Oom Gita Wirjawan dan Iklan-iklannya

Suka Fesbuk-an? Peke hape atau pake komputer? Kalo pake komputer, pernah merhatiin panel di pojok kanan atas halaman Fesbuk sampeyan? Okelah, sebelum sampeyan menjawab pertanyaan-pertanyaanku, kayaknya ada baiknya kalo aku yang duluan njawab pertanyaan-pertanyaan itu, daripada nanti aku dituduh sebagai makhluk yang pengen tau urusan makhluk lain tanpa mau memberi contoh dan teladan terlebih dahulu.

Jadi begini, aku memang lumayan suka Fesbukan. Buatku Fesbuk itu media sosial yang paling mengakomodir kepentingan sosialku di dunia maya ketimbang Tuiter atau – yang lagi hobi dipake sama temen-temenku – Peth. Alasannya simpel. Di Tuiter aku nggak bisa berdiskusi dengan enak, tidak ada fitur buat urun komen di bawah apdetan status yang kutulis atau juga ditulis sejawat-sejawatku. Aku harus sedikit begini sedikit begitu kalo kepengen tau sejarah percakapan temen-temenku itu. Pendek kata: repot!

Bagaimana dengan Peth? Peth memang punya fitur komen. Tapi sayangnya di tempat kita urun rembug itu aku ndak bisa nge-tag sejawatku yang lain jikalau kepengen mengklarifikasi sesuatu. Alhasil Peth bukanlah wahana yang enak buat menerapkan prinsip yang kudapat dari mata kuliah Lawak Dasar I: Jika sampeyan diejek dan tiada mampu membalas, alihkan ejekan tersebut ke oknum lain yang kondisinya lebih mengenaskan dari sampeyan. Yeah, hal itu dengan kata lain Peth itu tidak enak buat wahana nyek-nyek’an.

Yang paling bisa mengkomodir buat manusia selo sepertiku ya menurutku cuma Fesbuk. Malah, saking selonya, kadang kala aku juga iseng ngeliatan panel pojok kanan atas layar Fesbuk-ku yang isinya adalah iklan-iklan. Kadang-kadang lucu juga ketika aku mendapati iklan dengan bahasa dan gambar yang mengundang, sok heboh, tapi jebul isinya jauh panggang dari api. Lucu dan prihatin, lebih tepatnya. Prihatin karena kenapa, eh kenapa…eee…ternyata aku sendiri juga kepancing sambil penasaran sama judul-judul iklan model demikian?

Dan akhir-akhir ini aku juga mulai mendapati iklan-iklan kampanye politik, yang seperti barusan kutulis di atas, bahasanya dipilih dengan judul yang seolah-olah kontroversial. Dan itu frekuensi nongolnya sungguh-amat-sangat sering, misalnya aja iklan yang skrinsyutnya ada di bawah ini:

iklan-iklannya Gita Wirjawan

Tau ndak, itu iklan aslinya punyanya siapa?

Langsung ta’jawab aja, deh. Itu iklan punyanya Gita Wirjawan.

Tau nggak siapa itu Gita Wirjawan?

Nggak tau? Jangan khawatir, selain karena almarhum Nelson Mandela aja jebul banyak pula yang nggak tau, aku juga tadinya nggak tau, kok, siapa itu Gita Wirjawan, sampai akhirnya aku kerja di biro jasa tempat kerjaku yang sekarang ini. Aku baru tau kalo ternyata Gita Wirjawan pernah jadi bos di tempat kerjaku ini. Dan sekarang, doi menjabat sebagai bapak mantri, aeh, Bapak Menteri Perdagangan di – tentu sahaja – Kementerian Perdagangan. Iya, Kementerian Perdagangan yang itu. Iya, tempat kerjanya si mbak dari masa lalu yang di masa sekarang sudah jadi istrinya orang. Iya, ejek aja terus akunya. Iya, suruh aja aku mbayangin si mbak lagi merintih keenakan ditindih laki-laki lain. Iya, ente pancen gembel!

Jadi mari kita mbahas Gita Wirjawan lagi aja, ketimbang akunya silap, emosi, dan mbalang gelas ke layar monitor komputerku ini.

Baiklah, jadi begini… Konon Oom Gita ini lagi kepengen jadi capres buat Pemilu 2014. Doi mau ikutan konvensi capres dari Partai Demokrat, dengan slogannya yang “Berani Lebih Baik”. Dan mohon maaf, aku di sini nggak bakal mbahas bagemana peluang-peluangnya, bagemana peta persaingan dengan capres-capres lainnya, termasuk Farhat Abbas dan Oma Irama. Nggak, nggak, aku nggak akan terlalu jauh membahas hal itu, kecuali sebagaimana kita ketahui bersama bahwa imejnya Partai Demokrat lagi terjun payung dengan sukses.

Awalnya aku juga mikir, kok, apa nggak salah milih Demokrat sebagai kendaraan buat nyapres? Ditambah fakta bahwa nama Gita Wirjawan belumlah terlalu dikenal orang (bandingkan dengan nama-nama jagoan lain yang digadang-gadang bakal jadi capres, sebangsa Dahlan Iskan, Joko Widodo, Machfud MD , atau juga – jangan lupakan – Oma Irama dan Farhat Abbas!) pastilah kondisinya jadi bakal menyulitkan. Partai yang lagi loncat indah dan nama yang belum ngetop bin ngepop? Yakin bakal kepilih jadi presiden?

Aku rasa harusnya Pak Gita juga sudah tahu tentang hal itu, kok. Boleh jadi doi malah lebih tahu ketimbang aku kalo peluangnya jadi presiden sungguh minim pake sekali (jangankan presiden, jadinya capresnya aja juga masih belum genah, lho). Lha, lalu kenapa ngobral iklan di mana-mana yang tentu biayanya nggak sedikit itu?

Dude, aku malah kepikiran begini… Besok ini 2014, dan seperti kita ketahui bareng-bareng yang namanya Pemilu pastilah rame. Kupikir ini justru momen yang tepat berhubung sebentar lagi mau Pemilu. Baik atau buruk sebuah berita, asal temanya bersinggungan dengan Pemilu, pastilah sedikit-banyak bakal jadi pembicaraan. Mungkin justru hal macam inilah yang diincar oleh Gita Wirjawan: ra dadi presiden pas 2014 sesuk ra patheken, sing penting akeh le kenal sik. Maka kalo tujuannya macam demikian, sungguh bisa dimaklumi segala sepak terjang beliaunya dengan strategi obral iklan sporadisnya itu.

Lha, lalu…kalo cuma sekedara mau nyari nama doang, lantas apa faedahnya? Yang model gitu itu apa ndak di 2014 besok hanya rentan menghasilkan lapar dan dahaga sahaja?

Lha, akika juga nggak tau, bo’. Hanya saja 1 hal yang perlu diingat: seandainya agenda personal campaign ini berhasil digarap oleh tim suksesnya Gita Wirjawan dengan gemilang, di 2019 besok dia cuma tinggal memanfaatkan efek viral dari apa yang dilakukannya sekarang ini. Seperti Joko Widodo, kalo Oom Gita mampu mengelola dirinya dan kinerjanya, sungguh boleh jadi di 2019 besok dia tidak perlu menggelontorkan dana iklan seperti sekarang ini. Cukup nyengenges sedikit aja maka media massa dan para wartawannya sudah bakal mengiklankan gerak-geriknya tanpa harus diminta serta disanguni amplop.

Lalu, Mas Joe, sebagai bekas bos di tempat sampeyan nyari duit sekarang ini, apa yang sampeyan tahu tentang Oom Gita?

Yeah, sejujurnya memang tidak banyak. Aku masuk, doi malah cabut. Yang aku tau, di tempatku yang sekarang ini, standar kualifikasi untuk pelamar kerjanya jadi tinggi ya gara-gara Gita Wirjawan ini. Nilai TOEFL minimal kudu 600 (jadi bolehlah dikira-kira berapa nilai TOEFL-ku, kan? :mrgreen: ), beasiswa ke luar negeri jadi tambah banyak (kabarnya beberapa dibiayai sama perusahaan punyanya Oom Gita yang lain), halaman kantor juga jadi rimbun, kata senior-seniorku, ya gara-gara ulahnya Oom Gita juga yang konon seneng nanemin pohon.

Cuma ya berhubung sekarang beliaunya sudah dipindah ke Kementerian Perdagangan, buntutnya jadi banyak pelamar kerja yang ngeluh juga. Sejak Gita Wirjawan di situ, kualifikasi tes masuk CPNS-nya juga ikut-ikutan jadi tinggi, terutama di bab nilai TOEFL-nya. Yang begini ini pada akhirnya bikin orang-orang jadi banyak yang ngeluh. Padahal menurutku sendiri, nyari nilai TOEFL 600 apa susahnya, sih? 😈


Facebook comments:

4 Comments

So, what do you think?