Warning: call_user_func_array() expects parameter 1 to be a valid callback, function 'coliseum_easy_horst_heating' not found or invalid function name in /home/satchd01/public_html/diary/wp-includes/class-wp-hook.php on line 324

Orang Bodoh dan Beasiswa

Kapan hari di tahun kemarin, Hanna, adik kelasku jaman mahasiswa S-1 sempat nanya, “Mas, caranya dapat beasiswa gimana, sih?”

Waktu itu aku memang relatif baru dapat beasiswa buat sekolah lagi di Enggres sini, dan berkat mulut besarku sendiri akhirnya berita itu cepat menyebar. Biasalah, aku ini, kan, orangnya suka pamer, meskipun pembelaan dariku tentang sikap suka pamerku ini adalah untuk memotivasi kaum di sekitarku. Pendeknya aku memang hobi sekali bertingkah semacam, nah, aku bisa kayak gini, kalian bisa apa coba? 😈

Jadi untuk menjawab pertanyaan Hanna via Whatsapp tersebut aku kemudian berujar 1 kata: “Pintar.”

Hanna ini memang kampret! Aku yakin kalau dia pastinya sudah paham sebelumnya bahwa beasiswa itu memang buat orang-orang pintar. Hanya saja karena kali ini kasusnya melibatkan aku, wajar jika banyak orang menganggap ini sebuah anomali. Pasti ada trik-trik mawut yang membuatku sampai bisa dapat beasiswa, seperti pertanyaan dari sejawat-sejawat brengsekku lainnya, “Kok, bisa-bisanya kamu sampai dapat beasiswa, terus keterima di Warwick?”

Sungguh, sebuah pertanyaan yang bernada subversif, kan?

Maka demi meredam gejolak massa tersebut, aku akhirnya menjawab, “Setan kalian! Aku ini milih Warwick cuma gara-gara 1 hal: pas pengumuman aku dapat beasiswa, pendaftarannya Oxford sama Cambridge sudah tutup!”

Iya, aku nggak bohong. Waktu nerima pengumuman kalau aku adalah salah 1 spesies penerima beasiswa, kemudian dipersilakan mendaftar di kampus yang kupengenkan, sayang beribu sayang, pendaftaran buat kuliah di Oxford sudah tutup. Seandainya belum, oho, silakan kalian nilai sendirilah. Cuma kuingatkan, tulung jangan menggunakan sudut pandang macam begundal-begundal di sekitarku itu sewaktu menilaiku, ya! Plislah!

Bagaimana?

Sudah?

Oke, kalau kalian sudah cukup menilai, sekarang izinkan aku bercerita bagaimana prosesnya sampai aku akhirnya menulis kisahku di 108 Kensington Road, Coventry, United Kingdom ini. Kalaupun ternyata kalian, duhai sidang pembaca yang terhormat, tidak mengizinkanku bercerita, ya nggak pa-pa. Kalian bisa apa? Wong ini ya blog-blogku sendiri. Terserah tho mau kutulisin apa aja sesukaku?

Jadi begini…kita kembali ke musim kompetisi 1997/1998, masa di mana tahun terakhirku di esempe, waktu di mana Roberto Baggio mendapatkan second wind-nya di Bologna yang kemudian membuatnya kembali dipanggil ke timnas Italia untuk Piala Dunia di Perancis.

Waktu esempe aku punya teman akrab yang berjudul Okytt. Saat aku belum berniat memperdalam bahasa Enggres-ku, Okytt sudah ikutan les English, dengan harapan bakal kuliah di luar negeri (sekarang anaknya jelas sudah sukses, sudah punya perusahaan sendiri di Australia). Aku yang notabene penggemar Liverpool FC sejak jaman esde sempat pula kepikiran pengen kuliah di Enggres. Maka kepada Okytt aku sempat minta, kalau ada info-info tentang kuliah di Enggres, mohon aku dibawakan selebaran atau apanyalah.

Permohonanku dikabulkannya. Darinya aku menerima buku lumayan tebal berjudul “Panduan Pendidikan Inggris 1998” keluarannya The British Council. Kubawa pulang buku itu dengan suka-cita, kampus-kampus yang profilnya terlihat keren kustabiloin. Tentu yang pertama jadi korban coretanku adalah University of Oxford, kemudian kampus-kampus di Liverpool dan sekitarnya.

Waktu almarhum babahku ngeliat kelakuanku, dia nanya, ngapain aku? Kubilang ke babah kalau aku habis esema pengen kuliah di Enggres.

Sayangnya waktu itu babah cuma berujar, “Duite sopo, Le?”

Mimpiku buyar, meskipun nggak buyar-buyar amat. Buku panduan itu kututup, kusimpan di rak buku di bawah meja belajarku, sesekali kulihat sambil berlinang air mata, kenapa aku nggak lahir dari keluarga kaya macam Okytt (yang ini bohong! Sesungguhnya aku lebih sibuk nyewa berbuku-buku komik)?

Lulus esempe aku masuk ke esema. SMA Negeri 1 Denpasar, lebih tepatnya. Itu juga masuknya setelah perdebatan panjang dengan babahku yang lebih pengen aku masuk ke SMA Negeri 4 yang letaknya dekat rumah. Esema adalah masa yang lumayan suram untuk karir akademisku. Hidup sebagai anak muda kayak James Dean dalam “Rebel Without a Cause” membuatku lebih sering nyontek ke Leo atau Belly saban ulangan umum. Di rumah, setiap mamakku nanya kenapa aku nggak pernah keliatan belajar, sloganku selalu, “Kan, ada Leo sama Belly,” tanpa maksud melupakan kontribusi teman-teman lainnya sebangsa Adnyana Sudoyok atau Arya Jambu yang hidungnya mirip jambu air itu.

Bersama Komang Bayu dan Ngurah Bikul, aku bahkan tergabung dalam trio Superlenk di kelasku. Superlenk adalah kependekan dari Super Lengeh, di mana “lengeh” dalam bahasa Bali berarti “bodoh”. Kerjaan kami adalah bersaing untuk bersyukur setiap menerima hasil ulangan harian. Aku bisa berteriak-teriak kegirangan waktu dapat nilai 4 asalkan 2 temanku yang lain dapat nilai 2 atau 3. Ikutan ulangan susulan otomatis menjadi ritual wajib bagi kami.

Masa berikutnya, dengan terengah-engah akhirnya aku bisa masuk Gadjah Mada. Jadi mahasiswa baru di sana. Sewaktu ngukur jas almamater di Koperasi Mahasiswa, aku melihat stiker bertuliskan “I have a chance to study in Oxford, but I choose UGM Djogdja” yang langsung saja kusambar kemudian kutebus di kasir. Stiker itu kemudian kutempel malah justru di pintu kamarku di Denpasar, bukan di Jokja. Niatnya sebagai pengingat kalau aku pernah kepengen kuliah di Oxford, tapi ya sudahlah…toh UGM cukup nggaya. Bisa buat modal nggodain anak gadis orang waktu motor kami barengan ketahan lampu merah: “Nok, Nok, gelem karo kene ora? Ilkomp U-ge-em kiye…masa depan cerah.”

Di sisi lain, kupikir bener juga, sih, nasehat yang bilang supaya kita nggantungin cita-cita setinggi langit, supaya kalaupun jatuh, jatuhnya ya masih di awan. Dalam konteks ini kuanggap, pasang targetmu sejauh Oxford, maka kalaupun nggak nyampe, setidaknya kamu terdampar di UGM.

Selebihnya, kehidupan mahasiswa di Jokja membuatku lupa kalau aku pernah kepengen kuliah di luar negeri. Teman-teman yang sarap, yang nyembunyiin bakul berisi sisa nasi pengunjung lain di Spesial Sambal untuk kemudian ditambahkan ke bakul kami sendiri, nginep di kampus dan nemu 1 pak kondom di toiletnya, genjrang-genjreng mainan gitar di lobby sampai akhirnya dibentak satpam, ngekek dengan tragedi teman yang kehilangan perjakanya gara-gara kepincut gadis malamgenic pas main ke diskotik, dan hal-hal lain yang bikin lupa nggarap skripsi, akhirnya bikin aku blas nggak pernah kepikiran lagi tentang kuliah di Enggres sini.

Masuk usia ngantor, sebenarnya banyak contoh dari senior-seniorku yang lanjut kuliah lagi dengan dibiayai negara. Beberapa rekan kerja juga sempat menanyaiku, besok pengen meniru jejak mereka dengan lanjut kuliah lagi di negara mana? Kujawab, “Ah, kalaupun dapat beasiswa, aku pengen lanjut S-2 di UGM saja.” Iya, semrawutnya Jakarta bikin aku kangen Jokja. Kabur barang setahun-2 tahun kembali ke Jokja kayaknya adalah ide yang sungguh brilian. Siapa tahu habis itu malah ditawarin buat jadi dosen di sana. Kembali ke Jokja, ngecengin mahasiswi-mahasiswi Gadjah Mada, oh, sungguh sebuah kemungkinan yang nggak bakal pernah bisa kutolak, kan?

Sampai dengan Maret tahun kemarin. Pagi ketika aku nyampai kantor, kudapati di kubikelku sebuah disposisi dari Pak Komandan, tawaran beasiswa dengan duit dari Bank Dunia. Kalimat pengantar dari Pak Komandan sederhana, cuma 2 kata: “Silakan dicoba.”

Aslinya aku nggak terlalu berminat, cuma Mbak Nur yang kubikelnya ada di sebelahku terlihat antusias. Dia yang semangat ngajakin aku nyiapin ini-itu buat keperluan pendaftaran beasiswa. “Kamu sudah ngumpulin ini?” atau “Kamu sudah bikin itu?” adalah pertanyaan yang sering kudengar keluar dari bibirnya. Jadi, ya kulakukan sahaja semua perhatiannya. Itung-itung nemenin Mbak Nur ikutan ndaftar beasiswa.

Tes buat pendaftaran beasiswanya sebenarnya ya sederhana. Gitu-gitu aja. Tes TOEFL, tes potensi akademik, sama wawancara. Aku akhirnya lolos, sayangnya Mbak Nur malah enggak. Aku jadi agak nggak enak. Bukan. Bukan nggak enak sama Mbak Nur gara-gara aku yang ogah-ogahan malah lolos, sementara dia yang semangat malah nggak keterima. Bukan itu. Aku justru nggak enak sama diriku sendiri. Jadi aku harus kuliah di luar negeri nih?

Beasiswanya sendiri dibatasi cuma untuk masa studi master selama 1 tahun. Nggak banyak pilihan kampus yang menyediakan master course dalam waktu singkat. Kebanyakan adanya di Enggres. Maka, apa iya aku harus tinggal di Enggres setahun? Ninggalin mamak dan ponakanku yang lagi geblek-gebleknya? Belum lagi gadis-gadis cantik yang butuh perhatianku.

Tapi ya sudahlah. Nanggung. Kata Sheila on 7, jalan terus! Hidup memang tak semudah waktu kita muda dulu, sih. Aku lolos yang artinya aku harus ikut persiapan keberangkatan, yang artinya lagi aku nggak bakal ngantor 5 bulan. Hore! :mrgreen:

Di sini sempat ada yang berpikir kalau aku sengaja. Jadi gini, salah 1 syarat buat lolos beasiswanya adalah harus punya nilai TOEFL di atas 500. Yang nilai TOEFL-nya di atas 550 disuruh ikutan persiapan bahasa Enggres untuk tes IELTS selama 3 bulan, sementara yang di bawah itu 5 bulan. Tapi sungguh, aku nggak sengaja biar bisa minggat dari kantor lama-lama. Dari dulu nilai TOEFL-ku memang fluktuatif, sih. Pernah suatu ketika nembus 600, pernah sedikit di bawah itu, pernah juga di bawah 500. Aku juga bingung. Kata Vio, nggak mungkin bisa ada perubahan sedrastis itu. Tapi ya nyatane kayak gitu. Kayaknya semua tergantung kondisi pas pagi ngerjain tesnya aku sempat sarapan atau nggak. Maka, ya aku nggak menyengajakan diri buat kabur lama-lama. Perkara aku nggak ngantor 5 bulan, anggap aja rejeki berhubung aku tetap saja digaji meski dipotong sana-sini.

Kantor ngasih wanti-wanti. Aku nggak boleh ngambil jurusan asal-asalan, waton cepat lulus, gampang dapat gelar biar bisa cepat promosi pangkat. Aku cuma dibolehin ngambil jurusan yang berhubungan dengan background akademisku sebelumnya, Ilmu Komputer. Nggak masalah, rencanaku memang gitu juga. Itung-itung persiapan buat pulang lagi ke Jokja, madeg pandita di Gadjah Mada. Soalnya syarat buat jadi dosen adalah harus setia dengan jenjang pendidikan di jalur akademisnya. Yaaa…siapa tau aja, kan? Siapa tau Gadjah Mada membutuhkan kembali pahlawan terbaiknya. Bahahaha.

Maka mulailah aku berkelana, survei-survei kampus sampai akhirnya aku ngerasa pengen ngambil jurusan Digital Media and Society di University of Sheffield (ingat, pendaftarannya Oxford sudah tutup, Dab!). Segala CV dan personal statement buat ndaftar kusiapkan. Masih awur-awuran, sih, sebenarnya. Aku modal yakin aja. Hajar dulu, urusan belakangan. Hasilnya? Ya tewas dengan sukseslah! Aku ditolak.

Panic session dimulai. Soalnya kalau sampai aku gagal dapat kampus, aku disuruh ngganti biaya les persiapan bahasa Enggres-nya. Semua kampus yang menyediakan jurusan yang kuminati kukirimi aplikasi pendaftaran. Bahasa Enggres-ku yang kuyakin masih semrawut kumintakan sejawat-sejawatku untuk ambil bagian. Dik Sita, sepupuku yang lulusan Sastra Inggris kuminta memeriksa struktur kalimatku. Hasilnya semprul.

“Heh, kamu yakin mau kuliah di Enggres, Mas? Ini to be-mu nggak ada semua. Grammar-mu parah betuuuul…” katanya ngakak.

“Ya sudah, jangan rewel. Sana perbaiki grammar-ku,” semburku.

“Grammar aja lho ya. Alur penulisannya nggak lho ya.”

Dan sebagai tambahan pengetahuan bagi para pembaca yang budiman, beberapa saat kemudian sepupu semprulku itu menghadiahiku buku “Oxford Learner’s Pocket Grammar” karangannya John Eastwood. Sial!

Berikutnya, aku memutuskan buat nraktir Vio makan steak. Tentu tiada makan siang gratis. Aku minta tolong dia buat meriksa alur penulisanku, pilihan kosakata yang kugunakan. Beberapa diperbaikinya sampai akhirnya aku merasa siap. Setidaknya lebih siap dari waktu mau ndaftar ke Sheffield-lah, meski dalam hati kebat-kebit juga. Ngganti duitnya itu lho. Selebihnya aku mengandalkan pengetahuanku dalam hal membual – yang kupelajari dari Komang Bayu dan Ngurah Bikul – untuk mempersyahdu personal statement-ku.

Tapi ya namanya panik tetap saja panik. Meski aku cukup yakin kalo proposalku kali ini bakal tembus, aku tetap sedikit nggak yakin. Paradoks ya? Ya memang. Hidup ini, kan, isinya paradoks semua. Dalam keyakinan ada ketidakyakinan, dalam ketidakyakinan ada…ada…ada apa ya? Ah ya, ada teman yang sungguh sontoloyo. Dalam hal ini si gendut Bram adalah saksi tidak bisunya. Betapa tidak bisu, wong saban aku nunut koneksi internet buat ndaftar kampus di rumahnya, dia sibuk mengejekku, kok. “Sudah…kamu itu nggak bakal lolos. Percayalah. Nggak usah susah-susah, ayo kita tanding PES aja,” demikian bujuk-rayunya.

“Diam, Ndut!” kataku, “Lihat saja. Nanti aku bakal jadi lulusan Enggres, sementara kamu lulus S-2 dari UI aja belum mesti.”

Si gendut insyap. Dia kembali konsen ke tesisnya yang terbengkalai. Maka ini adalah giliranku. “Sudah, Ndut…buat apa kamu ngerjain tesis? Nggak ada manfaatnya. Paling-paling kamu gagal pas sidang. Lebih baik kita tanding PES saja,” kataku.

Dan kami pun main PES sampai jam 3 pagi.

Cuma saja aku memang panik beneran. Mulai dari Coventry University, Leicester, Newcastle, Essex, Reading, sampai nekad ke Warwick, dan tidak lupa Liverpool, semuanya kudaftarin. Hasilnya, memang bener English yak-yak’an ala sebelumnya itu yang jadi perkara. Berkat koneksi internet dari si gendut, koreksian dari Vio dan Dik Sita, aku keterima semuanya, kecuali the University of Warwick yang bilang kalau nilaiku selama S-1 aslinya nggak layak untuk bisa diterima di kampus mereka. Bisa apa, wong ipekaku lak di bawah 3?

Jadi ya sudahlah, namanya juga Warwick…agak ngimpi juga, sih, berharap keterima di Warwick. Lha ini kampus – barengan sama Oxford dan Cambridge – adalah kampus yang konsisten nggak pernah terlempar dari peringkat 10 besar tiap tahunnya, sih. Kata Arum kemudian, yang sudah dapat kepastian buat nerusin kuliah di Warwick, “Ini, kan, Woxbridge, Mas, Warwick-Oxford-Cambridge.”

Sebagai tambahan untuk menghiburku, Warwick bilang di email-nya kalau mereka bakal mempelajari personal statement-ku. Siapa tahu nantinya bisa jadi pertimbangan lagi. Ah, basa-basi, batinku. Mau nolak ya tolak aja. Aku ini toh sudah terlatih patah hati. Bertepuk sebelah tangan, sudah biasa. Ditinggal nikah Mbak Mantan, juga sudah biasa.

Kelanjutannya aku malah bingung. Bingung kebanyakan pilihan. Serius, aku bingung mau milih kuliah di mana. Namanya aja manusia… Nggak punya pilihan, sambat. Eee…giliran pilihannya jadi banyak, tetap aja komplain. Akhirnya aku konsultasi ke Mas Arad, yang biasa kupanggil Sukro. Doi rencananya mau nerusin kuliah juga, tapi ke Amerika. Nasehatnya, kalau bingung pengen kampus yang mana, ya sudah, pilih aja kira-kira di kota mana aku pengen tinggal selama di Enggres nanti. Dan sudah bisa kalian tebak, oh, pembaca, University of Liverpool adalah jawabannya. Jurusanku adalah Big Data Management.

Oh ya, status diterimaku sama kampus-kampus itu sebenarnya ya masih bersyarat. Aku baru dianggap keterima tanpa syarat kalau – salah satunya – aku bisa menunjukkan bukti hasil tes IELTS yang sesuai dengan kriteria masing-masing mereka, selain berkas-berkas yang bersifat administratif macam visa, paspor, tes kesehatan, dan lainnya. Artinya masih ada pe-er lain buatku: lolos tes IELTS dengan target nilai 8. Target yang sungguh ngawur, menengok problematikaku seputar urusan grammar itu tadi.

Sambil tetap ikut les persiapan bahasa Enggres, aku juga ngurus berkas-berkas yang diperlukan. Alhasil aku malah jadi sering bolos les. Pas tes IELTS, hasilnya aku cuma dapat nilai 6. Kurang dari syarat minimal. Kembali si Bram berulah. “Apa saya bilang? Sudah…lupakan Enggres. Mari kita main PES lagi aja sebagai hiburan,” katanya.

“Tapi saya nanti pinjam duit ya, Ndut. Buat ngganti biaya les,” kataku.

“Enak saja! Kamu minjem sama Ipeh aja sana,” jawabnya.

Ya beginilah punya kalau teman-teman sejenis bajing. Giliran membujuk-rayu urusan maksiat pada semangat, tapi giliran dimintai tanggung-jawab – utamanya dalam hal finansial – semuanya pada saling lempar konsekuensi.

Tapi aslinya aku belum menyerah. Petarung aliran Satrianto-ryu pantang memperlihatkan punggungnya pada lawan. Aku berniat ikutan tes IELTS lagi. Hanya saja jadwal tes IELTS di Jakarta pada penuh semua. Musim pendaftaran mahasiswa baru buat kampus luar negeri, sih. Yang paling mungkin, aku harus ikutan tes IELTS di Semarang. Maka akupun menghubungi Dik Bintang, sepupuku di Semarang, running-back tim nasional Undip buat cabang flag football. Di Semarang aku nginep di kosnya dia 2 malam. Kali itu selepas tes aku yakin, nilaiku bakal 8!

Kembali ke Jakarta, pas hari pengumuman tes IELTS lagi-lagi aku berada di rumahnya Bram, nunut koneksi internetnya buat ngeliat hasil tes di website-nya IELTS. Harap-harap cemas aku membukanya, sampai akhirnya tawaku membahana. “Hahahaha, kamu mentoknya cuma lulusan UI, Ndut! Aku lulusan Liverpool. Peringkatnya jauh di atas UI,” sesumbarku jumawa.

Si gendut nggak percaya, dilihatnya nilaiku di layar laptop untuk kemudian misuh-misuh, “Gembus! Ini pasti konspirasi elite global!”

Iya, IELTS-ku tembus! Nilaiku benar-benar 8…untuk sesi reading-nya. Sisanya? Alaaah…nggak usah dibahas. Yang jelas sudah cukup buat kuliah di Liverpool. Oh, rumput Anfield, aku datang!

Tanggal 5 Juni 2016 aku pulang ke Denpasar buat Lebaran. Sekalian aku mau mohon doa restu ke oom-oom dan tante-tanteku buat kuliah ke Enggres. Ada 1 kejadian aneh di situ, yang meskipun buatku rada aneh tapi aku nggak berminat mencari-tahu penjelasan ilmiahnya. Aku memilih menikmati keajaiban itu.

Jadi sewaktu aku pulang dan masuk ke kamarku yang lama, aku mendapati di meja belajarku buku pemberian Okytt waktu esempe dulu sudah tergeletak di situ. Entah, kok, bisa begitu. Mbuh makhluk gho’ib model mana yang iseng seperti itu. Sejurus aku sempat terdiam kemudian terharu. Saat itu aku baru ingat, dulu aku pernah kepengen banget kuliah di Enggres yang sayangnya babahku nggak punya uang. Mimpi yang sudah lama terbuang. Sekarang setelah lewat nyaris 2 dekade, apa yang kupengenin benar-benar kejadian.

Panduan Pendidikan Inggris 1998

Law of Attraction? Mungkin. Kata Septri, kunci hukum tarik-menarik adalah memohon mati-matian, menghayatinya dalam-dalam bagaimana rasanya semisal permintaan kita terkabul, kemudian melupakannya sama sekali. Perkara kapan dan bagaimana terkabulnya, biarlah jadi urusan Gusti Allah. Pokoknya Gusti Allah jangan didikte. Lupakan saja.

Kemudian cicil-cicil packing segera dimulai. Setiap ditanya orang bakal kuliah di mana, aku mantap menjawab, “Liverpool! Jurusan Big Data Management,” termasuk ketika ditanya dosen-dosenku dulu di UGM.

“Kita belum punya spesialis big data di sini, Joe. Kalau kamu mau, kamu nanti pulang ngajar di sini aja,” tawar dosen waliku jaman kuliah dulu, yang kumintai surat referensi pas lagi repot-repotnya ndaftar kampus. Tentu aku mengangguk setuju. Yang pasti, aura The Kop makin hari makin terasa. Aku bakal tinggal di tempat di mana setiap weekend pas Liverpool main di kandang, aku bakal hadir di Anfield buat nyanyi “You’ll Never Walk Alone”.

Sebulan sebelum aku benar-benar berangkat, pas lagi membual tentang Liverpool di depan kumpulan teman-temanku, hapeku bergetar. Sebuah email masuk. Kubuka, kubaca, dan beberapa saat kemudian kutelepon mamakku. “Mak,” kataku pelan, “aku keterima di Warwick.” Aku kembali terharu. Jebul Warwick benar-benar mempertimbangkan personal statement-ku.

Besoknya kuhubungi panitia beasiswaku. Kubilang, aku minta pengunduran jadwal berangkat, soalnya mau ngulang ngurusin administrasi buat Warwick. Mereka sedikit keberatan. Aku disarankan untuk tetap di Liverpool aja. Kata mereka, toh sama saja, ini levelnya level dunia. Reputasi kampusnya tetap jauh lebih baik dari kampus terbaik di Endonesa. Wajar, sih, soalnya kalau aku pindah kampus, mereka harus menata-ulang administrasi data-dataku. Tapi aku ngotot, kusampaikan kalau aku sampai nolak Warwick berarti aku gila. Alhamdulillah, setelah berakting lugu dan memelas, permohonanku disetujui.

Maka di Warwick-lah aku sekarang, ngambil jurusan e-Business Management. Yang jelas, aku masih nggak berubah kalau nanti ditanya lagi sama Hanna, gimana caranya supaya bisa lolos beasiswa? Aku tetap bakal menjawab bahwa pintar adalah syaratnya. Perkara ada yang bilang kalau beasiswa itu nggak cuma buat orang-orang pintar, pastilah bakal kusanggah habis-habisan.

Pertama, nggak ada yang bakal mau mbiayain orang bodoh buat lanjut kuliah. Kedua, kalaupun ada yang bilang, “Beasiswa bukan cuma buat yang pintar, kok. Nyatanya aku aja juga bisa dapat beasiswa,” percayalah, itu manusia kalau nggak sedang sok-sokan merendah, kemungkinan berikutnya adalah yang bersangkutan masih nggak sadar kalau dia itu sebenarnya pintar. Dalam perkara ini yakinlah kalau aku ini juga pintar. Setidaknya aku pintar memanfaatkan sumber daya sejawat-sejawatku dan pintar membual untuk urusan merangkai kata dalam CV dan personal statement-ku 😈

Jadi, akhirul kalam, aku mengamini soal omongan tentang pasang cita-cita setinggi Oxford. Kalaupun gagal, setidaknya kita bakal keterima di Warwick. Demikian, dan terima disun gadis manis. Muach!

Welcome to Warwick, Joe Satrianto


21 Comments

  • Yang Punya Diary |

    tapi trayek bis khusus dari kampus saya ke bekas calon kampus saya sudah mau ditutup e. konon garagara penggemarnya sedikit :'(

  • Christin |

    btw apik kui dadi kaos. “mantan calon mahasiswa oxford”.. ning nggon mantan calon e digawe cilik wae hahahahaa

  • Payjo |

    Sempet-sempetin ngegebet cewek lah disana Om. Nggak lengkap kalau setahun di Inggris tapi nggak macarin orang sana.

  • Deedee |

    Massss…mau dong dibagi tipa interview beasiswanya #seriustakon

  • Yang Punya Diary |

    Christin:::
    wah, sik. ngetrace logone oxford rodo angel je πŸ˜›

    Payjo:::
    adududuuu…sayangnya saya ndak selera e sama bule. kalo model2 Sora Aoi atau Azumi Kawashima gitu, ya bolehlah

    Ranger Kimi:::
    beh! perlu ditelepon lagi ini? 😈

    Deedee:::
    ini wawancara pas apa, mbak? pas seleksi beasiswa apa pas ielts?

    kalo pas beasiswa…errrr…saya juga cuma mbokis aja. saya membual tentang citacita buat bangsa dan negara dihubung2kan sama jurusan yang saya pilih plus profesi kerjaan saya. sebombastis mungkin tapi tetap logis dan bisa dijabarkan langkah2nya. intinya, sih…ngibul πŸ˜†

    kalo pas ielts, ya pokoknya tiap ditanya jawab langsung ke poinnya dalam 1 kalimat, sisanya info pelengkap dalam 2-3 kalimat.

    itu aja. intinya, sih…tetap ngibul 😎

  • Mbak-mbak |

    Kereeen.. mas joe, boleh minta dikirimi contoh personal statement yg buat apply ke uni? πŸ˜€

  • Mbak-mbak |

    Makasih, mas, udah diterima dg baik. Btw, nggak sekalian nulis tips ndongkrak ielts band 8? *Ngelunjak ????

So, what do you think?