Pak Gendut sedang dalam gejala stress. Tugas Akhir program magisternya nggak selesai-selesai, sementara di kantornya banyak tenaga – yang menurutnya – handal yang resign karena tawaran gaji dan fasilitas yang lebih menggiurkan dari kantor sebelah. Alhasil kalau biasanya kerjaan dari kantornya bisa di-handle sama Pak Gendut cukup di-remote dari rumah, sekarang beliau harus rajin sowan ke kantor buat nyelesaiin langsung problematika-problematika yang dihadapi perusahaannya. “Semua-mua sekarang jadi tanggungan saya,” keluh Pak Gendut, “tapi ya beginilah resikonya seorang fantasista,” lanjutnya sambil tidak lupa untuk jumawa.
Tentu saja karena adanya seorang kawan yang mau stress, aku dan Yosepin tidak bisa untuk tinggal diam. Melihat betapa menderitanya Pak Gendut yang beberapa hari terakhir ini ketambahan terserang insomnia, tidak bisa tidak, aku sama Yosepin merasa harus ke rumahnya, bertindak, dan ambil bagian. Ambil bagian buat meledeknya, tentu saja.
“Nah, ini dia, John… Si Gendut sekarang sudah jadi bos beneran,” kata Yosepin. “Bakal Orang Stress,” imbuhnya kemudian sambil terkekek-kekek.
“Gembus kalian!” sungut Pak Gendut.
“Ati-ati, Ndut,” kataku. “Jangan sampai kejadianlah. Nggak lucu kalau minggu depan kita main ke sini kamunya beneran jadi bos. Badalah, Orang Stress!”
Yosepin ngekek makin kencang, sementara Pak Gendut cuma bisa mengulang-ulang pisuhan andalannya, “Gembus kalian! Gembus semua! Ya Allah, ampuni teman-teman saya ini, ya Allah…”
Tapi kami bukan berarti tanpa solusi. “Coba kamu olahraga, Pak Gendut,” saran Yosepin.
“Iya, kayak si Kub dulu itu pas nggak bisa tidur gara-gara mantan pacarnya mau kawin. Dia push-up sama sit-up sampai capek, sampai akhirnya teler sendiri,” tambahku.
Hanya saja gara-gara Pak Gendut malas olahraga, akhirnya malam Minggu kemarin ini pilihan untuk menyapekkan badan dijatuhkan pada bersih-bersih rumah. Yang bersih-bersih ya Pak Gendut sendiri, sementara kami berdua anteng nonton tivi kabel sambil leyeh-leyeh di sofa empuk miliknya. Lha, soalnya kalo kami berdua ikut mbantuin, boleh jadi kondisi capek yang diharapkan sama Pak Gendut malah batal kesampaian, kan? Oh, betapa pengertiannya kami ini, Ndut.
Pak Gendut mulai mengumpulkan barang-barang yang dianggapnya sampah, niatnya mau dibuang. Dan entah beliau ini beneran sudah stress atau cuma masih gejala, kami sempat kaget ketika tiba-tiba dia nawarin, “John, mau bawa ini nggak?” pas mulai masukin set Nintendo Wii-nya ke kardusnya.
Mak jegagik! Aku kaget! Nintendo Wii, sodara-sodara! Nintendo Wii-nya yang memang nyaris nggak pernah disentuhnya, yang dulu sempat kukomentari, “Daripada mubazir, Ndut, mending itu Nintendo Wii saya bawa pulang aja. Lumayan, kan, ponakan saya jadi bisa punya mainan.” Dan sekarang itu barang sekonyong-konyong ditawarkannya untuk ta’bawa. Jelas aku girap-girap kesenangan.
Belum selesai beta jingkrak-jingkrak, tiba-tiba Pak Gendut mengeluarkan statement ganjil lanjutan. “Yos, kamu mau bawa Playstation nggak?” tanyanya.
Yosepin melongo. Sejenak kemudian dia insyaf. “Tapi saya di kos nggak punya tivi, Pak Gendut,” katanya sedikit menyesal. “Kalau iPhone-mu aja boleh nggak? Kan nggak pernah kamu pakai juga,” lanjutnya sambil nyengenges. Nggak yakin dia apa proposalnya bakal tembus.
“Ya sudah, bawa aja,” jawab Pak Gendut yang disambut pandangan tiada percaya dari Yosepin. Mungkin di batinnya, jangan-jangan Pak Gendut memang beneran sudah nggak waras π
Akibatnya, gara-gara khawatir Pak Gendut berubah pikiran, aku langsung mbantuin dia ngerakit meja, Yosepin mbersihin lantai keramik, dan setelahnya kami nawarin Pak Gendut buat makan steak di Abuba, sekalian merayakan stressnya Pak Gendut, eh, maksudku merayakan kami baru saja dapat rejeki berhubung Pak Gendut stress, eh, maksudnya merayakan kami dapat rejeki. Titik. Itu thok!
Sampai di Abuba, setelah makan kami ngobrol ngalor-ngidul. Di sini Pak Gendut mulai keliaatan sehat. Kami mulai ngobrol tentang banyak isu di negara ini. Mulai dari tren kasus pemerkosaan, PKI yang dilanjutkan dengan isme-isme lainnya, sampai akhirnya ke perilaku bigot orang-orang Endonesa, yang nggak peduli seberapapun tinggi latar belakang akademisnya, kalau bigot ya sudah bigot aja. Kata Pak Gendut, ini boleh jadi gara-gara di usia pendidikan dasar di Endonesa nggak ada pendidikan tentang cara bersikap dan berpikir. Maka dari itu, lanjutnya pula, boleh jadi sebentar lagi di Endonesa bakal ada chaos kalau perseteruan antar bigot dari golongan kiri maupun kanan ini semakin meruncing.
Iya juga, sih. Boleh jadi memang bakal semakin meruncing, meskipun aku sendiri nggak sekhawatir itu juga sebenarnya. Aku lebih cenderung ke geli aja kalau ngeliat respon dan respon atas respon antar tokoh-tokoh ngetop di Endonesa ini. Misalnya, yang waktu kemarin Goenawan Mohamad (GM) bilang pikirannya Kivlan Zen berkarat waktu bicara soal PKI, habis itu Kivlan Zen minta debat terbuka ajalah buat nyelesaiin masalah, gara-gara merasa sudah diserang secara pribadi. Yang agak lucu buatku, Pak GM habis itu bilang kalau dia mau aja diajak berpolemik sama Pak Kivlan, syaratnya Pak Kivlan harus nulis buku tentang marxisme dulu. Yang semacam ini buatku hampir lucu (karena memang nggak lucu-lucu banget juga, sih). Mau debat aja, kok, repot? Ndadak syarat-syaratan segala. Bahkan, kalau mau nyoba pake sudut pandang yang berseberangan, Pak GM ini untung juga. Waktu dia bilang Pak Kivlan karatan, untung dia nggak disuruh ikutan jadi tentara dulu baru boleh komentar Perkara yang ya atau tidak aja ndadak mlipar-mlipir ke sana-ke mari. Yang beginian ini, buatku, ya ketoke, kok, rodo piye…
Mau di kanan atau di kiri, kalau bigot ya tetap aja sama-sama bigot.
Maka, lanjut Pak Gendut, paling aman jadi manusia di tengah-tengah. Nggak usah ikut-ikutan ekstrem kanan ataupun kiri. Atau, kita boleh cenderung ke kanan tapi tidak berarti tidak mau tahu sama yang kiri. Kita boleh cenderung ke kiri tapi ya coba ngerti dan paham pula sama sudut pandang yang di kanan. Begitulah kata Pak Gendut yang waktu itu mesen minum es genjer. “Tapi saya bukan anggota PKI, lho. Ini, kan, saya mesennya cuma 1. Genjer. Kalau saya mesennya 2 baru boleh dibilang PKI. Genjer Genjer,” demikian pledoinya.
“Tapi susah e,” responku. “Aku di tengah. Tapi dibilang sesat sama yang di kanan, dibilang goblok sama yang di ki…”
“Ashhh…nek kuwi bedo urusan, Joe,” potong Yosepin. “Aku sudah hafal. Kamu itu hobinya iseng. Tiap ada orang yang punya pemikiran, kamu selalu iseng, ‘Oh, nanti dulu… Nggak bisa gitu. Coba kalau misalnya gini gimana?’ Aku wis apal karo kowe. Kamu selalu ngetes idenya orang, seringnya kamu jungkir-balikkan juga. Orang yang bilang A itu bener bisa kamu bikin berubah jadi percaya kalau yang bener itu B, meskipun kamu sendiri aslinya nggak peduli B itu bener atau salah.
“Nek nggo awake dewe, buat kita-kita sendiri yang dulu barengan di kampus, kita ya biasa aja. Kita sudah hafal: Alaaah…Joe meh ngomong opo wae yo sak karepe. Terima aja. Anggap aja buat tambahan wawasan. Tapi buat orang yang nggak paham kamu itu gimana, apalagi buat orang yang pemikirannya kamu kelirukan, kamu itu kayak penjajah. Penjajah ide. Orang yang nggak kenal kamu wajar jadi kesal, kesal nggak bisa mbantah, habis itu kamu disumpah.
“Tapi nek buat aku, itu semua ta’anggap previlege. Kenal karo kowe-kowe – karo cah-cah Himakom yang isme-nya macem-macem tapi nyaris nggak pernah gelut gara-gara beda pemikiran – adalah kesempatan yang nggak semua orang bisa dapat. Bahkan mungkin Himakom di kampus yang sekarang pun sudah beda banget sama jaman kita dulu. Orang-orang di luar sana mungkin nggak pernah punya kesempatan dapat pendidikan dan lingkungan seperti yang kita dapatkan. Jadi ya wajar juga kalau kita nggak habis pikir sama jalan pikiran mereka,” khotbah Yosepin panjang-lebar.
Hasilnya malam itu aku jadi sadar. Mungkin memang betul isengku ini keterlaluan. Mungkin memang iya aku ini penjajah ide. Maka setelah menyeruput es tehku aku bilang ke Pak Gendut, “Mungkin yang kamu bilang dulu pas ngangkring bareng anak-anak itu memang bener, Ndut:
Jangan menganggap semua orang itu bisa kayak kamu. Nggak semua orang itu kayak kamu. Sekali-sekali cobalah memandang dari sudut pandang orang-orang lemah.”
Bwahahaha.
Wah, tau gitu saya 5 bulan aja dirumah pak gendut. Siapa tau dikasi rumahnya
Wah kalian nda ajakajak saya gembus memang
Ical:::
yo nek ora kedhisikan kowe sing disodomi Pak Gendut, Cal π
Syarifah:::
lha, apalah faedah dan mafaatnya apabila kami mengajak anda, duhai Saripah?
Manusia abu-abu
manusia iseng, sih, lebih tepatnya π