Syahdan, pada zaman tidak terlalu dahulu kala, aku dan mamakku sedang berencana hadir di acara pertemuan trah di Solo besok harinya. Pagi-pagi kami berangkat ke bandara naik taksi dari rumah kontrakanku di Ciputat untuk menuju Bandara Halim Perdanakusuma.
Setelah membelok ke kiri dari lampu merah Pondok Pinang, masuklah taksi kami ke jalan tol. Prediksiku, sih, dengan berangkat jam segitu, pagi-pagi di hari libur, kami nggak akan terjebak macet yang membuat kami terlambat masuk pesawat. Tapi mak jegagig! Begitu selesai ngetap kartu di gerbang tol nampaklah iring-iringan macet di depan. Mamak kontan panik!
“Aduh! Ada apa lagi ini?” demikian khawatir mamak.
“Nggak tahu, Mak. Aturannya, sih, nggak macet, wong macetnya harusnya kemarin malam,” jawabku. Libur kali ini memang long weekend. Seharusnya macet ke arah luar kota Jakarta memang terjadi kemarin malam. Seharusnya lagi pagi ini sudah lengang. Tapi ya namanya salah prediksi, boleh jadi macet masih berlanjut sampai pagi hari.
“Duh, kalau macet gini nanti gimana kalau telat sampai bandara?” tanya mamakku lagi. Retoris.
“Ya beli tiket lagi, Mak. Sudah janji datang ke Solo masak ya nggak jadi ke Solo?”
“Ya tapi ini gimana? Masak telat naik pesawat?”
“Ya mau gimana? Telat, kan, cuma harus beli tiket lagi. Telat sampai bandara memangnya bikin mati, Mak?”
“Ya enggak,” jawab mamak.
“Ya kalau nggak bikin mati, kenapa harus khawatir? Duit juga ada, kok, ya,” balasku ngasal. “Jangan dibikin pusing sama hal-hal yang masih bisa kita atasilah. Selama nggak mengancam nyawa, kenapa juga energi kita dipakai buat mikirin sesuatu yang nggak ada faedahnya? Memangnya kalau kita bingung, macetnya bakal ilang?” sambungku lagi.
Betapa durhakanya aku, sodara-sodari. Mamakku lagi bingung, eee…akunya malah ceramah panjang kali lebar sama dengan luas. Alhasil mamakku cuma diam. Mungkin dia kaget, anak laki-laki satu-satunya ini, kok, sekarang bisa bijaksana macam begini?
Alhamdulillah…eh, bukan alhamdulillah, ding…macetnya ternyata cuma sepintas. Ada truk ngguling di depan (ini cocoknya astaghfirullah atau innalillahi, kan, ya?). Jadinya mobil demi mobil harus memperlambat laju ketika melewatinya. Setelah itu semuanya lancar belaka. Kami selamat sampai di bandara.
Tapi seandainya pun kami telat sampai bandara, apa lagi yang bisa kami lakukan selain beli ulang tiket pesawat ke Solo? Kebetulan aku lagi banyak duit juga. Dan sekalipun aku nggak banyak duit, kalaupun kami ketinggalan pesawat dan harus balik ke Ciputat, memangnya kenapa? Balik ke Ciputat nggak bikin Izrail nyolek aku, kan? Paling-paling mamak sama aku harus bikin permohonan maaf ke keluarga besar gara-gara batal datang ke acara trah. Selain itu, apa lagi?
Iya, apa lagi?
Di berbagai sektor kehidupan lainnya toh pada dasarnya memang berlaku “apa lagi?” Waktu kita nggak kuasa melakukan suatu hal, dan harus pasrah sama apa yang akan terjadi, memangnya apa lagi yang bisa kita kerjakan? Semuanya que sera sera, kan? Lagipula selama nafas masih ada, harapan juga masih akan selalu ada, kan?
Beda cerita, sih, kalau kita akhirnya mati. Tapi ini, kan, kondisinya kita masih hidup. Selepas jadi penyintas, selalu ada yang bisa kita lakukan. Iya, kan? Iya, kan?
Iya aja, deh.
Jadilah sekarang aku malah berpikir, aneh juga manusia-manusia ini. Kenapa, sih, mereka ketakutan sama worst case scenario selama yang disebut worst itu tidak betul-betul worst? Apa, sih, masalahnya dari nggak bisa mencapai target kerjaan dari bos kita – misalnya – selain dari kemarahan bos itu sendiri? Dipecat? Dipecat memangnya bikin nggak bisa nyari kerjaan lagi? Kita cuma nggak bisa nyari kerjaan lagi kalau kita mati, kan? Selama nggak mati, takut apa?
Apa, sih, problemnya dari nggak lulus sebuah mata kuliah? Cuma harus ngulang lagi di semester berikutnya, kan? Bikin mati nggak?
Apa, sih, perkaranya kalau ditolak pas nembak lawan jenis buat jadi pacar kita? Bikin mati nggak?
Buatku, sih, selama nggak bikin mati, selama nafas masih ada, kesempatan untuk counter attack juga selalu ada. Jadi kenapa, sih, kita harus bingung dan terjebak oleh ilusi terburuk yang sebenarnya nggak sebegitu buruknya itu?
Heran jadinya aku ini sama cara berpikir kebanyakan manusia. Kasusnya, meskipun aku heran sama tindakan mereka, sebenarnya apa mangpa’atnya juga kalau aku ikut-ikutan bingung sama kelakuan mereka? Kebingunganku karena kebingungan mereka toh nggak bikin aku mati, kan?
Jadi kenapa aku mesti bingung, coba?
Nah, bingung, kan?
Jangan bingung. Ini toh nggak bikin mati 😈
Kamu nyindir aku yha?
yha 😎
Terimakasih sudah berbagi cerita…
samasama 🙂