Nook, Akhirnya

Hello, teman-teman… Masih lapar puasanya? Tentu saja. Tentu saja yang namanya sedang puasa itu pasti lapar. Maka jikalau ada sejawat teman-teman yang ngaku puasa tapi bilangnya nggak lapar, mesti saja dia itu lagi ngibul. Di mana-mana yang namanya menahan lapar dan dahaga itu pastilah dalam kondisi lapar dan dahaga. Lain itu, bualan belaka!

Baiklah, sembari selamat meneruskan ibadah puasanya, dan sembari menunggu beduk maghrib pula, izinkanlah aku yang lagi kepengen cerita ini untuk sedikit cerita-cerita…

Jadi begini… Sejak jadi sering jalan-jalan dari 1 kota ke kota lainnya di Endonesa, tiba-tiba saja jadi muncul sebuah kebutuhan baru buatku. Jaman dulu, sih, biasanya tiap jalan-jalan aku selalu menyempatkan bawa buku buat nemenin jam nganggur di terminal, stasiun, atau airport. Tapi gara-gara makin ke sini rasanya makin nggak cukup kalau selama aku belum balik ke rumah itu aku cuma bawa 1 buku, gara-gara malas menuhin tasku dengan beberapa buku sekaligus, gara-gara aku ini makin ganteng sahaja yang artinya makin banyak punya kenalan gadis manis yang artinya lagi buat mempererat silaturahmi aku jadi harus bawa bejibun oleh-oleh tiap habis jalan-jalan, akhirnya aku ngelamun, kayaknya aku ini sudah butuh ebook reader, deh. Biar simpel, biar praktis, biar ndak mberat-mberatin tas ransel cap Eiger-ku.

Hanya saja jenis manusia pengguna ebook reader di sekitarku ternyata nyaris ndak ada babar blas. Aku yang kepengen menggali user experience secara live tentulah jadi sedikit kesulitan. Aku jadi terpaksa mulai gugling-gugling testimonial tentang pengalaman para pengguna ebook reader merek demi merek, yang entah orangnya pas nulis testimonial itu lagi jujur atau habis dibayar nasi bungkus, aku tentu tiada tahu.

Dari hasil gugling-gugling itu aku akhirnya malah nyangkut di halaman diskusinya Goodreads Indonesia. Dan, badalaaa…di situ aku malah nemu akunnya si Kimi yang sedang melakukan kesaksian sebagai seorang pengguna ebook reader. Ooo, semprul nian si Kimi ini. Punya ebook reader, kok, ya ndak pernah bilang-bilang.

Alhasil sejurus-2 jurus kemudian aku sama Kimi terlibat sebuah percakapan tidak mesra via Blekberi Mesej. Usut punya usut, banding punya banding, akhirnya aku memutuskan untuk belanja sebiji Nook Simple Touch with Glowlight via Kaskus, dapet harga Rp. 1.800.000, sudah termasuk leather case-nya – yang mana menurut si Kimi, dengan harga segitu itu itungannya aku sudah dapet harga yang murah banget, mengingat di Endonesa sendiri belum ada distributor resmi untuk produk ebook reader cap apapun. Ndak ada pasarnya, soale (ndak heran…orang Endonesa ini memang terkenal males baca, pantes aja pada goblok semua, tentu saja kecuali beta dan beberapa sejawat beta).

NOOK Simple Touch with GlowLight

Lalu bagaimana kesan dan pesanku setelah membawa Nook-ku ke mana-mana?

Sejauh ini aku puas. Nyaris menambahkan kata “banget” pula di belakangnya. Mayoritas ebook-ebook bajakan koleksiku sejak jaman belum sarjana mulai bisa kunikmati dengan tenang. Keluhan “suwe-suwe mblereng dewe” akibat mataku kelelahan menatap layar PC, laptop, atau tablet seperti yang selalu kulakukan sebelum ini setiap kali mbaca ebook, sekarang sudah tiada lagi. Teknologi e-ink di Nook-ku ini bener-bener nyaman di mata dan di ruang tunggu airport :mrgreen:

NOOK Simple Touch with GlowLight

Hanya saja, kalau kepengen nyaman membaca dengan optimal itu berarti kita harus memastikan bahwa ebook yang akan kita baca itu berformat *.epub. Sebenarnya yang namanya ebook reader, sih, juga support untuk file *.pdf (yak! Format sejuta ummat untuk ebook bajakan 😈 ), cuma saja sayangnya tampilan *.pdf di Nook-ku ini masih sangat tergantung pada kualitas asal si file itu sendiri. Kalau dia layout-nya rapi, simpel, ndak neko-neko, terus juga penulisannya enak, pemisahan antar paragrafnya jelas, maka nikmat dibacalah dia. Tapi kalau ternyata filenya kebanyakan blink-blink sana-sini, dipoles pernak-pernik nggak penting, ketambahan watermark segala, beeeh…gini ini yang bikin tampilan barang bajakan tersebut jadi amburadul nggak karuan di Nook-ku, meskipun kalau mau tetap nekad, sih, itungannya ya masih bisa dibacalah.

Ketidak-puasanku lainnya selain urusan *.pdf barusan, ternyata masih berkutat di problematika format file juga. Banyak pula dari ebook-ku yang formatnya adalah *.djvu atau malah *.exe, yang ternyata nggak kebaca di Nook-ku. Aslinya, sih, ada semacam plugin supaya Nook punyaku bisa mbaca file-file *.djvu. Sayangnya plugin OrionViewer yang kumaksud tersebut mengharuskan aku buat nge-root Nook-ku dulu. Solusi yang beginian, sih, kupikir kulakukan nanti-nanti saja kalau garansi-tidak-resmi ebook reader-ku ini sudah habis masa berlakunya. Sementara itu, untuk jenis file komik tipe *.cbr atau *.cbz, sih, sampai saat ini belum kujajal. Gosipnya, sih, bisa, tapi lagi-lagi harus di-root dulu. Jadi sejauh ini ya anggap saja bahwa format tersebut – seperti halnya format *.exe – memang tiada bisa diakses di Nook-ku.

Terus?

Ah ya, seri Nook punyaku ini, sesuai dengan cap dagangnya, sudah dilengkapi dengan fasilitas lampu baca di dalam layarnya, lho. Jadi kalau misalnya aku ternyata sedang berada di tempat yang blas nggak ada lampunya pas malam-malam sekalipun, aku masih aja tetap bisa membaca dengan tenang.

Terus, apa lagi ya?

Oh, baterai! Iya, baterai. Untuk urusan baterai, mohon maaf sekali, dengan sangat menyesal aku belum bisa ngasih info banyak. Lha, gimana mau banyak kalau dari pertama kali beli, kemudian ku-charge sampai full, eee…sampai sekarang baterainya belum juga habis-habis. Padahal Nook-nya itu kubeli udah semingguan lebih, lho. Dari tanggal 28 Juni kemarin. Jadi, ya begitulah…

Maka dengan adanya ebook reader ini, tentunya sidang pembaca yang dirahmati Allah ini bakal bertanya, bagaimana sikapku tentang buku-buku hardcopy sekarang ini? Ooo…jangan khawatir. Aku bakal tetap membeli novel-novel hardcopy, terutama untuk yang memang kualitasnya layak koleksi, sementara Nook-ku ini bakal lebih berfungsi untuk membaca bacaan-bacaan bajakan yang menurutku versi hardcopy-nya agak meragukan untuk masuk dalam kategori koleksi tetapi faktanya dapat kategori bestseller di toko-toko buku, macam novel karangannya…ah, sudahlah, ini toh masih situasi puasa, ndak baik kalau kita berghibah :mrgreen:

Yeah, jadi jangan khawatir, wahai para penulis di luar sana. Selama buku bikinan kalian itu bermutu tinggi – dalam standarku, selama itu pula karangan kalian bakal kubeli versi hardcopynya. Karena apa? Karena walaupun Nook ini simpel, praktis, dan enteng, kelemahan terbesar yang dia miliki adalah ketiadaan bau kertas ketika aku sedang membaca dan memindah-mindahkan halamannya. Padahal bau kertas itu, mmmhhhh…adalah sesuatu yang menurutku mampu membangkitkan nostalgia dan kesan sentimentil.

Begitulah. Sekian, sampai di sini dulu karena aku mau mbantuin mamakku nyiapin buka puasa dulu. Dadah.


Facebook comments:

7 Comments

So, what do you think?