Tidak Mau Tapi Tidak Mau

Kalau nggak sedang dalam setelan nyebahi, Septri sebenarnya adalah lawan ngobrol yang asyik. Ditambah pengetahuan serta pengalamannya dalam bidang klenik dan kejawen, Septri seaslinya adalah narasumber yang pas untuk bicara persoalan gho’ib, proyeksi astral, spektrum cahaya, neuroscience, sampai dengan fisika kuantum. Pernah suatu kali dia nunjukin notes berisi coret-coretan tangannya tentang beberapa konsep persamaan kuantum hasil olah-pikirnya sendiri. Tapi ya sayangnya gara-gara rumusan itu dibikin sama Septri, lebih amannya kalau itung-itungan tersebut tidak langsung kita percayai. Lebih sayangnya lagi, Septri ini lebih sering berada dalam mode nyebahi. Untung saja anaknya nrimo kalau diejek-ejek, jadinya kami-kami ini masih sudi menemani. Lumayan…ada bahan ledekan.

Pernah dulu anak-anak membuat sebuah permufakatan jahat kepada Septri yang kala itu masih terhitung sebagai mahasiswa baru di jurusan kami. “Hayo, kamu pilih mana, kita nggak bakal ngeledek kamu lagi tapi kamu kita kucilkan, atau boleh berteman tapi kita jadikan bahan ejekan?” tanya senior-seniornya di kampus.

Septri dengan manyun menjawab, “Jadi bahan ejekan aja, Mas.”

Dan kemarin malam, aku, Septri, dan Yosepin sedang ngumpul sambil nemanin Saripah yang sibuk coding. Berhubung Saripah-nya sibuk dengan dunianya sendiri, 3 manusia sisanya akhirnya malah asyik ngobrol sendiri. Topik obrolan kami kemarin malam nggak jauh-jauh dari tema favoritku: human as human being. Malam itu, masing-masing pihak berkesempatan mempresentasikan pandangan hidupnya masing-masing, mulai dari aku yang, yeah, kalian para pembaca yang budiman tahulah aku ini bagaimana, Yosepin yang nyaris nggak pernah punya kepengenan apa-apa selain bisa menikmati apa yang dia miliki, sampai dengan Septri yang ingin ini ingin itu banyak sekali, yang sayangnya antara beberapa kepengenannya itu kadang saling berbenturan.

Aku sempat mikir ketika Septri cerita tentang manusia-manusia di sekelilingnya yang punya potensi mendistorsi keinginan-keinginannya. Betapa ketika dia kepengen A tapi karena sesuatu dan lain hal kepengenannya berubah jadi B, yang karena sesuatu dan lain hal pula dari B berubah jadi C, yang masih karena sesuatu dan lain hal lagi akhirnya berubah jadi D. Pola tersebut berlangsung macam recursive loop, sampai-sampai yang bersangkutan akhirnya jadi bingung sendiri tentang apa yang sebenarnya dia mau dan apa yang dia tidak mau. Ruwet. Muter-muter.

“Aku maunya gitu, Mas, tapi nggak mau juga kalo gini,” kata Septri, yang akhirnya aku sendiri ikutan bingung, apa itu gini-gitu?

Saking bingungnya akhirnya aku asal aja merespon, “Ndak mungkin! Ndak mungkin ada mau sekaligus ndak mau dalam 1 kesempatan. Pasti ada yang mana yang bobotnya lebih berat, seperti halnya Yosepin yang bobot badannya lebih berat dari saya.”

“Betul! Saya memang berat. Tapi that’s it. Itu poinnya,” sambung Yosepin. “Kamu cuma bisa kepengen waktu kamu memang kepengen, begitu juga sebaliknya.”

“Aku malah dadi kelingan karo pengalamanku dewe, Sep, soal mau tapi nggak mau ini,” kataku.

“Piye kuwi, Mas?” tanya Septri

Baiklah, begini ceritanya…

Jaman dulu, waktu masih suka kenal-kenalan sama cewek random, aku pernah kenalan sama cewek yang kita sebut bernama Nengah Sumini. Orang Bali? Bukan, kok. Nengah Sumini ini, kan, cuma nama samaran, yang aslinya adalah nama kepala sekolahku pas esde dulu. Nah, kami berdua ini terpisah 2 kota. Dia tinggal di Kingstown, ibukotanya Saint Vincent dan Grenadine. Wah, orang luar negeri, dong? Ya nggak juga…ini, kan, cuma samaran. Sehubungan tadi namanya juga pakai nama samaran, masak iya tempat tinggalnya nggak sekalian kusamarkan juga?

Kami pernah ketemu sekali setelah biasanya cuma ngobrol via pesawat sahaja (pesawat telepon, maksudnya), baik suara maupun teks, dan selanjutnya karena dia yang nemuin aku di kotaku duluan, akhirnya keluarlah janji kalau berikutnya aku yang bakal datang ke tempatnya (kebiasaan burukku, mengumbar janji kepada wanita) buat ngobrol sambil akunya ngeteh sementara dia ngopi (yeah, I don’t drink coffee, I take tea, my dear).

Suatu hari aku akhirnya dapat kesempatan buat jalan-jalan ke Kingstown. Maka aku pun bilang ke Sumini kalau aku bakal ke tempatnya buat menepati janjiku menemuinya. Oke, katanya.

Begitulah, akhirnya aku sampai di Kingstown. Sayangnya karena sesuatu dan lain hal, urusanku di Kingstown baru beres setelah jam belajar masyarakat selesai. Setelahnya barulah aku bisa menghubungi Sumini via hape, menanyakan jadi nggak kami ketemuan?

Jawaban Sumini, “Nggak jadi aja ya, Mas. Kasian…kamunya pasti capek bin butuh istirahat. Besok kamu sudah harus balik, kan?”

Tet-tot! Sebuah penolakan, sodara-sodara. Aku paham. Kampretnya aku nggak bisa menghilangkan keusilanku, maka aku bilang ke dia, “Eh, enggak, kok. Aku nggak capek. Bilang aja, aku harus nemuin kamu di mana, aku bakal ke sana.”

“Nggak usah, Mas. Beneran, deh, kamu itu butuh istirahat.”

Ugh! Sekelebatan kilat aku sempat terharu. Perhatian sekali wanita ini sama aku. Sempat aku membatin, apa bulan depan kulamar aja ya perempuan 1 ini? Mumpung waktu itu juga aku sedang dalam fase sebagai Lone Ranger. Lha, belum jadi apa-apa aja udah ngerti dan care banget sama kondisiku, apalagi kalau besok sudah kunikahi, coba?

Tapi itu cuma sekelebatan. Keusilan segera menghampiriku kembali. Aku cukup paham perihal sebuah penolakan, tapi aku juga nggak suka dengan tuduhan tak beralasan.

“Aku nggak capek, kok. Tinggal bilang aja mau ketemuan di mana, atau…rumahmu di mana? Aku ke rumahmu aja ya. Lagian aku juga memang udah janji, kan, buat ketemuan sama kamu,” kataku.

Iya, aku memang nggak capek. Saat itu pun jika harus bergerak konstan di lapangan bola selama 2 x 90 menit plus 2 x 15 menit perpanjangan waktu, aku masih sanggup. Ingat, aku ini makhluk nocturnal, makin malam makin beringas. Tuduhan bahwa aku butuh istirahat tentu saja adalah penghinaan buat staminaku. Ditambah lagi dengan keteledorannya, aku merasa energi isengku harus disalurkan dengan segera. Aku hampir selalu nggak bisa melewatkan begitu saja orang yang berbuat teledor di depanku tanpa kukerjai terlebih dahulu, je. Maka aku butuh pelampiasan!

Bayangkan, sodara-sodara! Bayangkan kondisi sampeyan sedang dikejar begal di malam yang sepi lalu tiba-tiba sampeyan ketemu sama Yan Lam Thian di tengah jalan saat berusaha kabur, kira-kira langkah apa yang bakal antum lakukan kemudian? Meminta tolong pada Yan Lam Thian? Bagus. Itu reaksi cerdas, karena selain baik hati meskipun berpenampilan rada kumal, Yan Lam Thian adalah Si Pedang Sakti Nomor Satu di Kolong Langit. Adalah keputusan yang tepat untuk berlindung pada beliau dari begal yang tidak bisa sampeyan singkirkan.

Tapi Nengah Sumini tidak demikian. Dia menjadikanku alasan untuk menghindari ketemuan. Jelas aja itu kentara banget kibul-kibulnya. Entah apa alasan yang sebenarnya – entah malam itu dia disetrap sama pak-mboknya buat nggak boleh keluar rumah gara-gara lupa ngasih makan ayam, entah ada niat buat tadarusan semalem suntuk jadinya nggak pengen diganggu, atau malah lagi ihik-ihik di kamar sama cowok – aku nggak tau. Yang aku tau, kondisiku – yang tentu saja versi beliau itu salah semua – dijadikan alasan untuk menghindariku. Buatku yang kayak gitu itu sembrono sekali. Dia menjadikanku sebagai pelindung dari diriku sendiri, tentu saja dengan mudah aku bisa menelannya bulat-bulat :mrgreen:

“Jadi ini cuma soal janji, tho, Mas?” tanya Sumini mulai mlipir-mlipir dari soal tempat tinggalnya. “Oke, kalau ini cuma soal janji, anggap aja janjimu sudah lunas. Fine. Kamu udah cukup nunjukin kalau kamu itu orang yang nggak melanggar ucapannya sendiri, kok,” imbuhnya.

Duh. Hahaha. Aku makin tergoda buat mengisengi.

“Lho, berarti kamu nggak mau ketemu aku?” tanyaku mulai menunjukkan belang keusilanku.

“Aku mau, Mas. Tapi kamu itu capek.” Isshhh…masih ngotot aja ini anak πŸ˜†

“Aku nggak capek, kok.” πŸ™‚

“Iya, tapi ini sudah malem.” Nah, mbok gitu dari tadi, Nduk.

Tapi isengku belum surut. “Oh, berarti sekarang kamu nggak mau ketemu aku?” tanyaku sambil tergeli-geli di dalam hati

“Aku mau, Mas. Tapi sekarang nggak bisa.”

“Oh, berarti kamu nggak mau, kan?”

“Mas, kamu jangan bikin aku emosi, deh.” Eh, lha…mulai ngamuk dia :mrgreen:

“Lho, kenapa malah kamu yang emosi? Yang nggak mau ketemu itu, kan, kamu. Harusnya aku yang emosi gara-gara kamunya nggak bisa kuajak ketemuan kayak yang dijanjikan. Lha ini, kok, malah kamu yang emosi?” Akhirnya aku blak-blakan.

“Duh…iya, maaf, Mas, aku emosi.”

“Oke, kumaafin. Lain kali jangan diulangi lagi ya,” pamungkasku pada akhirnya 😎

Setelahnya Sumini berjanji, tiap dolan ke tempatku dia bakal ngabarin aku. Tapi dari beberapa kali dia main ke kotaku, aku cuma dikabarinya sekali. Itupun setelah aku meledeknya, “Katanya kalau ke sini mau ngabarin aku?” sehari sebelum dia ke tempatku seperti status yang terapdet di akun media sosialnya.

John, begitulah yang kuceritakan ke Septri dan Yosepin, betapa banyak manusia di dunia yang seperti itu: tidak mau tapi tidak mau kalau dibilang (bahwa dia) tidak mau. Sok halus, sok care, tapi menyembunyikan maksudnya yang sebenarnya. Topeng macam itu sudah sering kutemui, dan – yeah – aku suka geli sama manusia model begitu. “Gengsi, Mas. Masih banyak manusia yang jadi budak gengsinya,” respon Septri.

Iya, gengsi. Atau lebih tepatnya takut. Takut dicap sebagai manusia yang nggak punya empati, makanya pura-pura perhatian. Takut dicap sebagai manusia yang nggak berhati, makanya pura-pura peka. Padahal kalau makhluk-makhluk macam demikian berhadapan dengan orang-orang model aku – yang aku yakin jumlahnya banyak pula di dunia ini – ya topengnya bakal terkelupas juga.

Dengarlah shohibul hikayat ini, sodara-sodara! Kita kepengen sesuatu tapi kemudian ada sesuatu dan lain hal yang menyebabkan kita mengubah kepengenan kita yang pertama, itu sama dengan kita kepengen sesuatu tapi lalu ada yang menyebabkan kita nggak jadi kepengen lagi sama kepengenan pertama kita, itu sama artinya dengan kita nggak kepengen. Misalnya, kepengen ketemu tapi kemudian malas keluar rumah, ya itu artinya nggak kepengen lagi buat ketemu, kan? Lha jelas iya, wong kita lebih kepengen untuk nggak keluar rumah, kok.

Simpel, kan?

Dalam kasus Sumini, kalau memang dia nggak mau ya cukup bilang nggak mau. Kalau memang lagi malas ketemu karena sudah kemalaman – ya untuk aku – lebih baik bilang saja memang malas. Buatku itu lebih baik ketimbang dapat respon yang muter-muter, atau setidaknya carilah alasan lain yang lebih bombastis tapi logis, ketimbang sok-sokan perhatian tapi jatuhnya malah meleset semua model di atas.

Sekali lagi, carilah alasan yang logis. Logis di sini berarti pula tidak berbenturan dengan fakta yang ada. Repot nanti urusannya kalau kita mengumpankan orang lain sebagai alasan kita tapi kemudian si orang lainnya mengklarifikasi yang bertentangan. Karenanya pastikan dulu kondisi si orang lain tersebut senada dengan argumen yang kemudian bakal kita kemukakan. Hal ini sesuai dengan yang aku ingat dari nasehatnya si Bram kepada Yosepin waktu Yosepin akhirnya memutuskan buat merantau ke ibukota negara untuk pertama kalinya:

Hidup di Jakarta ini keras, Yos. Yang paling penting buat survive di sini adalah kamu harus bisa memastikan siapa orang yang bakal kamu salahkan kalau ada apa-apa.

Sebuah nasehat yang betul. Betul-betul ngawur πŸ˜†


Facebook comments:

6 Comments

So, what do you think?