Kalau saja aku tahu
Salamah itu namamu
Tak mungkin aku hadiri
Pesta perkawinan ini
(Undangan Palsu – Caca Handika)
Mbak Salamah, mbak-mbak mantan model yang sekarang milih jadi penyiar radio, tempo hari kemarin pernah bilang ke aku. Sabdanya, “Kamu itu pinter, Mas. Cewek mana coba yang nggak suka sama cowok pinter?”
Tentu mendengar kata-kata beliau tersebut aku nyaris jejingkrakan. Untung saja aku segera sadar…pinterku yang dimaksud sama Mbak Salamah ini jenis pinter yang mana dulu, pujian atau sindiran? Kalau saja yang dimaksud dengan pinter di sini adalah pinter secara akademis, jejingkrakanku tentunya bakal kulanjutkan. Tapi, oh, tapi seandainya pinter yang dimaksud di sini adalah jenis kepinteranku yang lain, alias pinter ngibul, eee…kurangajar! Nantang dicipok berarti ini mbaknya.
Sialnya, di dunia nyata, sesungguhnya aku ini memang lebih dikenal sebagai manusia yang pinter ngibul ketimbang pinter secara akademis π
Bahkan secara premis dan kesimpulan, kata-kata Mbak Salamah bisa saja kita tafsirkan sebagai: “Kamu itu pinter ngibul, Mas. Cewek mana coba yang nggak suka sama cowok pinter ngibul?” Oh, ayolah…bukankan kita semua, duhai para lelaki, sama-sama tahu kalau cewek itu adalah makhluk aneh yang justru suka kalo dibohongi?
Jadi ya memang bener, deh, kayaknya Mbak Salamah ini lagi nyindir diriku seputar hobiku ngibulin gadis supaya aku dijajanin es krim Baskin Robbins. Fix. Pas. Shahih.
Cuma saja sampai sekarang aku belum berani nyipok Mbak Salamah. Bukan muhrim, soalnya. Dosa. Kalo dosa nanti bisa masuk neraka. Jadi ya gara-gara takut neraka (dan takut dipukulin lakinya), mari kita simpulkan saja dengan paksa bahwa kemarin itu Mbak Salamah bener-bener lagi memujiku. Pujian yang justru bikin aku jadi sedih. Sedih beneran. Sedih sekali.
Aku mendadak jadi inget hobiku, membaca. Iya, dari kecil aku suka membaca. Membaca apapun, mulai dari membaca teks-teks tulisan, membaca situasi ruang ujian supaya aku bisa nyontek ke teman, sampai juga membaca gerak-gerik manusia. Yang terakhir inilah yang belakangan ini membuatku semacam kena getahnya.
Sudah sejak tahun 2006 aku diajak nemenin temen esemaku, Hartadi, buat join sama dia ngembangin bisnisnya yang berbasis pengembangan sumberdaya manusia. Sejak diajak Hartadi itulah aku dijejalinya dengan pengetahuan-pengetahuan baru seputar psikologi praktis yang kemudian jadi minatku. Dari situ aku mulai banyak membaca dan mencoba mempraktekkan apa yang kubaca. Aku jadi suka mengamati tingkah-polah lawan bicaraku, memandang matanya dalam-dalam, mencoba menembus otaknya dan mencari tahu apa yang sebenarnya ada di pikirannya.
Hasilnya, sih, lumayan juga. Mbak Mantan jaman dahulu bahkan sempat memberikan testimoninya. “Kamu cowok pertama yang baru pertama kali ketemu tapi sudah berani mandang langsung ke mataku,” katanya. Tentu saja bangga pulalah aku jadinya, meskipun sempat juga sedikit heran, lha memangnya cowok-cowok yang lainnya kalo lagi ngobrol sama dia biasanya pada mandang ke mana, sih? Dada? π
Makin hari aku makin fasih dengan kemampuan baruku. Tambah pinter. Karena punya literatur tentang bagaimana mempersuasi sesama manusia, kualitas aktingku guna membohongi orang semakin tajam. Di saat yang bersamaan, instingku untuk mengetahui kepura-puraan jenis apa yang dimainkan sama lawan bicaraku juga makin terasah. Pendek kata, aku jadi bisa mempraktekkan apa yang disarankan sama sebuah buku yang kemudian jadi salah satu buku favoritku, “Mafia Manager”, yang di situ diwanti-wanti bahwa, akan lebih menguntungkan posisiku jika musuh-musuhku menilaiku sebagai orang yang bodoh.
Hasilnya, aku jadi suka berpura-pura bodoh di depan “musuh-musuh”ku, kemudian terkikik geli di belakangnya. Sudah banyak yang jadi korban aktingku ini, mulai dari petugas rental komik dan DVD, pegawai dekanat yang suka galak sama mahasiswa (tapi enggak kalo sama mahasiswi), sampai dengan pak-pak polisi yang suka iseng ngadain razia di jalanan Ring Road Utara, Jokja.
Tapi kalau saja Mbak Salamah tahu, kepinteranku ini sesungguhnya adalah sekaligus kutukan buatku.
Aku bisa langsung tahu dengan mudah permainan apa yang disembunyikan sama “musuh-musuh”ku di depanku, cuma saja di situasi yang sama aku juga bisa langsung tahu kebohongan apa yang ternyata dimainkan oleh orang yang aku sendiri berharap dia tidak akan pernah berbohong padaku. Tahu kalo sampeyan ternyata dibohongi oleh orang yang sampeyan harapkan selalu jujur dan terbuka sama sampeyan, itu rasanya menyakitkan. Sungguh!
Kecewa karena kita tahu kalo kita dibohongi tapi kita harus tetap tersenyum, menjaga supaya dia tidak sadar kalo kita tahu tentang kebohongannya, itu pahit, Kopral! Pengen ngamuk kepada orang yang paling tidak pengen kita amuk itu rasanya…aaassshhh, mbuhlah!
Yeah, seandainya Mbak Salamah tahu, kadang aku sendiri pun tersiksa dengan kepinteranku. Maka memang betullah apa kata Yan Lam Thian, si Pedang Sakti Nomor 1 di Kolong Langit: “Tahukah kamu, menjadi tanpa tanding itu rasanya kesepian.”
So, what do you think?