tentu saja. Bagaimana bisa beliau tidak untung, kawan-kawan? Coba sampeyan telaah secara mendalam, dia bikin kesalahan, dan umumnya orang yang sadar sudah bikin kesalahan itu pasti kemudian bakal menyiap-nyiapkan mental untuk menerima ganjaran yang setimpal. Dalam hal ini ganjaran yang dia pikir bakal diterimanya adalah kemarahanku. Dia sudah siap kalau aku marah. Maka begitu aku marah ke dia, dia bakal berpikir kalau dia sudah menerima akibat dari perbuatannya. Impas. Segalanya kembali normal. Kesalahannya sudah tertebus ketika dia menerima kemarahanku, mendengar caci-maki dariku. Dia lega, sementara aku dapat apa?
Fuck man…aku ini batal ngaplot video main gitar ke Instagram, sementara dia ketawa-ketawa waktu nongkrong sama teman-temannya. Sudah dianya kebagian nongkrong, enak-enak, habis itu aku nglegani perasaannya dengan marah-marah ke beliaunya. Apa itu namanya kalau bukan aku memberikan posisi yang menguntungkan buat dia? Lagi pula apa sampeyan pikir, duhai teman-teman, marah kalian bakal ngefek ke manusia macam demikian?
Tidak bakal, sodara-sodara sebangsa tanah dan sebangsa air! Kemarahan dari seseorang yang janjiannya saja berani dia kesampingkan, sampeyan kira bakal ngefek? Non sense! Jajal perhatikan, kita ini sudah dianggapnya manusia nomor 2. Kita yang sudah sepakat janjian dengannya saja berani ditinggalkannya cuma gara-gara mendadak ada manusia-manusia nomor 1 baginya yang membuat permufakatan setelah kesepakatannya dengan kita, maka apa sampeyan pikir kemarahan kita bakal dinilai punya kualitas nomor 1 pula buat dia? Kemarahan dari homo sapiens kelas 2 ya cuma bakal berfungsi sebagaimana yang seharusnya: cuma malah bakal nglegani beliaunya, alih-alih ada benefit yang bakal kita dapat. Paham?
Kita cuma boleh marah kalau kita sadar dan paham betul ada benefit yang didapat dari kemarahan kita. Jangan malah bertindak yang menguntungkan orang yang sudah merugikan kita. Mereka tidak pantas menerima barokah tersembunyi dari kemarahan kita. Dalam kasusku, misalnya, ketika aku marah aku bakal dibayar 50 rebu rupiah per kata yang kulontarkan, yang begitu itu barulah jenis marah yang layak diperjuangkan. Tapi bagaimana mungkin? Urusan donat aja nggak terlaksana, masak iya aku sebodoh itu menerima janjinya – seandainya pun kemudian dia berjanji – bakal membayarku 50 rebu per kata yang keluar dari bibir indahku? Donat sahaja tiada tertepati apa maning 50 ribu per kata dalam kalimat nan mengandung caci-maki? ๐
Ingatlah, ketika dia bilang bahwa nggak pa-pa kalau kita marah, itu artinya memang demikian. Mau kita seberapapun brutalnya mengumbar pisuhan, ya nggak pa-pa buat dia. Dia, sih, santai aja. Nggak ngaruh, nggak ngefek apa-apa. Toh dari awal dia memang sudah menegaskan kalau dia nggak bakal kenapa-kenapa. Mendadak kita mati gara-gara stroke pas marah ke dia, kalaupun ada yang nekad menyalahkannya, paling-paling dia cuma bakal bilang, “Lho, salah sendiri kenapa marah-marah kepada beta?” Preklah pokoknya!
Maka kalau sudah demikian, apa lantas yang bisa kita lakukan?
Ya sudah, biarkan aja apa adanya. Tidak perlu pula berharap karma, karena siapa tau beliaunya termasuk jenis manusia yang jenius menghindari karma. Makan ati sendiri kita nanti. Biarkan saja ini jadi pengalaman kita seperti sabdanya calon suami pacarnya Aphip kepada Aphip waktu mereka ketemuan demi meluruskan sengketa kepemilikan.
Aphip yang notabene adalah Takiya Genji-nya Ilmu Komputer Gadjah Mada akhirul kalam toh cuma bisa manggut-manggut sewaktu calon suaminya Mbak Endang berkata, “Yo wis iki dinggo pengalamanmu wae,” sembari menutup perkara cinta segitiga di antara mereka. Lha, calon suaminya Mbak Endang – yang menurut pengakuannya Mbak Endang ke Aphip sebelumnya, mereka itu sudah putus – ini polisi je. Seberapapun cepatnya Takiya Genji melontarkan pukulan, jika ada sebutir peluru bersarang di jantungnya, pastilah gali SMA Suzuran itu bakal meregang nyawa.
Lagipula buatku, siapa tau ini adalah pertanda untuk pasang togel. Tinggal aku nyari tau, “kena tipu” itu berapa terjemahan kode buntutnya. Lak ya lumayan juga tho kalau jebul tembus 4 angka? Mwehehehe…
Diiiih *tendang dan masukin namanya ke Death Note. Paling gak suka orang menunda-nunda janji, trus membatalkan sama sekali.
Nganu…orang yang kayak begini ditendang juga susah ngaruhnya, kayaknya. Mungkin memang lebih enak dimasukin ke catatan kematian; ditulis matinya gara-gara depresi kena kibul melulu seumur hidup. Ugyagyagyagyagya!
sungguh, saya baru nyadar ini blog filsuf ๐ฎ
betul. blog ini memang sekelas blognya Plato atau Aristoteles. yaaa…minimalnya Damardjati Supadjar-lah ๐