Ngobrol tentang SMA Negeri 2 Denpasar also known as Resman (Re-nya berasal dari tangga nada re yang berarti tangga nada kedua) ada 3 hal yang paling kuingat tentang sekolahan itu. Yang pertama adalah waktu jaman esempe. Resman pernah jadi tuan rumah untuk lomba karikatur tingkat provinsi, dan untuk pertama kalinya juga aku bisa mengalahkan rival abadiku, si Christian, dalam urusan lomba gambar-menggambar.
Waktu itu dia jadi juara kedua dan aku…oho, tentu saja, situ pasti juga tau peringkat apa, sih, yang ada di atasnya peringkat kedua? ๐ Secara teknis, sampai sekarang masih tetap kuakui, Christian ada di atasku. Jauh. Jauh sekali. Sejak jaman teka aku selalu jadi pecundang kalo ngadu hasil gambar tangan sama dia. Tapi waktu lomba karikatur itu, namanya aja lomba karikatur, imajinasiku yang lebih liar, nakal, brutal berhasil mengkover kelemahan teknisku itu. Mwahahaha…
Yang kedua, di pojokan seberang jalannya Resman ada warung bakso. Katanya, sih, enak. Pas masa injury time aku hidup sebagai abege Denpasar, Mitha, partner boncengan motorku pada waktu itu berkali-kali ngajakin jajan di situ. Dia penikmat bakso, sih. Sementara aku tidak terlalu. Alhamdulillah, sampai akhirnya pedot sama dia kami belum pernah nge-date di situ. Dalihku selalu, “Haduh, jangan di situ. Yang lebih elit dikit aja, ya? Sudah, aku yang bayar.” Untung Mitha-nya nurut. Begitulah enaknya jadi cowok ganteng, cewek-cewek pada nurut.
Yang ketiga, tempat itu pernah jadi tempat rendezvouz-nya anak-anak hobi gelut se-SMA Negeri di Denpasar. Karena letaknya yang berdekatan dengan SMA Santo Joseph alias San Jose, calon sasaran tawur waktu itu, berandal-berandal bau kencur (termasuk aku) itu memilih Resman sebagai basecamp kami sebelum sama-sama berangkat ke Tegal Kurusetra.
Waktu itu kasusnya sederhana. Ada 4 sekolah yang jadi peta kekuatan tim basket SMA se-Denpasar. Smansa alias SMA Negeri 1 alias sekolahku sendiri, Trisma alias SMA Negeri 3, Sisma alias SMA Negeri 7, dan terakhir ya San Jose itu.
Pada 1 kesempatan turnamen tahunan, Smansa berhadapan dengan San Jose. Suasana di dalam GOR Ngurah Rai panas. Ejekan antar suporter bersahut-sahutan. Sampai pada kuarter ke-4, entah iseng, entah saking nggak bisa menahan emosi, sejepit sandal melayang dari arah bangku kumpulan suporter San Jose ke lapangan. Plak!
Sialnya sejepit sandal tak bersalah itu kena tepat di mukanya Yustika Kurniawan, small forward (small di sini juga berarti harfiah. Badannya dia tidak lebih tinggi dari aku, soalnya ) dari Smansa sekaligus teman sekelasku selama 3 tahun di esempe sebelumnya. Kontan kapten timnas basket Smansa di tahun berikutnya itu kalap! Yustika meradang. Bola yang sedang dikuasainya dibantingnya. Diawali sumpah-serapahnya dalam Bahasa Bali sambil menuding gerombolan suporter San Jose, sejurus kemudian Yustika menerjang ke arah “musuh”. Sontak regu suporter Smansa menunjukkan solidaritas bin soliditasnya. Berdiri dan ikut menghambur menyerang, seolah-olah dalam hati berteriak, kami semua di belakangmu, (calon) kapten!
Kerusuhan pecah! Hendro yang di sampingku melompat hendak membokong seorang anak San Jose. Tapi sial, anak itu berbalik, tangannya menggenggam helm dan siap ditapukkan ke kepala Hendro. Hendro melompat mundur, urung menyerang, dan tunggang-langgang ke luar gedung olahraga. Aku? Lha wong Hendro aja kabur, jelas aku lebih memilih mengevakuasi gadis-gadis dari esemaku, dong. Begitu juga dengan Ricky, sejawat yang duduk 1 bangku di belakangku di sekolah. Kayaknya cuma Gustra – partner sebangkunya Ricky dari kuartet aku-Ricky-Gustra-Mang Bayu – yang malam itu memilih ikut beradu kepalan.
Kerusuhan malam itu juga meluas ke luar gedung olahraga. Belasan motor ringsek, begitu pula dengan mobilnya Ivan, kompatriot setimnya Yustika. Dan atas nama tepa selira, besoknya anak-anak SMA Negeri se-Denpasar, entah atas prakarsa siapa, berniat berkumpul untuk menyerbu San Jose. Aku yang aslinya adalah murid teladan, pintar fisika-kimia-matematika (tapi bohong!), juga diajak serta. Biarlah. Toh aku ini waktu itu menjabat Ketua Seksi Dokumentasi OSIS Smansa. Masak iya momen seperti ini luput dari jepretan kameraku? Apa kata penggemar-penggemar karya fotografiku nantinya? Maka Resman adalah titik kumpul kami.
Celakanya begitu anak-anak ngumpul di Resman, didapati San Jose sudah dijaga brigade polisi. Maka kami urung menyerbu, dan memilih bubar balik ke kandang masing-masing, menyisakan dendam untuk momen-momen berikutnya. Lumayan, batinku, hemat 1 rol Fuji Film ASA 200 Itu kenanganku tentang Resman. Maka mengapa kali ini aku menyinggung Resman kembali, tentu ini ada kaitannya dengan gosip yang sedang marak akhir-akhir ini di Denpasar: tentang larangan berjilbab oleh kepala sekolah di sekolah tersebut.
Aku cuma tau sekilas tentang kabar tersebut. Jadi tak hendak aku menghakimi siapa yang bersalah dan siapa yang tidak. Yang aku tau, kebebasan menjalankan ajaran agama memang seharusnya dilindungi di Endonesa. Tak cuma urusan jilbab, tapi juga perkara lainnya. Aku, kenapa selama ini aku hobi memprotes tindakan dari (oknum) umat agamaku sendiri yang mempersulit tindak ibadah orang lain, ya karena alasan sejenis inilah. Kenapa aku simpati dengan umat agama sebelah yang dipersulit kebebasan ekspresinya dalam beribadah ya karena aku paham rasanya di posisi minoritas ketika sebuah keputusan diambil berdasarkan ego mayoritas. Karena itu aku berdiri dan bersimpati kepada mereka yang pembangunan gerejanya diintimidasi meskipun – konon – segala jenis aturan perizinannya sudah dipenuhi.
Aku tidak bisa menerima argumen semacam “ini Endonesa, di sini mayoritasnya siapa?” karena boleh jadi di 1 tempat bukan Muslim-lah mayoritasnya. Apa yang sampeyan rasa ketika kebebasan berekspresi sampeyan dibenturkan dengan hal macam demikian? Maka aku juga tidak bisa menerima (jika ada) argumen bahwa karena Muslim bukan mayoritas di Resman maka yang minor harus nurut-manut sama yang mayor, sekalipun itu bertentangan dengan keyakinan agama yang dianutnya. Aku nggak suka. Aku nggak suka dengan hal semacam itu.
Yang aku percaya, kalau kita ingin diperlakukan baik, maka perlakukanlah orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan. Sebagai mayor, perlakukanlah yang minor sebaik apa perlakuan yang ingin kita terima ketika kita nanti berada di posisi minor tersebut. Maka ketika seorang Anita Whardani dilarang mengenakan jilbabnya di Resman dengan argumen: “Ada upaya dari kelompok agama tertentu yang berusaha mengintervensi dengan memasukkan atribut-atribut agama ke dalam sekolah negeri. Kelompok ini jelas berusaha menekan dan mendesak agar karakter bangsa ini tidak lagi pluralis dan berbudaya asli Indonesia, tapi sudah jelas ingin menanamkan konsep agama mereka dalam bernegara.”, hal semacam itu justru membuatku membatin, what the hell is this shit?
Boy, aku sudah kenyang dicap sebagai penganut paham pluralisme. Itu aku terima dengan senang dan bangga hati. Sungguh.
Karena apa?
Karena buatku pluralisme versiku adalah tidak mengganggu dan mempersulit umat agama yang kebetulan tidak seagama denganku mengekspresikan kecintaannya terhadap Tuhan dengan sebebas-bebasnya, di mana pun, kapan pun. Tidak cuma di Jokja, tidak cuma di Jakarta, tidak pula cuma di Denpasar, pokoknya tidak cuma di Endonesa. John, buatku tidak ada hubungannya antara atribut keagamaan dengan karakter lokal. Itu 2 hal yang berbeda. Karakter adalah inner dan atribut adalah outer. Betul bahwa keduanya bisa saling mempengaruhi. Bisa. Tapi bisa adalah bukan berarti tidak bisa pula untuk tidak bisa. Semuanya tergantung kualitas human being-nya. Dalam analogi yang nggak nyambung, orang bule bilang, “Form is temporary. Class is permanent.” ๐
Bagaimana dengan yang berikut ini?
:: berjilbab adalah positif untuk sebagian orang, tetapi ada juga sebagian orang yang berpandangan negatif tentangnya.., jika sebuah institusi menghendaki adanya keseragaman di dalamnya, jangan memberi kesan anda ingin menunjukan bahwa diri anda lebih baik atau mungkin anda lebih buruk dari yang lainya.. sejauh ini saya dukung Bapak Kepala Sekolah ::
Maaf kalau harus bilang, “Nggak masuk!” Buatku itu juga argumen yang nggak masuk. Keseragaman juga memiliki tempat ketika keadaan-keadaan menuntut penyesuaian. Kondisi fisik, misalnya. Upacara bendera harus seragam, tapi apa yang – mohon ampun – tidak punya kaki harus ikutan berdiri memberi hormat kepada Bendera Merah Putih? Non sense!
Begitu juga dengan hal-ihwal beragama.
Ketika sebarang ajaran agama menuntut pemeluknya harus begini harus begitu, buatku itu adalah hal yang juga menuntut penyesuaian. Kewajiban orang beradablah untuk mengakomodir hal itu, memberi ruang yang fleksibel untuk sebuah keseragaman.
Masbro dan Mbaksis, ini bukan cuma dan hanya cuma tentang Islam. Ini tentang semuanya. Tentang semua perihal keagamaan yang memang diwajibkan oleh ajaran agama kepada pemeluknya untuk dilakukan. Kalau memang ada yang harus menggunduli rambutnya di sekolah, berikan mereka ruang untuk itu. Bahkan, kalau memang ada seorang penyembah cawet yang ajaran cawetismenya mengharuskannya memakai cawet di kepalanya dalam kondisi apapun, biarkan dia memakai cawetnya.
Mbaksis, baik atau buruk itu masalah persepsi. Persepsi adalah hak kita. Tapi kita tidak berhak memaksa orang lain untuk hidup sesuai persepsi baik-buruk versi kita. Biarlah itu berjalan dan bernilai secara natural. Kalaupun jilbab itu nantinya dipersepsikan buruk oleh sebagian kalangan, biar saja. Biar pemakainya menanggung “dosa” itu. Mereka sudah memilih, dan setiap pilihan pasti ada konsekuensi yang menyertainya. Bukan wewenang kita untuk mengatur konsekuensi hidup yang dipilih oleh orang lain, kecuali kalo orang tersebut kemudian sambat ke kita dan itu mengganggu tidur malam kita ๐ฟ
Masbro, dari mananya pula ketika seseorang memilih untuk menggunakan atribut keagamaannya itu berarti dia sedang ingin menunjukkan bahwa dirinya lebih baik dari orang yang tidak memakainya? Itu argumen yang kelewatan…kelewatan ngasalnya, maksudku. Sengasal opsi untuk belum diplomasi apa-apa sudah harus jihad dan bertaruh nyawa gara-gara dilarang pakai jilbab. Siapa yang bisa menjamin bahwa dia memang ingin pamer? Siapa pula yang bisa menjamin kalau dia tidak sedang hanya ingin menunjukkan kecintaan dan kepatuhannya terhadap ajaran keyakinannya? Terlalu jauhlah beranggapan kalau memakai kalung salib dan memasang wallpaper Yesus di laptop itu cuma disebabkan karena ingin terlihat lebih baik. Bukankah begitu?
Jadi mbok ya jangan berandai-andai terlalu jauhlah. Malu kalau salah. Dab, Resman itu setauku sekolah umum. Bukan sekolah berbasis agama seperti San Jose (Kristen) atau Muhammadiyah (Islam). Maka ketika kita berbicara tentang sekolah umum, kewajiban, hak, dan kaidah umum lainnyalah yang berlaku. Ya, keumuman yang dilindungi oleh konstitusi negara ini. Kalau San Jose melarang siswinya – yang kebetulan Muslim – berjilbab, itu bisa dimengerti. Itu hak khusus San Jose, yang harus dipatuhi oleh semua murid San Jose. Ya namanya aja sekolah berbasis sebuah kekhususan, kok, ya konsekuensinya silakan ditelan. Kalau nggak boleh berjilbab? Terimalah… Siapa suruh sekolah di sekolahan Kristen, kan?
Lalu apa kesimpulan dari cuap-cuap panjang-kali-lebar-kali-satuan-persegi-sama-dengan-luas-ku ini? Ya apalagi kalau bukan ini bukan cuma perkara mayoritas dan minoritas. Ini soal pluralisme versiku, di mana kebebasan menjalankan ajaran agama bagi tiap-tiap pemeluknya harus tetap mendapat tempat, di manapun dan kapanpun, serta berlaku bagi seorang penyembah cawet sekalipun, dan memang sudah seharusnya seperti itu. Sesederhana dan sesimpel itu, kok.
Paham? ๐
John, sebelum saya komen, inget deadline 2014 john, UI nya mana, keburu saya jadi presiden nanti..
Chain reaction? Atau mungkin lebih tepat disebut butterfly effect?
Sekolah yang notabene lembaga yang harusnya berdiri di garda terdepan dalam hal mencerdaskan bangsa kok justru paling maju (semaju untumu, john) dalam memperbodoh bangsa..
lha situ kapan hari kemarin saya mau ajak coding brutal sampe subuh malah bengek, ndut