“Tanda Tanya”, Pluralisme, dan Kontroversinya

Akhirnya aku nulis juga tentang film ini, film yang menurut beberapa orang kontroversial. Dan karena sebutan sebagai film yang kontroversial itulah akhirnya aku memutuskan buat nonton ini film. Dan lagi, sayang sekali, sodara-sodara…kata “beberapa” di atas itu akhirnya memang cuma benar-benar beberapa. Aku sendiri menolak menyebut film ini kontroversial. Karena apa? Karena sesuatu yang kontroversial itu – menurutku – seharusnya bisa meninggalkan kesan yang – entah iti positif atau negatif sekalian – yang mendalam buat mayoritas penontonnya. Film ini justru sebaliknya, kataku. Jelek, sih, bukan. Hanya saja, yah…biasa-biasa ajalah.

Aku nonton film ini sekitar 2 minggu kemarin. Ceritanya, dari sejak siang pas aku masih ngantor, adik-adikku di rumah sudah ribut. Mulai dari via SMS dan via Y!M, semuanya ribut nanyain apa aku jadi nonton film itu malamnya atau nggak. Iya, beberapa hari sebelumnya aku memang iseng bilang ke mereka, “Nonton ‘Tanda Tanya’, yuk. Kayaknya seru,” yang langsung ditanggapi dengan salah paham sama mereka: dikiranya aku bakal royal mbayarin mereka nonton!

Tentu saja kesimpulan macam demikian kutolak mentah-mentah. “Enak aja! Bayar sendiri-sendiri,” sergahku.

Tapi dengan 1001 muslihat, antara lain dengan alasan bayarin pake duitku dulu, ntar diganti, mereka berhasil memaksaku mengangsurkan 100 ribuanku buat dipake ngantri beli tiket untuk 4 kursi pas malam harinya.

Sungguh mati itu di luar kebiasaan. Biasanya aku ini pelit. Bahkan kalo lagi ngedate berdua sama cewek yang bukan pacarku, aku selalu berusaha supaya ditraktir. Kalopun enggak, setidaknya ya bayar sendiri-sendirilah. Aku baru bakal nraktir mereka kalo ternyata mereka lolos kualifikasi buat menemaniku jalan sampai dengan kencan yang ketujuh. Bukan apa-apa, sih… Kalo aku nggak bersikap tegas macam itu ya bisa diprediksi dengan jitu bakal ada banyak cewek yang ngantri buat jadi teman kencanku. Repot. Padahal akunya, kan, sibuk. Maklumlah, namanya juga eksekutip muda…

Tapi tenang saja, kadang-kadang aku juga bikin pengecualian, kok. Cewek yang nemenin aku jalan dan kemudian dia memiliki inisiatif untuk melakukan sesuatu yang berguna buat aku biasanya juga kutraktir. Apa boleh buat… Sama mamakku aku selalu dididik untuk jadi orang yang bisa menghargai orang lain, sih. Jadilah – misalnya – Niha kemarinan ini kuajak makan di Pastello Ambarukmo Plaza setelah dia dengan senang hati membawakan belanjaan bulananku. Nah, aku baik, kan? :mrgreen:

Perkaranya sekarang adalah kenapa kita malah ngomongin tentang kencanku? Bukankan lebih baik kalo kita kembali ke judul tulisanku pada kesempatan kali ini, tho? Maka baiklah, jika kalian, sidang pembaca yang terhormat, memiliki pendapat yang sama denganku, ada baiknya ta’mulai saja obrolanku tentang “Tanda Tanya” ini.

Film ini kutonton bareng 3 biji adikku, Gothiet, Dewi, dan Gagar. Film ini, kata orang, bicara tentang pluralisme. Ini yang jadi dasar kontroversinya. Soalnya, setauku, masih banyak orang Endonesa yang beranggapan bahwa definisi dari pluralisme adalah menganggap semua agama itu sama di mata Tuhan. Aku nggak setuju. Tanpa pernah mencari-tahu tentang definisi dari pluralisme yang sebenarnya, aku memiliki definisi versiku sendiri: pluralisme itu berarti memberikan kesempatan sebebas-bebasnya kepada pemilik agama manapun juga untuk menjalankan ajaran agama yang dianutnya tanpa gangguan dari penganut ajaran agama lainnya. Jadilah kalo ada instansi yang melarang pegawai perempuannya mengenakan jilbab, buatku merekalah penentang pluralisme.

Maka dari 1 paragraf di atas itu aja, buatku, film ini sudah kehilangan nilai kontroversinya. Tidak ada yang “wow” lagi dari film ini, kalo aku mau bilang bahwa film ini jadi hal yang kontroversial karena tema tentang pluralisme yang diangkatnya.

Kita lanjut lagi. Film ini diprotes gara-gara – katanya – menunjukkan wajah yang menyudutkan Islam. Disebutnya:

Alih-alih ingin mengirimkan pesan kuat dari film tentang pentingnya kerukunan dan toleransi hidup umat beragama di tanah air. Justru alur dan segmen cerita yang mengalir dalam film berdurasi 110 menit (dalam hitungan saya) itu menyuguhkan penggambaran buruk alias stereotipikal terhadap umat Islam, dan tak ketinggalan pula pendiskreditan atas beberapa ajarannya.

Jujur, aku sedikit geli dengan statement di atas itu. Penggambaran buruk? Apanya yang penggambaran buruk? Memang seperti itu, kan, citra umat Islam selama ini? Walopun aku sendiri beranggapan bahwa citra yang buruk itu didapat karena ulah beberapa oknumnya, fakta yang ada di lapangan adalah bahwa Islam disebut sebagai agama yang penuh kekerasan dan kebodohan semodel “siapa yang bilang kalo agamaku mengajarkan kekerasan, bakal kupancung lehernya”. Fight fire with fire. Memang bodoh betul, kan? 😈

Lagipula, apa iya film ini menggambarkan Islam yang buruk? Kalo ada adegan Soleh yang merusak restoran Cina – dan menggebuk pemiliknya – yang memilih tidak tutup selama bulan ramadhan, apa tidak lebih tepat kalo disebut sebagai “menggambarkan keburukan dari individu yang kebetulan memeluk agama Islam”? Ini urusan person-nya, Bung! Bukan penggambaran umum tentang Islam.

Kenyataannya memang seperti itu, kan? Masih banyak oknum umat Islam yang hobi bawa-bawa pentungan sambil berseru “Allahu Akbar!”, kan? Kenyataan bahwa di Endonesa ini masih banyak oknum umat Islam yang bertindak barbar macam itu kurasa bukanlah sebuah fitnah. Itu memang ada. Itu bukan bualan sutradaranya “Tanda Tanya”.

Jadi, apanya yang “penggambaran buruk alias stereotipikal terhadap umat Islam”?

Non sense!

Sekali lagi, ini penggambaran tentang individunya, bukan ajaran agamanya.

Lalu, penganut agama lain yang digambarkan lebih baik ketimbang Soleh yang merusak restoran, apa itu juga salah? Di dunia nyata itu juga bukan hal mustahil, kok.

Kita yang memeluk Islam pastilah menganggap kalo Islam adalah yang paling benar. Itu hal yang wajar. Justru malah jadi aneh kalo kita memeluk suatu agama tapi malah beranggapan agama yang bukan agama kitalah yang layak disebut sebagai ajaran yang paling benar. Masalahnya apakah kebaikan dan kebejatan individu itu menjadi monopoli sebuah ajaran agama? Ah, rasanya tiap-tiap agama pasti punya tokoh hebat dan trouble-maker-nya sendiri-sendiri, kok.

Tapi memang butuh sebuah kebesaran hati untuk mengakui bahwa oknum penganut ajaran agama lain lebih baik kelakuannya dibanding oknum yang kebetulan seiman dengan kita. Analoginya, aku beranggapan bahwa C adalah bahasa pemrograman terbaik sedunia. Bahasa yang menciptakan bahasa. Buktinya Java diturunkan dari C, lho :mrgreen: Tapi skill C-ku kacrut bener. Hampir nggak ada aplikasi lain selain aplikasi itung-itungan sederhana yang bisa kubikin pake C. Sementara temanku yang lebih suka pake Delphi lebih produktif. Sudah banyak aplikasi yang dia bikin. Dengan permisalan seperti itu, apa layak kalo perbandingan kelakuan temenku dan aku itu dianggap menggambarkan keburukan dari bahasa C yang kebetulan tidak produktif di tanganku?

Dan, “pendiskreditan atas beberapa ajarannya”?

Olala… Adegan yang mana ini? Adegan Suryo – seorang Muslim – yang menerima peran berakting dalam drama sebagai Yesus? Errr…sekalian aja ngeluarin fatwa kalo haram hukumnya bagi umat muslim berakting sebagai Prabu Anglingdarma dan Patih Batik Madrim 😈

Adegan mana lagi? Adegan Menuk, muslimah berjilbab, yang bekerja di restorannya Tan Kat Sun yang menjual menu babi? Buatku itu biasa aja. Sama halnya dengan kontraktor Muslim yang kebetulan nerima order buat mbangun rumah tinggal miliknya seorang Hindu lengkap dengan sanggahnya, tempat beribadah pemeluk ajaran Hindu.

Restorannya sendiri buatku malah cukup aman. Sangat jarang ada restoran yang menyediakan menu babi dan bukan babi sekaligus yang mau memisahkan cara penyajiannya. Ya alat masaknya, ya pas masaknya, ya tukang masaknya. Di restorannya Pak Tan semua proses itu dipisah. Sungguh mati buatku ini jauh-jauh-jauh lebih solutif dibanding ketimbang kalo aku harus nyari makan di seputaran Masaryk Avenue.

Statement Pak Tan ke anaknya, Hendra, yang bilang kalo masak daging ayam harus galak sama bumbu, sedangkan kalo masak babi bumbunya cukup dikit aja karena daging babi pada dasarnya sudah gurih, menurutku juga bukan pendiskreditan atas ajaran Islam yang mengharamkan pemeluknya untuk mengonsumsi daging babi; seolah-olah ajaran Islam itu nggak paham mana makanan enak. Itu fakta, kok. Tanya saja sama temen-temen esemaku yang mayoritas beragama Hindu, mana yang lebih enak, daging babi atau ayam, mereka pasti bakal menjawab kalo daging babi lebih enak. Maka kalo Eramuslim menyebut hal ini semacam kampanye pro babi yang meledek ajaran Islam, buatku, heh? Kampanye pro babi? Kampanye pro babi dari Hongkong? πŸ˜†

Tidak ada yang kontroversial di film ini. Pak Tan yang mengingatkan pegawainya untuk sholat buatku adalah hal yang wajar. Sewajar aku bilang ke Ucup waktu hari Minggu sore, “Kamu nggak ke gereja, Cup?” Hal-hal tersebut tidak berarti menunjukkan superioritas ajaran agama non-Islam atas ajaran Islam.

Memang nggak aneh, sih, pendapat-pendapat macam di atas itu. Itu biasa terjadi di sini, di Endonesa. Tapi hal yang biasa bukan berarti otomatis adalah hal yang benar, tho? Septo sendiri sempat komentar ke aku. Dia bilang kalo dia heran sama apa maunya Hanung Bramantyo dengan membuat film ini. Apa Hanung nggak bisa mikir efek dari filmnya sehubungan dengan karakter orang Endonesa? Kujawab, “Ini macam lingkaran setan, Sep. Orang Endonesa memang masih banyak yang berpikiran (pendek) kayak gitu. Masalahnya, kalau nggak mulai dibiasakan mikir yang bener, sampai kapan kebiasaan macam itu mau diterusin?”

Dan tentunya tidak ada film – apalagi film Endonesa – yang tanpa cacat, kan? Nah, cacat dalam film ini adalah adegan ketika Rika yang baru memeluk Katolik yang bilang bahwa dia keluar dari Islam tidaklah berarti dia mengkhianati Tuhan. Aku nggak menemukan ada adegan yang menggambarkan alasan kuat Rika untuk berpindah agama. Cuma ada secuil adegan kalo dia kecewa atas keputusan suaminya berpoligami dan kemudian mereka cerai. Jadi cuma karena kecewa dimadu lalu akhirnya pindah agama? Buatku itu alasan yang tidak berkarakter.

Memilih untuk menganut agama apa itu kuanalogikan sama seperti memilih posisi di lapangan bola. Ada yang memilih jadi bek atau striker atau kiper atau malah seperti aku yang lebih suka bermain sebagai gelandang kanan. Kalo mau menganggap ajaran agama apapun tujuannya adalah Tuhan, di lapangan bola, posisi apapun, tujuannya adalah menang.

Aku memilih main sebagai gelandang karena ini posisi yang kusukai dan kuanggap posisi terbaik. Tidak dipungkiri kalo aku beranggapan bahwa posisi sebagai libero adalah posisi yang menurutku nggak asyik. Tapi toh aku tidak bijak kalo aku mencela mereka yang nyaman dengan posisi libero walaupun sesekali aku bakal mbatin, apa enaknya jadi libero? Enakan jadi sayap kanan, dong, ah.

Cuma, perkara hasil akhir, siapa yang jadi man of the match, bukan aku yang memutuskan. Aku bahkan tidak bakalan tau sampai dengan peluit akhir berbunyi. Tugasku cuma memainkan perananku sebaik-baiknya. Begitu juga dengan agama. Jujur-jujuran, rasanya kita nggak bakal tahu Tuhan sebenarnya meridhoi agama yang mana sampai dengan kita mengalami sendiri bakal seperti apa kita setelah mati besok.

Hanya saja, pindah posisi dari kiper ke striker tanpa alasan yang kuat, cuma karena kecewa gara-gara gawangmu sering kebobolan, buatku bukanlah alasan yang berkarakter. Siapa yang layak disalahkan kalo gawangmu sering dibobol? Posisi kipernya atau kemampuanmu sebagai kiper? Pahami dulu itu. Pahami juga apa posisi striker menjamin kamu bisa tampil hebat sampai seenggaknya kamu sendiri yakin bisa sukses menjadi man of the match? Jangan asal-asalan pindah posisi gitu donk, ah.

Jadi seandainya adegan alasannya si Rika ini dibangun lebih detail, mungkin aku bakal bisa tenang-tenang aja nontonnya tanpa keganggu.

Lanjutannya, secara general, film ini buatku memang biasa-biasa aja. Konfliknya terlalu dekat dan terkesan dipaksakan supaya nyambung. Klimaksnya? Ah, aku nggak dapet klimaksnya. Kalopun ada, kayaknya itu bukan klimaks yang terbangun lewat penceritaan yang kuat, deh. Gitu aja, bom meledak, dan tau-tau Soleh mati. Klimaksnya sangat “kebetulan” sekali buatku.

Jeleknya lagi, walopun aku seneng, tapi ngapain juga Zaskia Mecca yang istrinya Pak Sutradara itu dimunculin walopun cuma sekilas. Adegannya nggak begitu penting pulak! Kesannya main mumpung-mumpungan banget. Si Gothiet malah komentar, “Maksa banget, sih! Mentang-mentang istrinya.”

Well, tapi tak mengapa. Film ini bolehlah dianggap sebagai hiburan. Hal itu karena aku sempat terharu waktu Suryo nyamar jadi Sinterklas dan ndatengin anak kecil bernama Abi yang sakit leukimia (kalo ndak salah inget). Waktu ditanya si Abi pengen hadiah apa dari Sinterklas, Abi njawab lewat tulisan kalo dia cuma nggak kepengen nyusahin orang tuanya lebih lama lagi di kertas yang bergambar dia lagi gandengan sama Yesus di langit. Setelahnya, sang Sinterklas digambarkan menangis histeris di trotoar. Dan aku terharu. Terharu gara-gara aku sama Gothiet sepakat kalo tampang si Abi mirip kayak tampang tetanggaku, Khosim, waktu kami masih anak-anak.

Maka kesimpulan yang bisa didapat dari film sungguhlah sangat sederhana: kalo Anda adalah seorang kakak yang banyak duit, ganteng, pinter, dan masih single, bersiap-siaplah untuk menerima rongrongan dari adik-adik Anda yang kebetulan tinggal serumah dengan Anda untuk selalu menraktir mereka. Percayalah. Buktinya, ini aja duitku nggak balik-balik sampe sekarang…


Facebook comments:

19 Comments

  • lambrtz |

    Soalnya, setauku, masih banyak orang Endonesa yang beranggapan bahwa definisi dari pluralisme adalah menganggap semua agama itu sama di mata Tuhan. Aku nggak setuju. Tanpa pernah mencari-tahu tentang definisi dari pluralisme yang sebenarnya, aku memiliki definisi versiku sendiri: pluralisme itu berarti memberikan kesempatan sebebas-bebasnya kepada pemilik agama manapun juga untuk menjalankan ajaran agama yang dianutnya tanpa gangguan dari penganut ajaran agama lainnya.

    Ah semua agama itu sama saja kok. Sama benar dan sama salahnya. Bentuknya aja yang beda-beda. Kaya kalo mau dari UGM ke Amplaz ada berbagai macam cara. :-” Kafir! Kafir!

  • aphip |

    saia sama kayak septo.. mau nya apa si hanung bikin film macam ni.. walaupun ada dosen blg saia gak intelek, tapi saia bisa blg film ini sangat sensitif terutama bagi rakyat kita.. :p

  • paris |

    pinter si Hanung… tahu kalau masalah seperti ini sensitif dan pasti banyak yang membicarakan… efeknya (seperti biasa) banyak yang penasaran pengen nonton..

    jadi laku deh filmnya…

  • Yang Punya Diary |

    lambrtz:::
    πŸ˜† πŸ˜† πŸ˜†
    semacam itu juga yang dibilang sama si rika di filmnya. hanya saja, kalo semua agama sama benarnya, maka apa urgensinya sampe dia pindah agama? film ini jadi sedikit nggak konsisten kalo mau ditelaah masalah logika pelakon2nya

    itikkecil:::
    errr….untuk wanita cantik, semuanya masih bisa didiskusikan sesuai kebutuhan kok. saya toh ndak pelit2 bgt. semuanya bisa dimusyawarahkan yang penting hepi πŸ˜›

    chiell:::
    ah, mari berdoa supaya saya dapet giliran menghamili yang berikutnya 😈

    aphip:::
    lingkaran setan, phep. makanya saya bilang ini lingkaran setan

    Gingsul Manis:::
    apa kamu pikir saya ini nggak pernah icip2 juga? saya bisa bilang itu bukan peledekan ya karena saya memang tau fakta yang sebenarnya donk, hahahaha 😈

    paris:::
    dan mereka yang kontra mati2an sebenernya nggak sadar kalo malah jadi evangelistnya hanung πŸ˜€

  • MD_Entartainment |

    ini kenapa qoute yang (tidak) penting ” Apapun agamanya Minumnya Teh botol So*ro ” tiada disertakan dipostingan diatas sih… wah sembarangan menyensor kamu, Bung!!!!

  • she-nta |

    saya ndak mw komenin film endonesanya cz ndak mw mmbuang duit saya sepeserpun (lagi) utk itu!:twisted:
    yang mw saya komenin: “y oloh Joe pelit medit melilit deh ih!!??!!”:lol:

  • john doe |

    “Jujur-jujuran, rasanya kita nggak bakal tahu Tuhan sebenarnya meridhoi agama yang mana sampai dengan kita mengalami sendiri bakal seperti apa kita setelah mati besok” , ini bedanya meng-imani atau nggak

  • Yang Punya Diary |

    Cahya:::
    karena nonton bioskop memang pake duit πŸ˜›

    MD_Entartainment:::
    karena itu quote tiada intelek

    she-nta:::
    biarin. tapi banyak gadis yang suka, wek!

    john doe:::
    pernah dengar kalimat “tuhan itu tidak bisa dibuktikan ada tapi juga tidak bisa dibuktikan tidak ada”?
    atau ada yang bisa – secara jujur-jujuran pula – menunjukkan bukti yang kuat dan kasat mata tuhan itu ada atau nggak ada?

  • jensen99 |

    Joe, judul filmnya saja “tanda tanya”, itu artinya Hanung sendiri ya bingung, dia sebenarnya buat film tentang apa dan untuk apa. πŸ˜†

  • Ade Fr |

    Citra buruk islam bukan berasal dari Agamanya. Akan tetapi lebih kepada para penganutnya. Seharusnya kalau kita adalah seorang muslim, jadilah muslim sejati dengan demikian citra Islam tidak akan seperti pada pencitraan di film tersebut. Disudutkan.

So, what do you think?