Ternyata aku ini lambat belajar. Setelah jadi manusia selama sekian ratus tahun, yang nggak bisa mati kecuali leherku dipenggal, aku baru sadar belakangan ini kalau ternyata aku punya kelemahan mendasar berupa sifat nggak enakan sama orang, apalagi kalau orangnya berjenis kelamin wanita.
Kadang ini merepotkan. Tapi bukan sejenis repot yang timbul gara-gara ada orang yang minta bantuan (biasanya, sih, bantuan finansial). Untuk jenis kerepotan yang seperti itu aku sendiri suka nggak sadar. Sadarnya kalau pas sudah mau tidur, biasanya. Baru kerasa capeknya. Bantuan sejenis nemenin temen belanja meskipun aku sendiri nggak beli apa-apa, ndengerin curhatannya anak gadis orang, dimintain pendapat untuk urusan yang bersifat metafisik, yang begitu itu – kalau mau dilihat dari kacamata egois – jelas menyita waktuku. Ada banyak hal produktif lainnya yang bisa kukerjakan untuk diriku sendiri seandainya saja aku tega menolak permintaan bantuan yang remeh-temeh itu, misalnya bermalas-malasan.
Untuk perkara yang di atas itu, Nadia, mantan gebetanku di akhir dekade kemarin dan awal dekade ini, sempat bilang, “Kita sama, Joe. Kita ini jenis orang yang bahagianya didapat dari hasil membahagiakan orang lain. Gemini, sih.”
Kuiyain pendapat itu, kecuali soal zodiak gemininya. Kenapa? Soalnya mengacu pada kondisi kaum gemini kebanyakan, kami kaum gemini tidaklah percaya sama ramalan bintang. Pendapat Nadia tentang membahagiakan orang itu kuiyain karena sampai sekarang aku menganut paham “untuk menerima, kita harus memberi terlebih dahulu”; selain ya rasanya seneng aja kalau bisa nyenengin orang lain. Jadilah aku suka nggak sreg sama pendapat yang bilang, bagaimana mau membahagiakan orang lain kalau dirinya sendiri nggak bahagia terlebih dahulu?
Tapi namanya juga manusia, yang dirasakan sama masing-masing batin pastilah beda-beda, tergantung childhood impressions, role models, dan influences yang didapatkannya waktu kecil. Jadi ya nggak pa-pa kalau mau beranggapan bahagiakan diri sendiri barulah orang lain. Ya, sapa tau aja yang bersangkutan bukan orang gemini, kan? Jadi ya wajar aja kalau beliaunya percaya sama ramalan zodiak. Sapa tau aja rasi bintangnya memang menunjukkan kecenderungan untuk bersikap demikian.
Aku sendiri mungkin jadi nggak enakan juga gara-gara didikan yang kuterima dari kecil. Hasilnya, ya repot. Repot yang baru kerasa setelah kerepotan itu sendiri selesai. Makanya waktu Nadia berusaha membahagiakan lelaki lain yang kepengen jadi suaminya, aku juga membolehkannya. Aku lagi mencoba membahagiakan Nadia yang waktu itu kepengen membahagiakan orang lain. Habis jadwalnya beliau ijab kobul, barulah kerasa. Aku muring-muring 5 harian, waktu demi waktu berjalan tanpa ada yang bisa diajak SMS-an.
Etapi jangan bilang kalau prinsip memberi dulu baru menerima yang kuimani itu salah lho ya. Lha, nyatanya sekarang aku bahagia. Kalau kemarin aku beneran kawin sama Nadia, mana bisa aku icip-icip pacar-pacarku yang selanjutnya. Boleh jadi juga, mana bisa aku sekarang terdampar di Inggris Raya?
Itu jenis repot yang nggak seberapa repot. Repot yang levelnya lebih repot lagi adalah ketika aku dirugikan orang lain, baik secara material ataupun spiritual.
Aku ini pada dasarnya seorang pendendam. Pendendam dalam segala hal. Baik dendam gara-gara perbuatan baik orang lain ataupun dendam akibat perbuatan jahatnya ke aku, semuanya pengen aku balas berkali-kali lipat. Jenis dendam yang pertama, sih, beres. Gampang. Aku cuma perlu duluan ngacir ke kasir aja kalau kebetulan lagi jajan bareng sama yang bersangkutan. Nanti kalau beliaunya nanya, jatah yang harus dibayarnya berapa, sepele, aku cuma perlu berucap, “Wah, lupa. Bonnya nggak aku minta e,” saja.
Jenis dendam yang kedua ini yang agak-agak repot. Sudah dirugikan, sudah dikuyo-kuyo, kadang sampai mood-ku jelek selama berhari-hari, aku tetap aja nggak enakan buat balas dendam. Rasanya kayak, ya udahlah akunya sebel dikit nggak pa-pa, nggak usah dibalas. Kalau dibalas, nanti kalau anaknya orang akhirnya kebablasan mati, gimana jal?
Lha, situ pikir, itu kenapa mantan-mantan pacarku yang ninggalin aku masih bisa hidup sampai sekarang gara-gara apa, coba?
Ya, jelas semuanya karena karena izin Allah, dong. Situ pikir aku ini berkuasa atas hidup-matinya seseorang? Enak saja!
Hasilnya, demi mengakomodir perasaan nggak enakku ke orang lain itulah akhirnya nafsu balas dendamku jadi nggak terlampiaskan. Dan situ pasti tau, kan, gimana rasanya nafsu yang nggak terlampiaskan? Kadang-kadang dia suka muncul dengan sendirinya, bahkan dalam kondisi yang paling tidak terduga sekalipun. Dan kalau dia sudah muncul, mendadak aku jadi suka sebel sendiri. Mau ngapa-ngapain rasanya nggak mood lagi, termasuk sekarang ini, saat aku harusnya ngerjain disertasi.
Semprul!
lho kalau saya pikir-pikir sampeyan ini sebenarnya sudah bahagia. cuma ndak sadar saja. bukankah memang orang yang bahagia itu seringnya merasa hidupnya normal-normal saja.
iya juga ya…
etapi saya muring-muring waktu si embaknya akad nikah. dari luar aja yang keliatannya masih cengengesan. “di dalam hatiku hancur, riasanku mungkin luntur, tapi aku tetap tersenyum”-lah! 😆