Semesta Tanpa Tuhan

Perihal cap sebagai tukang cari gara-gara yang dialamatkan sama sejawat-sejawatku ke aku, aku sudah memakluminya. Soalnya mungkin ya memang begitulah kerjaanku. Ta’akui kalo aku ini suka iseng. Kadang aku sengaja mencari respon yang kontra dengan pendapat lawan bicaraku ya cuma gara-gara hal itu: iseng. Saking isengnya, beberapa oknum akhirnya tidak tahan untuk mengungkapkannya kejengkelannya langsung dihadapanku. Tapi celaka, walaupun mereka sudah mangkel-mangkel seprapat mati, aku biasanya malah jadi tambah ngekek-ngekek tanpa merasa berdosa sedikit pun jua.

“Kamu mau jalan ke pengadilan jam berapa nanti, Mas?” begitu tanya seorang sejawat ketika melihatku masih tenang-tenang nyusu (nyusu kopi, maksudnya) dan ngerokok sementara jadwal sidang semakin mendekat.

“Wah, aku males e. Sumpah, aku males kalo jalan. Mendingan naik motor. Nggak capek,” begitu biasanya jawaban ngawurku.

Akibat kelakuanku yang model demikian itulah akhirnya aku jamak dikenal sebagai orang yang hobi merumitkan hal yang sederhana serta menggampangkan perkara yang kompleks (tapi tidak termasuk kompleks prostitusi, tentu sahaja).

Seperti kejadian tadi pagi di kantorku. Setelah sehari sebelumnya aku memberikan ceramah tentang perkara Sunni dan Syiah, pagi tadi lagi-lagi aku menggelar khotbah di hadapannya Diwan Sastro dan Ryan yang kebetulan tidak berasal dari Jombang. Kali ini topiknya tentang ketetapan alam semesta.

“Gravitasi, sodara-sodara,” kataku mengawali kuliah umumku, “adalah sebuah ketetapan alam semesta. Batu, kalau kita lempar, ya pasti bakalan jatuh lagi ke tanah. Batu bisa berlaku seperti itu ya karena adanya gravitasi. Maka dari itu sebenarnya hidup di dunia ini kita nggak butuh Tuhan!”

Hadirin (yang sayangnya cuma berjumlah 2 orang itu) kontan kaget. Tapi kemudian setelah bisa menguasai emosi masing-masing, 2 orang programmer itu malah bersalaman 1 sama lain. “Yang penting tidak langsung mengkafirkan,” demikian kesepakatan mereka yang sudah pada hafal sama pernyataan-pernyataan nyelenehku.

Iya, pagi tadi aku memang mengeluarkan sebuah pernyataan bahwa hidup ini sebenarnya kita tidak butuh Tuhan. Seperti halnya gravitasi, problematika lainnya di dunia ini – apapun itu – menurutku juga sama, semuanya tidak bisa lepas dari ketetapan semesta.

Ketetapan semesta itu bersifat netral, selain juga bersifat mengikat. Mau kita beragama apa saja, memiliki pandangan hidup yang bagaimana juga, mau percaya sama Tuhan, mau agnostik, mau nggak percaya sama sekali pula, tetap saja kita seperti batu dan gaya gravitasi. Kita terikat pada ketetapan alam semesta.

Dan seperti yang barusan ta’bilang, ketetapan semesta ini sifatnya netral. Tidak memihak. Ketetapan alam semesta adalah ketentuan-ketentuan yang bisa kita manfaatkan untuk tujuan apapun dalam hidup kita. Mau dipakai untuk tujuan yang baik (menurut norma masyarakat di sekitar kita), bisa. Mau dipakai untuk berbuat hal-hal yang brengsek (juga menurut norma masyarakat di sekitar kita) pun bisa.

Ketetapan alam semesta tidak mengenal dosa dan pahala, tidak mengenal baik dan buruk. Ketetapan alam semesta bisa kita manfaatkan untuk hidup bahagia di dunia apapun cara pandang kita. Itu kalau kita bisa menguasainya. Tapi tetap saja, sekali pun kita tidak tahu apa-apa tentang ketetapan alam semesta, kita tetap hidup dalam hukum-hukumnya.

Ketetapan alam semesta – selain macam hukum gravitasi itu tadi – juga mencakup perkara lainnya. Contoh paling gampangnya, manusia kalau nggak mau bernafas ya lama-lama mati, kalau haus obatnya ya minum, kalau kepengen kenyang ya harus makan (bukan malah apdet status di Fesbuk), orang pelit temennya dikit, dibius kloroform ya pingsan, sampai hukum Archimedes, terus juga V dikali I sama dengan R, atau bahkan law of attraction ala “The Secret”-nya Rhonda Byrne, dan seterusnya, semuanya adalah ketetapan alam semesta.

ini juga ketetapan alam semesta

Hal-hal seperti itu berlaku untuk siapa aja. Kalau si Rhonda bilang, untuk menerima hal yang baik-baik maka kita harus membayangkan yang baik-baik, guna mendapatkan sesuatu kita harus memberikan sesuatu dulu – dan anggap saja hal itu memang benar adanya – maka hal itu berlaku untuk segala jenis manusia. Jika untuk menjadi menjadi akuntan yang sukses kita harus mampu menerapkan ilmu akuntansi secara tepat, maka ketetapan alam semesta bisa pula kita manfaatkan untuk bermalas-malasan tapi tetap punya harta berlimpah.

Caranya?

Caranya gampang. Misal saja, jadilah maling. Iya, jadilah maling, atau jadilah tukang tipu-tipu, lobbying, dan upeti yang tentu saja harus wow jagonya. Kita bisa sukses jadi maling ya cuma kalau kita bisa memanfaatkan dan mengaplikasikan ilmu maling dengan baik dan benar. Jangan malah jadi tukang tipu-tipu tapi tukang tipu-tipu yang goblok! Sudah jadi ketetapan alam semesta pula bahwa tukang tipu-tipu yang beraksinya nggak pas maka akan ketahuan, lalu kemudian diciduk aparat yang berwenang. Biasanya ini terjadi pada tukang tipu-tipu yang sudah bodo, eee…ketambahan sentimentil pula. Tukang tipu jenis ini, walaupun sudah berhasil ngumpulin duit banyak, tapi nggak berani kabur ke Guatemala atau ke Antigua dan Barbuda. Alhasil, selama daerah jangkauan operasinya ada di wilayah Endonesa dan dia nggak mau pergi dari ini negara dengan alasan nggak bisa pisah jauh sama orang tua, ya nggak heran juga kalau dia akan lebih cepat ketangkap ketimbang kalau dia milih kabur ke Guyana Perancis.

Kenapa, kok, tiba-tiba aku mikir dan nulis kayak gini?

Karena aku mendadak ingat sama Didit Komeng. Dalam sebuah kesempatan, rival PES jaman kuliah dulu itu pernah bersabda ke Pepe alias Bo’im. Katanya, “Eni kae, nek sa’umpamane aku ra nduwe agomo, wis ta’kabruk, Im!” yang artinya dalam bahasa Endonesa adalah: “Eni itu, seumpamanya aku nggak punya agama, sudah kunikmati vaginanya, Im!”

Tapi kalau cuma gara-gara inget omongannya si Didit, tentu aku nggak bakal segampang itu nurunin postingan ini. Meskipun substansi omongannya benar, Didit ini casingnya kurang bonafid. Kurang menjuallah untuk dijadikan brand ambassador sebuah produk pemikiran.

Maka tentu saja hal ini ada alasan lainnya. Sengawur-ngawurnya aku berpikir, kupikir kengawuranku itu kuputuskan untuk kulakukan haruslah setelah aku mempelajari situasi dan kondisi serta menyiapkan argumen-argumenku. Karena sudah menjadi ketetapan alam semesta pula apabila aku cuma ngawur asal ngawur maka aku akan diledek kucing. Kalau sudah begitu apa aku nggak malu sama kucing, meong meong meong?

Aku melihat di dunia ini toh nyatanya banyak manusia yang bisa hidup sejahtera tanpa peduli dia melanggar ajaran agama yang ta’anut, yang kebetulan tetangga sampeyan anut (yaaa…siapa tau sampeyan ini prek-prekan soal Tuhan, jadinya nggak kenal rules dari Tuhan, entah Tuhan jenis yang mana pun itu), atau tidak. Di level berikutnya ada pula yang atheis tapi sukses punya cabang restoran sok-sok bule di mana-mana. Sementara itu ada yang dahinya menghitam, yang ruku’-sujudnya kenceng, tapi njajal buka usaha apapun hasilnya selalu insyaallah. Insyaallah kita bangkrut! Hayawww…

Jadi ya yang namanya sukses ternyata nggak ada hubungannya sama Tuhan. Coba liat Hugh Hefner, dah… Dari muda dia sudah jadi PK alias pahlawan kelamin, tur nyatane duite akeh, gadis koleksinya juga banyak, ngetop, punya banyak relasi, umurnya sudah 80 lewat tapi masih kenthu sana kenthu sini yang menandakan bahwa dia masih bisa ngaceng. Demi Toutatis! Kalau hidup di dunia itu butuh Tuhan, harusnya kampret model beginian sudah kena azab batangnya jadi bercabang! Tapi nyatanya? Nggak, kan? Sekalipun disumpahin sama Habib Rizieq di depan hidungnya langsung, kupikir Mbah Hugh paling-paling cuma bakal nyengenges, bilang, “Prek, su!” lalu kemudian berjalan meninggalkan si Habib sambil dikintilin sama 13 cewek cakep telanjang.

Mau contoh yang lainnya lagi? Banyak. Liat aja di dalam negeri sendiri. Jajal liat ke RW atau dukuh sebelah. Harusnya di situ ada aja manusia kampret yang kita tahu kalau beliaunya itu kerjanya cuma maksiat melulu, tapi toh sabetannya banyak. Nggak adil, kan? Jelas itu nggak adil…kalau kita make parameter dangkal bahwa Tuhan itu ada. Tuhan jenis apa yang pilih kasih dan plin-plan mambo tentang hidup hambaNya sendiri, coba? Kita disuruhNya supaya nurut dan berbuat baik, tapi, badalah kampret! Dia malah ngasih nikmat ke setan alas-setan alas yang kenal huruf alif, ba’, ta’ aja juga enggak. Bukan ke kita.

Maka dari itu aku bilang ke pendengar-pendengar setiaku, bahwa rumusan hidup sehat-sejahtera di dunia itu bukan pada bab percaya dan rajin beribadah kepada Tuhan. Rumusan subur-makmur di dunia ini cuma pada bagaimana kita mengadaptasi dan mengimplementasikan hukum-hukum yang ada di alam semesta ini pada diri kita.

Orang Islam mungkin tau kalau ibadah shalat dan puasa itu punya manfaat dari segi kesehatan. Tapi ya bukan berarti orang yang nggak Islam bakal hidup sakit-sakitan karena mereka tidak bersaksi bahwa Muhammad adalah rasul Allah. Mereka bisa, kok, mengambil esensi gerakan shalat dan puasa tanpa perlu repot-repot ngucapin syahadat dulu. Hasilnya tetap sama, karena puasa adalah ketetapan alam semesta. Setidaknya menurut ilmu kesehatan yang aku tau ya memang menyehatkan (tapi ya nggak tau juga, ding, kalo ternyata itu hoax. Siapa tau aja aku lagi kena tipu). Begitu pula dengan esensi-esensi ibadah lainnya, kayak yoga atau meditasi ataupun shalat dhuha yang katanya bisa mendatangkan rejeki itu. Pendeknya, ini bukan tentang menyembah atau tidak menyembah (si)apa. Ini tentang ketetapan alam semesta yang bisa dimanfaatkan oleh siapa saja.

Dengan begini hidup menjadi lebih adil. Dengan menyadari adanya hukum model demikian kita justru nggak gampang frustasi. Nggak ada ceritanya kita bakal sambat bahwa Tuhan itu nggak adil ketika satu-satunya lawan jenis yang mau pacaran sama kita ternyata malah kabur juga diserok orang. Nggak ada itu dongeng macam begitu. Kenapa? Ya karena kita tahu bahwa ketika kita tidak mendapatkan apa yang kita mau, itu artinya usaha yang kita lakukan memang kurang presisi, baik sikonnya, waktunya, determinasinya, atau skill yang kita punya. Begitu juga di sendi kehidupan kita lainnya, semuanya berlaku aturan yang sama pula: ketetapan alam semesta.

Di alam semesta ini berlaku sebab-akibat, juga turunannya, juga pula integralnya. Dengan menyadari adanya ketentuan yang seperti ini hidupnya siapa saja bakal nikmat, entah oknum yang bersangkutan itu adalah seorang pendosa maupun pengawal Athena. Dengan menyadari aturan model begini, jika ada yang nggak kepengen nikah tapi cuma pengen punya pasangan slintut, hal itu bisa terakomodir. Cuma ya itu tadi… Resikonya paling-paling kalau kemudian pasangan kumpul kebo kita kabur sama orang lain, ya kita nggak boleh nangis, merengek kalau hidup ini sungguh nggak adil. Kita cuma bisa berpikir kalau kaburnya pasangan kita adalah karena kita tidak bisa menjaga kadar kemenarikan diri kita di matanya, bukan karena masalah ditakdirkan berjodoh atau tidak berjodoh.

Jadi jika ternyata aku bisa menyadari adanya hukum nan simpel seperti ini di alam semesta, lalu timbul pertanyaan kenapa aku masih bertuhan, itu wajar. Jawabanku juga cuma bakal sekadar seperti paragraf pembukaku di awal itu tadi, kok: aku ini suka merumitkan hal yang sederhana. Logika script kiddie-ku akan berpikir, sistem seperti ini haruslah ada yang terlebih dahulu merumuskannya, entah bagaimana ente menyebutnya, apakah Yahweh, Allah, Dewi Nu Wa, Batara Guru, Mother Gaia, Hyang Widhi, atau Sdsfjuibasdu.

Gara-gara kejauhan berpikir itulah akhirnya aku malah jadi penakut. Takut masuk neraka, takut disiksa di sana, kalau saja aku menjalani hidup di dunia ini kebanyakan melanggar kemauanNya. Aku takut jika ternyata benar akhirat itu ada. Maka karena alasan-alasan itulah sampai sekarang aku beribadah. Bukan untuk kepentingan duniaku, tapi lebih untuk kepentingan akhiratku (selain faedah yang sebenarnya berlaku untuk siapa pun juga, bahwa kalau aku kelihatan alim maka aku akan lebih mudah mendekati akhwat-akhwat manis berjilbab. Ini ketentuan alam semesta pula: kita akan lebih mudah diterima oleh suatu kaum jika kaum tersebut menyimpulkan bahwa kamu adalah bagian dari kaumnya juga) ๐Ÿ˜ˆ

Ketakutan inilah yang akhirnya membuatku tidak bisa menikmati dunia dengan maksimal. Pengen makan daging babi aja harus nunggu ada yang ngibulin aku dulu kalau itu daging sapi dari Greenland (karena aku pasti bakal bilang, “Ah, uluk-uluk cai. Dija ada be sampi ane cara kene?”).

Tapi tentu saja hal itu bukan masalah buat yang tidak percaya konsep Tuhan dan akhirat, kan? Tentu saja iya. Buat yang menganggap kalau sudah mati ya mati saja, silakan, jalurnya terbuka buat berkreasi seoptimal mungkin. Jangan khawatir, andainya pun kita berbuat yang melanggar hukum negara, jika memahami kaidah ketentuan alam semesta ini, selalu ada jalan untuk menghindari hotel prodeo, kok (misalnya, jadilah orang sakti kayak Yan Lam Thian). Buktinya toh ada banyak orang-orang semprul yang tetap bisa hidup bebas, tenang, dan bahagia di luar sana, yang untuk mencapai kondisi demikian, demi Tuhan, kita ini tidak butuh Tuhan!


Facebook comments:

7 Comments

  • Elisa |

    Ini tuh persis PLEK dengan pemikiranku sampai dengan dua tahun yang lalu, Mas. Dan itu dulu bikin galau banget. Sekarang, udah beda.
    Sekarang, menurutku, walaupun Tuhan mungkin dibutuhkan oleh sebagian umat manusia, kemungkinan besar Tuhan itu tidak ada. Seandainya ada pun, bagiku kemungkinannya antara Tuhan yang sebenarnya tidak seperti yang disembah di agama-agama atau Tuhan belum layak untuk kusembah. Yang manapun yang benar, dengan keyakinanku sekarang aku udah nggak galau lagi.
    (Sekalipun ternyata nanti keyakinanku keliru dan aku bakal hangus di Neraka pun, aku nggak nyesel. Paling mung mikir, ternyata Tuhan beneran tukang bully)

  • Yang Punya Diary |

    nah, itu…
    seandainya pun tuhan memang tukang bully, terus kita mau apa? suka2nya dialah, kalau buat saya, toh dia yang maha segalanya. kok enak aja kita yang ciptaannya mau menentukan dia layak disembah atau enggak, hahaha ๐Ÿ˜€

    eh, tapi saya salut lho, mbak, sama pilihannya situ buat nggak nyesel kalo nanti hangus di neraka. buat yang ini saya masih cupu. saya masih belum bisa menentukan bakal suka atau nggak suka sama keadaan yang belum pernah saya alami :mrgreen:

So, what do you think?