Aku ini suka nggak sadar kalau dikelilingi teman-teman yang hebat. Saking nggak sadarnya, kalau pada suatu hari tiba-tiba aku denger kabar tentang temanku yang mendapat apresiasi dari pihak lain yang kredibel, aku malah jadi mikir, heh, apa iya? Masak tho levelnya si kampret ini sehebat itu? Masak ya pantes gembus bercula ini dapat pujian sedemikiannya?
Sirik? Iri? Dengki? Kayaknya bukan. 3 hal macam barusan itu, kan, cuma bisa terjadi jika dan hanya jika kitanya diam-diam memang mengakui bahwa yang bersangkutan memang punya kemampuan di atas kita tapi kitanya nggak terima. Lha, ini nggak kayak gitu, je. Ini lebih ke murni heran, kok, bisa-bisanya teman nongkrongku ini diperlakukan macam begitu? Apa hebatnya?Perasaanku, beliaunya ini ya biasa-biasa aja.
Bagaimana tidak biasa? Beliau-beliau itu sering saya kata-katai. Sumpah dan caci-maki semodel “memang bodoh kamu itu”, “gitu sahaja tiada bisa”, “bisamu itu apa?”, sampai andalan semodel “piye e? Dong ora e?” sungguh sangat sering beredar dengan entengnya di antara kami.
Saking seringnya bergulat dengan hal-hal yang seperti itu (biasanya saban malam Minggu. Maklumlah, kami-kami ini sama-sama punya status sebagai si bulang, bujang petualang), aku juga suka percaya bahwa aku sama kayak mereka. Sama-sama biasa-biasa saja, maksudnya. Makanya, dalam berbagai situasi dan kondisi, aku suka risih kalau ada orang yang sambat ke aku.
Iya lho, kalau ada manusia yang bilang, “Kamu, sih, enak…pinter,” atau, “Otakku, kan, nggak seencer kamu,” akunya malah su’udzon, merasa tersindir. Apa-apaan ini manusia? Wong aku biasa-biasa aja kayak gini, kok, dibilang pinter? Pinter apanya? Apa yang bisa kuselesaikan, sudah seharusnya pula bisa dibereskan sama manusia lainnya, kan?
Setidaknya itulah yang kulihat di lingkaranku: Apa yang bisa dilakukan sama aku, bisa pula dilakukan oleh teman-temanku.
Sampai akhirnya kapan hari kemarin Mas Yudi bilang sesuatu waktu kami mengeluarkan pendapat masing-masing soal bagaimana dan apa itu bahagia. Beliau bersabda:
Lho kalau saya pikir-pikir sampeyan ini sebenarnya sudah bahagia. Cuma ndak sadar saja. Bukankah memang orang yang bahagia itu seringnya merasa hidupnya normal-normal saja.
Ah, ya. Mungkin memang seperti itu. Dengan analogi kayak gitu, mungkin memang aku yang nggak sadar kalau teman-temanku aslinya memang layak dipandang hebat. Hebat dari kacamata orang-orang di luar lingkaran kami, mungkin lebih tepatnya. Bobohohoho…
Jadi, kalian temanku? Kalau iya, percayalah, kalian ini hebat. Anggap saja makian dariku bukanlah sebagai bentuk penegasan posisi bahwa kalian ini sungguh inferior di hadapanku. Anggap saja kalau itu adalah pujian bahwa – dalam pandanganku – kalian seharusnya bisa melakukan lebih dari apa yang sudah kalian capai sejauh ini.
Dan mungkin besok-besok aku juga nggak perlu risih lagi kalau ada yang bilang bahwa aku ini juga pintar. Mungkin sudah seharusnya pula aku merespon, “Ooo…jelas. Aku ini memang cerdas.” ๐
Begitulah. Kalian paham nggak, dasar bodoh?!
pinter menggoda…
wah, saya baru tahu ada ini. ????
ee.. sebenarnya dulu saya sering kepikiran, saya ini orangnya rasanya biasa-biasa saja, berhubung melihat temanteman dulu rasanya biasa-biasa saja mengerjakan hal biasa-biasa saja. dari jaman sekolah dan kuliah rasanya ya biasa saja.
rasanya. kemudian memasuki kancah kontribusi dunia nyata.
barangkali masalahnya itu bukan kita ini hebat atau apa. seringnya cuma sudut pandang. ibaratnya begini: orang pada beli DSLR, buat selfie-selfie dan Instagram… sementara kita mikirnya gimana caranya bisa kontribusi foto National Geographics. beda tujuan, beda usaha, beda semua-muanya. hasilnya gimana ya gimana nanti.
dipikirpikir lagi ya memang. kalau orang kecemplung kawah candradimuka njuk keluar-keluar merasa hebat itu mesti ada yang salah. antara orangnya ndablek atau salah kecemplung. begitu.
lho, emojinya nggak keluar. ???? itu harusnya emoji ini di android ๐
WordPress versi lama ini mesti. #hah