Tu Quoque

Kalo mbaca-mbaca lagi tulisan-tulisanku yang lama kadang-kadang aku tersipu-sipu malu sendiri, lho. Kadang-kadang (dan malah bahkan sering) aku jadi mikir, wah, dulu aku itu ternyata goblok banget ya.

Kenapa aku berpikir begitu, sodara-sodara?

Kenapa?

Kenapa, kok, malah kenapa? Wong ya memang begitulah faktanya. Faktanya dulu (atau malah sampai sekarang?) aku ini ternyata memang blo’on banget. Dulu aku ini ngeblog cuma buat eksyen-eksyenan, sodara-sodara. Pokoknya waton punya bloglah! Isinya nggak penting, yang penting punya akunnya, punya blog. Kalo masalah isi yang agak bermutu, gampang itu… Tinggal njiplak tulisan orang sana-sini, copy, paste, publish, selesai. Yang lainnya cukuplah diisi dengan gumaman murahan bin tidak jelas.

Tapi setelah waktu demi waktu berlalu, aku jadi insyap. Ngeblog itu nggak seru kalo cuma waton; waton njiplak, waton nulis racauan bodoh tanpa argumentasi yang valid. Gengsinya ndak ada, soale. Yang ada malah aku jadi keliatan geblek banget. Celaka itu! Yang model kayak gitu lama-lama malah bikin malu almamater aja :mrgreen:

Mau dikemanakan muka (ganteng)ku, coba?

Tapi juga, aku juga tetap milih buat nggak ngapus blogku yang lama itu (ditambah dengan alasan finansial, akhirnya aku malah bikin back-up-an tulisannya). Perkara malu, ya kadang-kadang aku memang ngerasa malu sendiri ngeliat tulisan-tulisanku yang dulu itu. Watonnya itu, lho… Kayaknya nggak bakal bisa terselamatkan lagi, dah, hidupku kalo kayak gitu terus.

Maka kenapa aku nggak ngapus blogku yang lama itu?

Alasannya cuma 1, sih, sebenarnya. Tulisanku yang jaman dulu itu kupakai buat refleksi diri. Buat ngaca kalo dulu ternyata aku juga semprul (sesemprul blogger-blogger yang punya blog tapi isinya cuma copy-paste tulisan orang thok dan ngejar trepik yang nggak jelas juntrungannya 😈 ). Jadi dari situ aku bisa belajar untuk terus-terusan memperbaiki diri supaya jadi manusia berguna yang nggak semprul lagi.

Cuma, ternyata memperbaiki diri itu lumayan sulit juga, lho. Nyatanya walaupun aku sudah ngaca ke tulisan-tulisan lamaku itu, tetap saja ada beberapa kesemprulan yang bertahan di aku sampai sekarang, misalnya aja perkara tu quoque.

Kata temanku, Jaya, tu quoque adalah sebuah kesalahan logika yang secara singkat bisa diilustrasikan begini:

Suatu ketika ada seorang yang tidak tau adat yang ngomong ke aku, β€œJoe, mbok kamu jangan ngerokok. Ngerokok itu merusak dompetmu, sekaligus juga merusak kemampuanmu mendribel bola.”

Tapi berhubung aku waktu itu aku tau kalo orang yang ngomong ke aku itu juga perokok, maka aku pun nyaut, β€œHalah, ndak usah ngajarin. Situ ngomong rokok itu bahaya, tapi kenapa, kok, malah situ juga ikutan ngerokok? Takut rokoknya ta’minta, ya? Hah? Hah?”

Nah, di situlah letak kesalahan logikanya. Aku menolak fatwa bahwa rokok itu haram hanya gara-gara yang memfatwakan kepadaku itu ternyata juga perokok. Aku menolak esensinya hanya karena melihat bahwa orang yang berbicara ternyata juga nggak konsisten, padahal itu seharusnya nggak boleh terjadi.

Yang benar adalah seharusnya aku bisa menerima kenyataan bahwa rokok itu adalah sebuah hal yang berbahaya terlepas dari siapa yang berbicara, entah dia itu sama-sama perokok ataukah dia itu seorang gadis manis yang sedang kutaksir. Pendapatku jadi bisa dibenarkan karena yang menyalahkanku ternyata juga nggak konsisten.

Dan dalam dunia nyata, sampai sekarang aku juga masih sering setia bertahan dengan bantahan seperti di atas itu kalau lagi ngadepin orang. Contohnya untuk perkara penggunaan software bajakan (yang aseek punya), aku tetap bersikeras nggak mau meninggalkan software bajakan dan menentang siapapun yang menasehatiku kalo orang yang menasehatiku itu – misalnya – kedapatan lagi make sepatu Adidas palsu. β€œSitu, kok, berani-beraninya bilang software bajakan itu haram? Lha itu, sepatu yang lagi situ pakai itu Adidas asli atau Adidas cap Taman Puring? Wong logonya miring-miring gitu, kok. Mbok situ ngaca dulu sebelum ngomong sama orang lain. Jindal!” begitu biasanya dalihku.

Terus kalo kebetulan pas saat itu aku nggak nemu kesalahan yang melekat di badannya, biasanya aku balik nanya, β€œMasih ndengerin empetri?”

Ini jurus manjur buat mengakali manusia-manusia (sok) idealis di kampusku, pembaca yang budiman. Jurus ini biasanya jarang meleset. Maka ketika mereka bilang kalo mereka masih ndengerin lagu-lagu bajakan yang biasanya berekstensi *.mp3 – nggak peduli sistem operasi di komputer mereka itu Linux atau FreeBSD – aku seolah dapat angin dan berkata, β€œKalo hidupmu ternyata juga belum bisa benar-benar lepas dari barang bajakan, sana minggat. Nggak usah ngajarin aku buat nggak make Corel Draw sama Photoshop bajakan. Wooo… Kere!”

Maka karena terbiasa seperti itu, sampai sekarang aku jadi sulit buat menghindari penggunaan logika yang salah itu. Belum lagi atmosfir di sekelilingku juga terbiasa berlogika seperti itu dalam percakapan sehari-hari. Tapi nggak pa-palah, aku bisa belajar pelan-pelan. Karena itulah aku tetap butuh blogku yang lama buat ngaca. Sekarang, setidaknya, dalam sebuah diskusi yang (rada) serius di dunia maya, aku selalu mencoba menghindari penggunaan logika yang kacau-balau macam itu; nggak mau keliatan geblek lagi kayak dulu. Untuk dunia nyata? Entahlah… Mungkin masih nanti-nanti aku baru bisa jadi orang pinter.


22 Comments

  • Kgeddoe |

    Itu biasanya manjur (dan tetap sahih) kalau dipakai dalam berpolitik dan beretorika, Mas… Sebab di dua ajang ini, konsistensi kadang lebih dihargai ketimbang esensi. πŸ™‚

  • Pras |

    Saya menggunakan Linux & Windows XP yang ASLI dari kampus (ada Microsoft Campus Agreement), nggak pake program bajakan, semuanya freeware atawa open source, dan saya mendengarkan MP3 dari hasil ripping CD original yang saya beli..
    Masih ada pertanyaan..??

  • Yang Punya Diary |

    Kgeddoe:::
    sudah baca novel “imperium”nya robert harris, mas dab?
    kayaknya saya sepakat juga bahwa dalam beeretorika hal tersebut dihalalkan. di novel itu memuat tentang orasinya marcus tullius cicero yang menurut saya juga terdapat banyak kesalahan logika πŸ˜€

    yang punya bramantyo.com:::
    babi ngepet! 😈

    Nazieb:::
    yeah, semacam itulah πŸ˜‰

    lambrtz:::
    nggitar wae, djo. suaramu elek nek nyanyi πŸ˜›

    mybrainsgrowell:::
    sodara paham benar akan maksud dan tujuan saya, hohoho

    Pras:::
    sandal jepitmu asli po bajakan, pras? :mrgreen:

  • Disc-Co |

    Saya hanya membeli sesuatu yang original bila saya memang benar-benar menghargai sang author dari benda itu.

    Contoh? KFC. Saya selalu beli Original Recipe. πŸ˜›

  • bangaip |

    Mau mengomentari Mp3 ini. πŸ™‚

    Setahu saya, kebijakan menangani format mp3 itu tergantung negara masing-masing Mas Joe.

    Pada negara-negara tertentu, proprietary DRM (digital rights management) adalah format ideal dalam menangani file audio, membuat Mp3 adalah semacam format dagangan.

    Sementara pada negara-negara lainnya format bebas (seperti Ogg misalnya) malah dianjurkan untuk dipakai dalam menangani file audio.

    Terus kalo kebetulan pas saat itu aku nggak nemu kesalahan yang melekat di badannya, biasanya aku balik nanya, β€œMasih ndengerin empetri?”

    Jaman canggih begini, konversi audio bahkan sudah mencapai mencoder hingga ffmpeg. Tidak masalah mau DRM atau format bebas sekalipun, maka pertanyaan nya mungkin bisa menjadi;

    “masih ndengerin lagu bajakan?”

    Hehehe

    Tapi sebenarnya substansi pertanyaan saya bukan itu sih Mas Joe. (*Hehe, lagi nglindur ini*).

    Saya mau nanya, kalau misalnya Mas Joe tergila-gila lagu Bing Slamet tahun 50-an dulu. Dan semua orang tahu, waktu itu belum ada Mp3 (apalagi iPod) dan (alm) Bing Slamet pun belum pernah merekam lagu-lagu itu ke dalam kaset/CD/komersil_format_dagangan_audio. Namun ternyata Mas Joe punya koleksi Mp3 Bing Slamet. Apakah Mas Joe termasuk kategori akhi yang menyukai barang illegal?

    (*hehe, maap nih, saya nanya yang ada-ada saja. Maklum mas, saya ini orang awam, hehe*)

  • Yang Punya Diary |

    Disc-Co:::
    saya juga. kalo ke pizza hut ndak suka beli pizza yang rasa gule atau rasa2 aneh lainnya πŸ˜›

    megan garnieri:::
    kata mas nazieb, sih, niat saja tidak cukup. tapi ya apa boleh buat, ta’coba pelan2 aja biar jadi orang pintar

    omoshiroi_:::
    ahahaha, lebih ke curhatnya kok. kalo ada hyperlink ya anggap aja sebagai pengoptimalan resiko πŸ˜†

    bangaip:::

    Setahu saya, kebijakan menangani format mp3 itu tergantung negara masing-masing Mas Joe.

    Pada negara-negara tertentu, proprietary DRM (digital rights management) adalah format ideal dalam menangani file audio, membuat Mp3 adalah semacam format dagangan.

    betul, bang. misalnya aja di amerika, jepang, kanada, atau beberapa negara eropa. makanya sebenernya saya juga sebel aja sama Fraunhofer Society, format kok dilisensi? kesannya kok ya serakah banget πŸ˜›

    cuma, gara2 di indonesia belum ada aturan jelasnya, jadinya di sini, sih, masih bisa nyaman2 aja. maka ya saya sikat aja format mp3 itu meskipun sebenernya sudah ada yang mematenkan.

    Sementara pada negara-negara lainnya format bebas (seperti Ogg misalnya) malah dianjurkan untuk dipakai dalam menangani file audio.

    kasusnya, setidaknya di indonesia, mp3 sudah menang dalam perkara universalitas. jadinya ya format model ogg atau aac jadi kurang laku.

    Saya mau nanya, kalau misalnya Mas Joe tergila-gila lagu Bing Slamet tahun 50-an dulu. Dan semua orang tahu, waktu itu belum ada Mp3 (apalagi iPod) dan (alm) Bing Slamet pun belum pernah merekam lagu-lagu itu ke dalam kaset/CD/komersil_format_dagangan_audio. Namun ternyata Mas Joe punya koleksi Mp3 Bing Slamet. Apakah Mas Joe termasuk kategori akhi yang menyukai barang illegal?

    setau saya, bang, selama ada copyrightnya, kalo saya punya koleksi mp3nya tanpa proses yang benar (ngopi dari temen dan bukan ripping dari barang aslinya, misalnya), ya artinya saya memiliki barang ilegal. tapi kalo ga ada copyrightnya – nggak peduli sudah pernah ada dokumentasinya atau nggak – ya aman2 aja. ini dengan catatan bahwa lisensi mp3 masih belum diakui di indonesia, lho.

    masalahnya sekarang, apakah konten lagunya bing slamet itu dipatenkan sama beliau atau tidak, meskipun tidak dikomersialkan sama dia?

    kalo ternyata walaupun belum dikomersialkan tapi konten lagunya sudah dipatenkan, ketika saya menikmatinya keuntungan darinya tanpa ijin, kayaknya saya sudah masuk ke kategori penyuka barang ilegal (dan memang begitulah kenyataannya :mrgreen: ).

    ripping dari barang aslinya pun setau saya haknya cuma bisa kita nikmati 1 kali saja untuk konsumsi pribadi. ketika hasil rippingan itu sudah dikopi lagi ke orang lain, (lagi2) setau saya, itu sudah berarti kita turut andil dalam mengedarkan barang ilegal.

    itu semua setau saya, lho, bang. agak asal-asalan memang. soale saya ngambek sama (bekas) dosen multimedia saya yang nggak ngeluarin nilai saya sampai saya lulus, padahal pas tugas kelompok bisa dibilang sayalah yang kerja sendirian πŸ˜†

    wira:::
    betul… πŸ˜†

    d4mN yg barusan donlot mp3:::
    apanya yang bener? saya? ooo… itu jelas! πŸ˜€

  • lambrtz |

    Fraunhofer Institute itu lembaga riset nonprofit to Joe? Ya anggep aja dengan memberi sedekah ke mereka kamu sudah berperan dalam perkembangan ilmu pengetahuan :mrgreen:

  • jensen99 |

    Ah, saya mengulangi bagian ini saja:

    β€œJoe, mbok kamu jangan ngerokok. Ngerokok itu merusak dompetmu, sekaligus juga merusak kemampuanmu mendribel bola.”

    Sy bukan perokok lho! :mrgreen:

    ^^_v

    *dibacok*

  • Yang Punya Diary |

    babhichu:::
    masih bertahan dengan kualitas gambar yang semrawut itu, bhonk? mbok kamu ngopi aja ke tempatnya destian sana. di situ banyak yang kualitas gambarnya setara kualitas dividi 😈

    chiell:::
    jadi inget didier drogba…

    lambrtz:::
    disebut institute kayaknya juga boleh kok, djo. tapi masalah non-profitnya? wah, bukan non-profit namanya kalo mereka minta royalti πŸ˜€

    Tuhane Joe yang sangat cinta pada d4mN:::
    tentu saja! semua yang mengikuti langkah saya pasti benar πŸ˜†

    jensen99:::
    anu…itu…errr…gimana ya? zidane yang duta anti-rokok aja ternyata juga perokok, kok πŸ˜›
    toh kemampuan dribelnya dia tetap mantap!

    yudi:::
    jadi inget nilai fisika anda :mrgreen:

So, what do you think?