Nyanyian Kode

Bicara tentang kode-mengkode, harusnya, sih, hal macam begituan itu sudah jadi kerjaanku sehari-hari. Sudah sejak lebih dari 10 tahun yang lalu aku didapuk sebagai manusia yang kudu paham masalah kode-kodean. Namanya saja sarjana komputer, alangkah malunya kalau aku ternyata tidak bisa merangkai kode. Jadi jelas sudah, seharusnya kode adalah bagian dari hidupku.

Tapi namanya saja hidup…kadang ada sahaja hal-hal yang berjalan dengan tidak sesuai dari yang seharusnya, misalnya ya masalah kode-kodean ini. Aku dan beberapa temanku yang seharusnya fasih sekali dalam urusan beginian seringnya malah mati-matian menghindari perkara jenis yang 1 ini.

Rayen, temanku di kantor, misalnya. Dengan latar belakang akademis yang identik dengan latar belakangku, sudah seharusnya kami berdua ini fasih dalam urusan menerjemahkan perintah-perintah dalam bentuk kode. Tapi – lagi-lagi – dalam hidup nggak mesti semuanya berjalan sesuai dengan prasangka kita.

Kapan hari kemarin Rayen curhat pas sarapan setelah kemarin lusanya kami sama-sama njagong mantenannya sejawat kami sesama tukang kode lainnya. Rayen cerita, betapa pacarnya lagi ngambek sama dia. Gara-garanya apa? Gara-garanya simpel: pacarnya nggak diajaknya ikutan kondangan.

“Padahal gua udah nanya, Mas, mau ikutan kondangan apa kagak?” kata Rayen.

“Terus?” tanyaku.

“Dia bilang, ‘Nggak.’ Gua tanyain lagi, beneran kagak mau ikut, dia juga tetap bilang nggak mau.”

“Terus?”

“Eee…kemarin dia marah. Katanya gara-gara gua kagak ngajakin dia ke kondangan.”

“Lha?”

“Nah, itu die, Mas. Kagak taunya dia minta dipaksa supaya ngikut. Katanya, dia bilang dia nggak mau ikut itu kode supaya gua maksa dia,” keluh Rayen.

Mampus!

Dan aku juga keinget, kapan bulan kemarin aku sempat menghadapi problematika yang sama. Kali ini pelakunya adalah Mbak Nur, penduduk kubikel di sebelah kubikelku.

“Anin,” katanya waktu itu (oh iya, Nur ini selalu memanggil namaku dengan sebutan “Anin” alih-alih “Joe” atau “Ditto”), “nanti pulang kantor mau nggak nganterin aku beli susu?”

Harap maklum, pemirsa. Walaupun Nur ini badannya tinggi semampai, cocoklah kalau jadi model (model majalah Trubus. Jadi pohon jati, maksudku), tapi posturnya nggak ada belok-beloknya, nggak kayak gitar akustik cap Espanola. Jadi waktu itu dia minta dianterin buat beli susu penambah bobot tubuh.

“Ya, oke,” jawabku waktu itu, itung-itung balas jasa, soalnya Nur sering beli dan bagi-bagi kopi sachetannya ke aku.

Pulangnya kami boncengan berdua pake motorku. Romantis? Jelas tidak. Wong meskipun motorku itu jenis motor yang pake kopling manual, tapi sekalipun aku sengaja mainin kopling dan rem tetap saja tidak akan ada benefit yang didapat. Datar, sih, soalnya 😈

Singkat cerita kami nyampai ke Superindo. “Turun dulu,” kataku, “aku mau nyari parkiran.”

Nur pun turun. Tapi setelah turun dia malah berucap, “Udah, aku ditinggal aja.”

“Lha, nanti kamu pulangnya…?”

“Gampang. Nanti aku naik taksi.”

“Nggak, ah. Kayak apaan aja? Aku barengin.”

“Udah, kamu pulang aja.”

“He, beneran? Nggak pa-pa, kok, kutungguin,” tawarku masih sok gentleman.

“Anin,” katanya kemudian dengan nada sok keibuan, “beneran, kok, nggak pa-pa. Kamu pulang aja. Aku bisa sendiri.”

“Lha, nanti…”

“Nanti aku naik taksi.”

“Serius?”

“Iya. Udah, kamu pulang aja,” tegasnya.

“Baiklah. Ati-ati, lho, ya,” kataku sambil nyetater motor kemudian nggeblas tanpa prasangka apa pun jua.

Besoknya pas lagi nyari ilham di kantor tau-tau aku disamperin Eva. Di belakangnya ada Nur. Kata Eva, “Heh! Lo tega bener, sih. Masak kemarin si Nur lo biarin pulang sendiri, bukannya ditungguin terus lo anterin dia pulang ke kosnya.”

“Iya, Va, kemarin aku ditinggalin sama Anin,” kata Nur menambahi.

“Lha?” aku melongo.

“Gimana, sih, jadi cowok?” sembur Eva lagi.

Sejurus kemudian, setelah menguasai keadaan, barulah aku menyumpah-nyumpah, “Ditinggalin apanya? Wong aku sudah nawarin ke dia – sampe 3 kali malah – buat kutungguin, eee…dianya yang nggak mau, terus aku disuruh pulang.”

“Lho, gimana, sih, Nur?” tanya Eva ke Nur. “Katanya lo ditinggalin sama Ditto? Tapi ini Ditto bilang, dia malah lo suruh pulang?”

“Iya, Va, aku nyuruh dia pulang. Tapi harusnya, kan, dia ngerti. Harusnya, kan, dia tetap nungguin aku meski kusuruh pulang,” jawab Nur.

Fakingsyit!

Selanjutnya Eva malah ngakak. Kemudian dia bilang ke Nur, “Ya terang aja. Harusnya lo jangan main kode kalo sama Ditto. Kalo iya ya iya, kalo enggak ya enggak. Dia nggak bisa diajak kode-kodean.”

Jadi ya memang begitulah… Beberapa kaum kami (kaum cowok, maksudnya) memang agak susah buat diajak mainan kode-kodean sama cewek. Mau bagemana lagi, konon kodratnya memang sudah begitu. Bahkan beberapa kali pula – gara-gara ketidakberdayaan dalam urusan kode-kodean – kaumku dianggap hobi mainin perasaan wanita. Nah, salah siapa coba kalo sudah macam gini? Salah siapa hayo, ketika misalnya aku bilang suka ke cewek terus ngajak dia pacaran – sampai lebih dari sekali – tapi si ceweknya nolak, terus ujung-ujungnya aku milih nge-date sama gadis lain, eh, kemudian aku dituduhnya sebagai tukang bermain-main dengan cinta?

Cuma ya mau bagaimana lagi? Dalam urusan macam begini paling-paling kami cuma bisa minta maaf atas kesalahan yang sebenarnya tidak kami lakukan. Kami cuma bisa mohon ampun kalau banyak di antara kami yang kapasitasnya ternyata mirip Wahyu Sardono: ketidakmampuan kami dalam menerjemahkan sebuah kode sering membuat banyak pihak merasa kami rugikan. Untuk itu, atas nama kaum kami, beta menyatakan minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir dan batin.

Eh, mohon maaf lahir dan batin? Mohon maaf lahir dan batin buntut pala lu…buntut pala lu… πŸ‘Ώ


Facebook comments:

8 Comments

  • lambrtz |

    Solusinya mudah: ditinggal wae. Kode-kodean begini bikin repot ke depannya. Saya tidak menerima kode-kodean.

  • sora9n |

    Mengutip tante saya, zaman duluuu sekali waktu dunia masih muda:

    “Makanya naksir itu jangan ilmu kebatinan. Mbatin-mbatin melulu, ga pernah ngomong, ya jelas aja kabur.”

    Cape deh… πŸ˜†

  • emaknya sita |

    yaelah mas, tinggalin aja kalik…
    gue jadi cewek dari dulu nggak pernah kode2an (seingatku sih.. hahahah)

    btw, wasap please, ni nomor pada ngga ada kemana yaaa…?

  • Yang Punya Diary |

    emaknya sita:::
    lho, itu sudah saya tinggal, cuma besoknya kena somasi

    Fauzan:::
    wah, sayangnya tidak. sungguh!

    gembel bercula:::
    wogh…mabuk?

So, what do you think?