Sebulanan terakhir ini kalau ada yang nanya, siapa tokoh fiksi yang paling ta’pikirin, jawabannya adalah Dexter Morgan.
Kenapa Dexter?
Karena tokoh Dexter ini kompleks meskipun simpel. Simpelnya ya di dirinya sendiri: Dexter ini manusia yang nyaris tanpa emosi. Kalau lingkungannya menuntutnya gembira maka dia akan pura-pura tertawa, dan kalau masyarakat di sekitarnya mengharapkan respon sedih darinya maka dia akan pura-pura menangis. Mungkin satu-satunya emosi alami yang dia punya adalah dorongan perasaan untuk menghilangkan nyawa manusia lainnya, menikmati ekspresi ketakutan buruannya, merasakan kegairahan ketika memutilasi korbannya.
Kompleksnya?
Kompleksnya adalah karena Dexter dididik untuk mengendalikan emosinya. Didikan yang diterima saat masa kecilnya akhirnya berhasil mengontrol siapa-siapa manusia yang harus meregang nyawa di tangannya. Yeah, Dexter memang diajari oleh mentornya supaya hanya mengeksekusi mereka yang pantas mati saja, mereka yang telah melakukan pembunuhan sadis pula sebelumnya. Pendeknya, Dexter adalah pembunuhnya pembunuh.
Tapi tentu Dexter menjadi kompleks kalau saja dibawa ke dunia nyata. Penggiat hak asasi manusia (HAM) yang menentang hukuman mati akan gelut dengan sesama penggiat HAM lainnya yang mendukung kebebasan manusia untuk berekspresi. Pledoinya, Dexter toh tidak mengganggu tatanan kehidupan di masyarakat. Dexter malah boleh jadi menciptakan lingkungan yang lebih aman; entah nanti ketika sudah tidak ada pembunuh yang bisa dibunuhnya lagi, tetapi insting alamiahnya masih tetap menuntut nafkah batin seperti biasanya.
Waktu liburan di Jokja kemarin aku juga sempat ngumpul dengan begundal-begundal jelek macam Kibol, Bram, Septri, Lubab, Amin, juga Ical (otomatis malam itu yang ganteng cuma aku). Kami bicara banyak hal ngalor-ngidul-ngetan-ngulon sambil minum berliter-liter air kedamaian (baca: es teh, Dab!). Salah 1 topik pembicaraan kami adalah tentang lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) yang sempat ramai kapan hari kemarin ini.
Kemarin itu Bram mengeluarkan statement yang menyangkal keyakinan para pejuang hak kaum LGBT atas nama kebebasan berekspresi sesuai insting alamiah masing-masing individunya. Bram bilang kalau sudah ada riset yang membuktikan bahwa LGBT tidak dipengaruhi oleh faktor genetis seperti yang selama ini diimani oleh yang mengimani (lha ya memangnya mau oleh siapa lagi, jal?).
Terlepas Bram sampai sekarang belum sempat memberikan paper yang dimaksudnya ke aku, yang aku tau penelitian tentang tentang berpengaruh tidaknya Xq28 terhadap kecenderungan seksual seseorang masih bisa diperdebatkan sampai sejauh ini. Ada yang bilang nggak ada pengaruhnya, ada yang bilang bisa berpengaruh tapi bukan faktor utama, ada juga yang bilang memang mutlak berpengaruh. Aku sendiri masih berpendapat kalau kecenderungan seksual seseorang itu cuma masalah selera, dan selera bisa diubah-ubah kalau memang mau diubah.
Tapi dengan adanya Dexter, pertanyaanku jadi berkembang.
Begini…
Jaman dulu (anggaplah jaman Nabi Luth, karena ada temenku yang sempat punya ide bikin situs web berjudul kaumnabiluth.com) homoseksual dikategorikan sebagai kelainan kejiwaan. Beberapa tahun yang lalu homoseksual sudah tidak lagi dikategorikan sebagai kelainan. Artinya kelainan ataupun bukan kelainan, yang menentukannya adalah kondisi sosial masyarakat pada saat itu.
Kalau begitu bagaimana dengan kondisi psikisnya Dexter?
Ketika saat ini hal itu dianggap sebagai kelainan, bisakah besok – mbuh kapan kuwi, pokokmen sesuk – kita menerima kondisi bahwa ada manusia yang harus membunuhi manusia lainnya atas nama kebebasan berekspresi yang harus kita fasilitasi dan kita bela hak-haknya? Bisakah kita adil dan tidak pilih-pilih dalam membela naluri alamiah manusia?
Atau, seperti yang pernah ta’tulis beberapa tahun yang lalu, bisakah kita suatu saat nanti membela bukan hanya hak-hak penganut LGBT tapi juga hak-hak penganut zoophilia, dendrophilia, ataupun necrophilia?
Bisa nggak kita terima kalau ada orang yang naksir kemudian menyetubuhi jaran peliharaan kita? Ngamuk nggak kalau bobok kita malam-malam ditingkahi suara “ah, uh, ah, uh” dari manusia yang sedang mencumbui pohon kaktus di halaman rumah kita? Relakah kita kalau kuburan saudara atau teman kita dibongkar orang demi mengekspresikan insting biologisnya? Atau pertanyaan lebih besarnya, apa iya parameter untuk semua hal tersebut cuma perkara norma yang dianut masyarakat pada waktu itu semua berlangsung? Siapa yang sebenarnya berhak menentukan kelainan atau kenormalan perilaku sebiji manusia?
Dan Dexter? Kenapa, sih, dia nggak boleh terang-terangan mengekspresikan naluri alamiahnya? Kenapa juga, sih, harus kucing-kucingan dengan plokis-plokis di Miami sana? Kenapa – di serialnya – nggak ada aktifis HAM yang membela hak-haknya?
Sakitlah sudah masyarakat kita ini. Pada standar ganda semuanya. Di 1 sisi, katanya, kebebasan berekspresi haruslah dibela kelangsungannya. Tapi ketika kebebasan itu mengancam eksistensi umat manusia, maka bisakah kita meletakkan keadilan untuk seorang Dexter Morgan?
gitulah, john! eh, joe! eh, mas joe! *kualat nanti*
berikan pada saya jurnal ilmiah yang bilang itu diturunkan secara genetis!
selalu bilang itu sama yang mendukung dengan alasan genetika, nyatanya nggak pernah ada.
sebenernya, memang bukan penyakit fisik yang harus tertera di buku kedokteran umumnya, tapi Ldankawankawan ini (saya menolak menyebutkan seperti yang dipropagandakan) adalah penyakit hati sejenis iri, marah, dengki, dan sombong, yang menyebabkan kelainan atau penyimpangan perilaku (juga menular).
sekian dan terima Luffy figure bersama pengembalian komik2 OP saya.
Salam manis yang paling manis dari Ibunya Sita yang paling manis.
tau. saya tau kok situ siapa π
Halo sesama penonton film dexter, π
Menariik.. Sebenernya setiap orang berpotensi punya gangguan jiwa yang bergantung sama banyak variable diantaranya lingkungan, keluarga dan trauma masa lalu…
Btw di barat sana penyimpangan udah terlalu banyak jenisnya karena kebebasan yang kebablasan..
kalo di timur tempatnya situ gimana, mbak sesama penonton dexter? π