Oh, Pacarku Sayang

Gara-gara ulah si Diwan Sastro di kantor yang memperkenalkan reputasiku dulu sebagai Don Juan MIPA Selatan, sekarang anak-anak baru di kantorku pada rajin ngangsu kaweruh ke aku seputar dunia percintaan. Perihal sudah kuklarifikasi bahwasanya Diwan kampret itu sedang ngibul, mereka nggak mau tahu. Bahkan ada pula yang sempat-sempatnya ngecek akun Fesbuk atau Instagram-ku demi melihat akun-akun cewek di situ yang terdaftar sebagai temanku, untuk kemudian di-list yang cantik-cantik terus minta dikenalin.

“Kamu mau dikenalin sama yang ini, Tot?” tanyaku ke Gatot yang disambut dengan anggukan kepalanya. “Mau? Mau ta’slantap?” lanjutku kemudian. “Yang ini pacarku, gembus!” makiku pada akhirnya. Demikianlah salah 1 contoh responku terhadap permintaan dari seorang klienku.

Di samping pada minta dikenalin ke gadis-gadis yang ada di lingkaranku, beberapa ada juga yang konsultasi seputar perkembangan hubungannya dengan gebetan pujaan hatinya. Ada juga yang mengeluhkan tentang bagaimana harus bersikap sama pasangannya yang kebetulan hobi mengatur-ngatur perilaku hidup yang bersangkutan, kebiasaan apa dari si cowok yang nggak cocok sama pola hidupnya si cewek yang dituntut harus diubah.

Gara-gara curhatan sarapan pagi, istirahat siang, ataupun nongkrong ba’da Maghriban yang macam demikian itulah aku jadi bisa menyimpulkan kalau ternyata ada 2 jenis hubungan yang selama ini tidak pernah kuperhatikan.

Yang pertama, ada yang memang memutuskan pacaran karena sudah merasa cocok duluan, yang biasanya diawali dengan hubungan pertemanan. Yang begini ini termasuk jenis manusia yang lumayan ikhlas, yang mau menyesuaikan diri dengan kondisi pasangannya. Setidaknya apapun kekurangan dari si pasangan bisa ditolerirnya. Kalau pun pacarnya hobi mbalesin pesan Wasap singkat-singkat, itu dimakluminya. Ah, toh aku memang dari awal sukanya sama Mas Joe yang kalau Wasapan selalu singkat-singkat; eh, toh sejak semula aku sudah tau kalo Mas Joe itu memang pecandu nikotin macam Sherlock Holmes; uh, toh sejak awal aku sudah tau Mas Joe itu kalau lagi baca komik nggak bisa diganggu. Kira-kira begitulah isi batin mereka. Pokoknya apapun kekurangan pasangannya – yang pada dasarnya sejak awal sudah diketahuinya – selalu bisa diterimanya.

Tapi ternyata ada juga jenis yang selanjutnya. Jenis yang kedua ini biasanya tidaklah diawali dari intens berteman, yang akibatnya kekurangan pasangan baru bisa kita ketahui setelah pacaran. Gembelnya, begitu tahu kalau si pacar ternyata punya style keseharian yang berbeda dengan seleranya, hidup si pacar berusaha diubahnya. Kalau si pacar hobinya pake kemeja bermotif boneka beruang atau Spongebob dan Patrick Star, si pacar segera diancam putus jika tidak segera mengubah gaya pakaiannya ke gaya yang – menurutnya – lebih elegan, dewasa, dan berkelas. Kalau pula si pacar dinilainya punya teman-teman yang tidak cukup berkenan di hati, si pacar segera disodori opsi, pilih teman-temannya atau pilih si doi?

Buatku, sih, jenis hubungan yang mana pun aslinya nggak bermasalah. Pasangan model yang pertama ya kayaknya bakal jarang berantemnya. Itu bagus. Tapi yang kedua toh juga bukan masalah. Karena apa? Karena, eh, karena bukannya memang begitu itu fungsinya pacaran? Bukannya fungsi pacaran itu memang mempelajari calon pendamping hidup kita itu cocok di hati atau tidak? Kalau cocok ya lanjut, kalau nggak cocok ya coba lagi dengan oknum lawan jenis lainnya.

Cuma saja kasusnya adalah kalau situasinya jadi dipaksakan. Sudah tahu ada perbedaan yang kita sendiri tidak bisa menerimanya, kita lantas menekan pasangan kita dengan hal-hal yang nggak masuk akal. Sudah tahu pasangan kita nggak bisa berubah, tetap saja terus dipaksa untuk berubah. Giliran si pasangan jadi nggak tahan kemudian mengajukan opsi peninjauan kembali terhadap hubungan yang sedang berjalan, eh, respon kita malah makin ngambek. Kita cap si pacar nggak bisa peduli, nggak punya tanggung-jawab dan spirit untuk berjuang mempertahankan hubungan. Pokoknya ini kondisi yang mirip sama kata-katanya Muchsin Alatas, deh!

Sudah tau jalannya licin
Kenapa engkau pake sepatu
Sudah tau aku orang miskin
Mengapa engkau mencintaiku

Mengapa baru sekarang
Engkau menghina diriku
Aku tak ubah sampah
Yang tiada berguna

Maka jika kondisinya demikian, pertanyaannya jadi sederhana: situ memutuskan pacaran karena memang suka sama si pacar dan siap menerima apa pun kondisinya, atau situ memutuskan pacaran karena pengen mengubah si pacar menjadi pasangan idaman sesuai situ punya selera dan kebutuhan?

Jika ternyata memang kecenderungannya adalah jawaban yang kedua (yang biasanya didasari pula oleh kondisi karena nggak tahan dicap sebagai manusia nan tiada laku-laku alias kepepet bin yang penting punya pacar), kusarankan supaya segera bertobat. Buang motif seperti itu jauh-jauh. Sebab apa? Sebab jangan sampai nanti setelah kita terlanjur melangkah terlalu jauh, pada akhirnya kita cuma diledek sama Nobita.


Facebook comments:

So, what do you think?