Soal Islam, Kebencian, dan Perkara Epistemologi

Pertama kali punya blog tahun 2006 kemarin alasanku sederhana: aku kepengen punya media buat nulis yang hasilnya nggak cuma kusimpen di komputerku sendiri. Kalau mau di-breakdown lagi, kenapa aku kepengen tulisanku nggak cuma kusimpen di komputerku sendiri, jawabannya masih sederhana: aku kepengen orang tahu tentang hal-hal yang kupikirkan, yang jadi uneg-unegku, yang kupikir nggak baik buat mental kalau kusimpen sendirian. Mungkin saja ini semacam approval junkie. Ya, mungkin aja. Tapi kupikir ini lebih dari itu. Aku nggak sekadar kepengen orang jadi ngeh dan kemudian menerima ide-ideku. Aku kepengen apa yang kupikirkan akhirnya bisa jadi concern buat orang lain juga.

Waktu itu hal yang paling sering jadi uneg-uneg adalah kehidupan beragama di kampus. Aku sering gemes dengan poster-poster propaganda tentang agama yang bertebaran di kampusku. Ya gimana mau nggak gemes, wong aku ini lahir dan gede di Denpasar, tempat di mana agamaku adalah agama minoritas di sana. Otomatis aku pahamlah gimana rasanya jadi minoritas.

Lebih jauh lagi, aku menerima pendidikan agamaku dari 2 kutub Islam (yang waktu itu) terbesar dan moderat se-Endonesa, Muhammadiyah dan NU. Aku paham dengan perbedaan-perbedaan beberapa penafsiran atas ajaran agama di antara keduanya. Yang jelas, aku nggak pernah mempermasalahkan hal-hal yang kuanggap remeh kayak gitu. Orang-orang Islam di sekitarku juga nggak ada sibuk berdebat mana ajaran yang paling shahih.

Nggak ada namanya sibuk debat soal kapan 1 Ramadhan dimulai, tarawih idealnya berapa raka’at, kapan jatuhnya 1 Syawal, shalat subuh itu pakai qunut atau nggak, tahlilan boleh atau malah dilarang. Lha, gimana mau debat? Nggak luculah kalau sama-sama Islam malah debat. Sudah sama-sama minoritas, lak ya goblok betul kalau sampai berantem cuma gara-gara perbedaan seputar hal yang nggak pokok. Apa kata umat lain nanti, coba?

Masuk kuliah ke Gadjah Mada aku malah kaget. Dari tempat di mana agamaku adalah agama minoritas, aku datang ke tempat di mana Islam adalah agama mayoritas. Kali pertama kupikir bakal enak, seenggaknya kalau pas bulan puasa bakal banyak temen lapernya. Aku yang masuk Fakultas MIPA baru tahu ada banyak aliran pemikiran lain seputar Islam di luar NU dan Muhammadiyah yang moderat.

Semprulnya, kudapati juga fakta bahwa banyak model orang Islam yang suka menyalah-nyalahkan penafsiran aliran Islam lain yang beda sama penafsirannya. Nggak cuma sesama Islam, banyak pula yang suka menyalahkan isme-isme lain di luar Islam secara terang-terangan. Kecaman terhadap sistem demokrasi, larangan mengucapkan selamat Natal, sampai dosanya kalau beli cokelat Valentine, semuanya diobral di ranah publik, misalnya majalah dinding kampus.

Buat aku sendiri, sih, yang kayak gitu nggak ngaruh. Aku cukup pede sama hafalan fikihku. Kalaupun nanti ada yang ngegep aku habis ngapel di daerah Klebengan sambil bawa cokelat kemudian menceramahiku soal dosanya ngerayain Valentine, gampang… Yang beginian tinggal kuceramahi balik. Toh Gadjah Mada nggak seseram bayanganku sebelumnya, di mana bakal bertebaran orang-orang yang jauh lebih pinter yang bakal bikin aku minder. Nyatanya yang lebih geblek dari aku juga banyak, kok. Malahan aku haqqul yaqin kalau nggak banyak jenis mahasiswa yang pernah menelan buku dengan jumlah melebihi dari apa yang pernah kubaca.

Cuma saja, aku justru jadi nggak enak sama orang lain yang nggak sekeyakinan sama aku. Aku membayangkan gimana perasaan minoritas yang keyakinannya disalah-salahkan di ranah publik dengan cara yang blas nggak simpatik. Makan apa aja, sih, orang-orang yang bikin tulisan di mading sama nempelin poster-poster propaganda di seantero kampus itu? Kalau niatnya memang mau syi’ar agama, masak soalan marketing sederhana tentang bagaimana cara mengambil hati orang lain aja mereka nggak paham?

Lebih jauh lagi, aku berpikir, diajarin apa aja mereka dulu sama guru ngajinya? Cuma aspek tremendum-nya Islam ajakah? Guru-gurunya pada lupa ngasih tau sisi fascinans-nya apa gimana? Syi’ar agama, kok, macam gitu caranya?

Dari situ aku khawatir, kalau model orang Islam-nya kayak gitu, bakal gimana jadinya pandangan orang di luar Islam tentang Islam? Konsep rahmat bagi alam semesta nggak akan pernah nyampai pesannya kalau orang-orang di luar Islam justru jadi resisten sama Islam gara-gara kelakuan oknum-oknum yang herannya bisa pada punya nilai ipeka lebih tinggi daripada aku itu.

Berdasarkan kekhawatiran seperti itulah aku memutuskan ngeblog saja. Kuprotes semua kelakukan-kelakuan yang ada di kampusku itu. Aku pengen ngasih tau, sebagai imbangan dari konsep jalal, Islam – yang kuyakin seimbang dalam semua perkara hidup – juga punya konsep jamal. Islam nggak sekaku yang mereka tunjukkan. Islam malah justru fleksibel, seperti apa yang kupelajari selama ini.

Waktu itu aku sama sekali nggak kebayang kalau penyebaran penafsiran Islam yang keras dan kaku bisa jadi adalah hal yang terorganisir. Waktu itu aku mikirnya sederhana, cuma sekadar darah muda yang ngajinya belum tutug, cuma orang-orang yang modal semangat syi’ar agama tapi miskin strategi, cuma kepengen menunjukkan Islam itu benar tapi nggak tau gimana caranya menunjukkan dengan indah. Pendeknya, nggak paham jogo bonito.

Tapi lama-lama aku capek juga. Bukannya berkurang, yang ada malah Islam model yang kukhawatirin justru makin banyak simpatisannya. Yang kacau, organisasi mahasiswa tempatku nongkrong, yang dulunya biasa-biasa aja, malah mulai dicap sebagai sarang maksiat sama oknum-oknum aktifis dakwah van kampus itu. Padahal, selain mainan kartu remi dan genjrang-genjreng gitaran, kami rutin membudayakan untuk selalu ingat shalat di awal waktu. Ingat buat shalat maghrib di awal waktu isya’, contohnya.

Yang beginian memang semprul, tapi ya ada aja ngelesnya. “Biar! Shalatku diterima atau nggak, ya itu urusannya Gusti Allah. Lha, wong lupa, kok,” demikian jawaban seorang mahasiswa tua ketika sebiji rekannya sadar, ini orang sudah waktunya isya’, kok, shalatnya cuma 3 raka’at? :mrgreen:

Itu di organisasiku. Di situ memang enak buat nongkrong. Hanya saja kalau mau dipikirkan, kadang-kadang aku juga mbatin, oh, ada yang resisten dengan kumpulanku. Ada yang nggak sreg dengan keberadaan orang-orang macam kami di kampus lalu memberi stempel buruk kepada kami hanya karena kami mempunyai pandangan soal Islam yang berbeda dengan mereka.

Soal resistensi-resistensian ini belakangan kusadari makin berkembang. Berkembang jauh di luar kehidupan kampus, di luar konteks pemeluk agama Islam dan pemeluk agama yang bukan Islam. Urusan resistensi ini bukan sekadar yang bukan Islam nggak suka disalah-salahkan sama yang Islam, tapi sudah sampai ke tahapan yang Islam sendiri pun jadi nggak suka sama yang “Islam” (eh, itu pakai tanda kutip, lho).

Ketika para aktifis dakwah ini selalu menyalahkan yang berbeda dengan mereka, pada gilirannya yang disalah-salahkan juga jadi nggak suka sama mereka. Masih mending kalau cuma nggak suka sama kelakuannya. Kebencian ini akhirnya jadi merembet ke mana-mana. Saking seringnya terdistorsi sama model dakwah Islam yang menjengkelkan, akhirnya kejengkelan itu menjadi bias dengan kejengkelan terhadap term “Islam” itu sendiri.

Kupikir dari hal semacam itulah makanya akhir-akhir ini banyak orang yang menolak istilah “religius”, “sholeh”, atau “alim” untuk disematkan sebagai identitas mereka. Pokoknya segala identitas yang berhubungan dengan agama (Islam) bakal ditolaknya.

Aku pernah mendapati sejawat yang tidak suka dengan istilah “religius” hanya karena, dalam bayangannya, definisi hal-hal yang religius adalah hal-hal yang dikerjakan oleh kelompok yang tidak disukainya. “Aku ini nggak religius, wong aku nggak kayak mereka, kok,” begitu biasanya pernyataan yang sering kudengar.

Ini ngawur, buatku. Secara epistemologi, coba, apa, sih, definisi asli dari “religius” itu? Hal yang sama juga berlaku untuk term-term lainnya yang dianggap berkaitan dengan Islam. Dalam hal ini, religius, sholeh, dan alim memiliki nilai rasa yang keras dan kaku bagi mereka.

Kelanjutannya, buat orang-orang yang nggak suka (yang kebetulan juga ngajinya masih separo-separo makanya nggak bisa membedakan definisi istilah), Islam dianggap sebagai bentuk kebebalan. Konotasi Islam menjadi negatif bagi mereka. Maka karena merasa nggak cocok kalau harus menanggung identitas yang mereka nilai sebagai identitas yang negatif, pelan-pelan segala hal yang berkaitan dengan label Islam pun mereka hindari. Semuanya karena distorsi pada otak mereka sendiri tentang imej Islam.

Distorsi ini mirip sama distorsi pada istilah “bajingan”. Penamaan untuk profesi yang sebenarnya adalah profesi yang baik-baik saja (eh, sampeyan tau nggak, sih, sebenarnya artinya bajingan itu apa?) berubah jadi identitas yang melekat pada orang yang berbuat bejat ๐Ÿ™‚

Lebih ekstrimnya lagi, adalah sebuah fakta yang terjadi di sekitarku ketika seseorang yang tadinya memiliki identitas sebagai muslim menunjukkan ketidak-sukaannya dengan melanggar ajaran-ajaran Islam yang tadinya dianutnya. Semacam bentuk proteslah. Simpelnya, mereka nggak kepengen dianggap sebagai bagian dari Islam yang kadung dianggapnya sebagai hal negatif. Hal yang (lagi-lagi) lebih lanjutnya lagi adalah sebuah perkara yang kacau, menurutku.

Kenapa kacau? Soalnya begini… Kalau cuma sekadar pamer sudah berani makan babi via media sosial, sih, ya itu suka-suka mereka. Bukan perkara besar ketika ada orang yang memutuskan pindah haluan. Yang kacau adalah ketika manusia-manusia model begini mulai ikut-ikutan menyalahkan hal yang nggak sreg dengannya di ranah publik, dalam hal ini tentu saja Islam sebagai sebuah ajaran agama. Yang kacau di sini adalah motivasinya.

Kalau motivasinya adalah hal semacam pencerahan secara personal, semisal menganggap ada yang lebih cocok sebagai jalan hidupnya ketimbang jalan Islam, nggak problem. Tapi kalau kemudian motivasinya ternyata berawal dari ketidak-sukaan, maka apa bedanya mereka sama anak-anak singkong dari kubu yang nggak disukainya itu? A resisten sama B, B resisten sama A. A menyalah-nyalahkan B, B mengawur-ngawurkan A. Keduanya sama saja. Level keduanya sama-sama bukan di level hakikat. Tingkatan keduanya cuma sekadar sampai di tahap adu banyak-banyakan menebarkan kebencian.

Kelakuan sama, yang beda cuma panggungnya.

Gembus! Sama-sama gembus!

Tapi jangan khawatir, aku juga bisa paham sama kelakuan gembus-gembus ini. Nggak semua orang bisa berlaku waras. Pun nggak semua orang waras punya concern terhadap gembus-gembus macam mereka. Ya gimana mau concern, wong ngurusin hidupnya masing-masing aja sudah repot, ngapain ngurusin mereka para gembus, coba?

Sayangnya hidupku ini jarang repotnya. Makanya ta’kasih tau kalo gembus-gembus ini cuma kumpulan manusia pendek pikir. Itu saja problem mereka. Mereka cuma mau mendengarkan apa yang pengen mereka dengar. Mereka cuma sibuk soal syari’at, bukan ma’rifat, soal permukaan, bukan kedalaman. Mereka sama-sama orang yang ngajinya masih setengah (belum 3/4, dong, kayak aku), masih nggak paham tentang esoterisme Islam. Mereka orang-orang yang sama-sama suka menggeneralisir demi menggampangkan perkara supaya otak mereka tidak terbebani dengan hal-hal yang tidak sanggup mereka pikirkan.

Padahal aslinya ini memang perkara yang gampang. Buatku, kalau aku sampai malu sama kelakuan oknum-oknum umat Islam yang hobi memperburuk imej Islam, ya tinggal kutunjukin aja Islam itu sebenarnya kayak gimana. Tiap isme itu pasti ada trouble maker-nya, kok. Jadi ya tinggal tunjukin, isme yang belum dibikin trouble itu ya yang kayak gimana, istilah “religius” atau “sholeh” itu model kelakuan yang macam apa. Bukan malah kemakan sama definisi versi mereka dan ketularan ikut-ikut jadi tukang benci.

Untuk perkara seperti ini aku pribadi dengan senang hati akan memberikan kuliah seputar definisi, seperti: “Nhaaa…yang sampeyan lihat, yang barusan saya lakukan adalah contoh perilaku yang tidak sholeh binti tidak religius. Tidak patut sampeyan tiru. Kalau sampeyan melakukan apa yang barusan saya kerjakan, sampeyan bisa masuk neraka.”

Jadi akhirul kalam, aku sendiri aslinya nggak kepikiran soal konspirasi. Aku bukan penyuka teori konspirasi. Tapi, kok, ya gara-gara kelakuan blo’on mereka ini aku malah jadi kepikiran soal teori konspirasi, soal politik adu domba, ya? Coba, gimana misalnya kalau memang ada yang kepengen menciptakan imej Islam di Endonesa yang penuh kebencian supaya nantinya Islam juga dibenci karena imej negatifnya, biar nantinya mereka berantem sendiri? Coba, kepikiran sampai sana nggak mereka-mereka itu? Aku, sih, jujur aja, tadinya ya enggak kepikiran. Aku baru kepikiran ini beberapa saat sebelum aku nulis panjang-panjang kayak gini :mrgreen:

Ini memang pemikiran ngawur. Nggak berdasar sama sekali. Tapi sekalipun nggak berdasar, sekalipun yang kupikirkan ini aslinya nggak pernah terjadi, bukan nggak mungkin justru setelah melihat kondisi seperti ini bakal ada yang berpikiran untuk memanfaatkan situasi. Namanya juga aji mumpung, ya mumpung ada yang bisa ditunggangi, kenapa nggak sekalian aja beneran ditunggangi?


Facebook comments:

6 Comments

  • mawi wijna |

    Dulu itu, katanya mereka bebas berekspresi di MIPA karena BEM-nya “mengijinkan”. Aku yo pernah dijak mampir ke masjidnya mereka di seputaran Jakal situ. Tapi ya nggak mempan kecuci otak, wkwkwkw.

  • biasalah diriku |

    kalo aku bilang setuju, kamu pasti bilang aku ikut-ikut,
    kalo aku bilang ngga setuju, ngga mungkin, karena toh aku memang setuju,
    tapi, kok lah kamu merusak tulisan sebagus ini dengan meng-gembus-gembus-i orang-orang itu, saya ngga setuju, jadi mengurangi bacaan indahnya.

    stay humble mas, biar cepet dapet jodo…eh, maksudnya biar cepet jadi menteri…

    #kunaonsih

  • Yang Punya Diary |

    mawi wijna:::
    kampus jaman dulu itu memang lucu. sekarang bagemana ya? saya khawatir, berhubung medsos jaman sekarang jadi banyak sekali, takutnya malah makin nyebahi

    biasalah diriku:::
    namanya juga saya…apalah artinya nulis tanpa misuh ketika sedang kesal? kurang ekspresif nanti jadinya, kurang keliatan ngamuknya

  • Ical |

    Sekarang? Sekarang kelihatannya banyak orang2 yang gembus (gembus 1 dan gembus 2) di kampus. Banyak juga yang punya pemikiran kayak kamu, mas. Tapi, yang gembus tadi jumlahnya lebih banyak dan yang kayak kamu gak ada (ada sih, dikit tapi) yang berani atau sekedar kober nggo ngomong nek yang mereka lakukan ki kurang tepat

  • wenny |

    Halo,
    Perkenalkan, Nama saya Wenny
    Saya adalah development dari ForexMart, Kami melihat website anda dan kami ingin mendiskusikan kerjasama kemitraan dengan Anda.ย 
    Boleh saya minta kontaknya untuk menjelaskan lebih lanjut atau anda bisa langsung menghubungi saya ke wenny@forexmart.com, terimakasih

So, what do you think?